Bab 6 Istri Kedua
“Jonas?” panggil Zia lirih dengan menatap Jonas penuh harap ‘biarin aku pergi’
“Kamu duduk sama saya Zia,” ucap Davas dingin.
Benar–benar situasi yang tegang. Mata kedua lelaki itu seakan mengisyaratkan siap membunuh satu sama lain, Zia hanya dapat terpaku di tempatnya dengan tangan kanannya dipegang oleh Jonas dan tangan kirinya dipegang erat oleh Davas.
“Maaf sebaiknya Tuan–tuan dan Nona kembali ke tempat masing–masing,” tegur salah satu Pramugari dengan sopan.
Dua pria ini masih tetap kukuh tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya lalu kedua lelaki itu beralih menatap Zia seakan menyuruh memilih salah satu di antara mereka.
Pramugari itu hanya dapat menggeleng – geleng kepala sedari tadi ucapannya hanya diabaikan bagaikan angin lalu.
“Duduk sama saya Zia!” ucap Davas penuh penekanan.
“Anda tidak punya hak untuk mengatur hidup Zia Tuan Davas yang terhormat!” ucap Jonas sarkastis.
Davas menyunggingkan senyumannya dengan sorot mata mematikan. “Saya tau Zia terlalu mencintai saya. Apapun akan dia lakukan, sekalipun saya menyuruhnya sujud di hadapan saya dia akan memilih saya dari pada kamu!” ucap Davas dengan percaya diri membuat kedua mata Zia membulat tidak terima.
Laki–laki yang ia cintai ini seakan menginjak-injak harga dirinya terlalu dalam.
‘Aku memang bodoh terlalu mencintaimu tapi tolong jangan injak harga diriku depan orang banyak’ batin Zia dengan hati terluka.
Zia menepis kasar tangan Davas hingga membuat pria itu terbelalak. Zia memasang wajah datarnya ke arah Jonas lalu berbalik tersenyum manis ke arah Davas. Davas langsung tersenyum penuh kemenangan dan menatap Jonas dengan tatapan meremehkan.
“Maaf Pak saya akan duduk disl sebelah Pak Jonas,” ucap Zia lantang membuat Davas tidak percaya. Jonas yang kesenangan di pilih dan Davas membeku merasakan sakit yang bertubi-tubi di ulu hatinya.
Davas kembali memasang wajah datarnya dan beranjak menjauh menuju kembali ke tempat di mana seharusnya dirinya berada.
Davas memijat pelipisnya pelan. ‘Kenapa Zia seperti ini,’ batinnya. Sedangkan Jonas tidak bisa menahan untuk tidak tersenyum membuat Zia hanya dapat menggeleng–gelengkan kepala melihat tingkah laku Jonas.
“Udah gak pusing lagi?” tanya Zia memecahkan keheningan yang menyelimuti mereka sadari tadi.
“Masih. Makanya aku diam,” ucap Jonas santai tanpa memedulikan ekspresi keterkejutan Zia saat ini.
Zia merogoh minyak angin yang berada dalam saku bajunya, dan dengan sigap tangan kanannya bergerak mengolesi minyak angin ke tenguk Jonas.Jonas terus–menerus menatap Zia dengan tatapan kagum. ‘Aku mau kamu tahu yang sebenarnya El,’
“Sedang berbicara dalam hati, hm?” tanya Zia tiba–tiba membuat mata Jonas membulat.
“Tahu dari mana?” jawab Jonas dengan polosnya.
Zia Hanya tersenyum lalu mengusap lembut keringatan yang sadari tadi bercucuran di kening Jonas. Mata biru Jonas seakan tidak bosan memandangi wajah Zia dari mulai alis, mata, hidung lalu turun ke bibir. Jonas cukup lama menatap bibir ranum Zia hingga tanpa Jonas sadari ia terus maju mengikis jarak di antara keduanya.
“Jonas!” tegus Zia setelah merasakan terpaan hawa nafas Jonas di permukaan wajahnya.
Jonas yang seakan tersadar akan teguran Zia segera menjauhkan tubuhnya dan menatap Zia dengan tatapan ‘sorry, aku kebawa suasana,’
“Itu bibir masih suka kurang ajar ya!” celetuk Zia dengan kesal.
Tanpa bisa dicegah Jonas menatap Zia sehingga menimbulkan kontak yang cukup lama di antara keduanya, namun sedetik kemudian tawa di antara keduanya akhirnya pecah tanpa bisa dicegah membuat penumpang lainnya menatap ke arah mereka.
“Kamu masih ingat ya Zi?” tanya Jonas setelah bisa menghentikan tawanya dan beralih menatap manik mata Zia lekat–lekat.
“Gak. Aku sudah melupakan semua masa laluku bersamamu,” jawab Zia pelan lalu memalingkan wajahnya.
Setelah itu semuanya berubah drastis. Baik Zian dan Jonas lebih memilih diam, tidak ada satupun di antara mereka yang berniat untuk membuka suara. Hingga pesawat yang mereka tumpangi sudah mendarat di bandara Internasional Incheon.
Zia lebih memilih diam begitulah juga dengan Jonas dan Davas setelah turun dari pesawat hingga sampai di tempat penginapan atau lebih tepatnya Villa milik keluarga besar Davas.
Kamar mereka sudah dibagi dengan rata. Zia dan Keyla berada di dalam satu kamar yang sama dan kamar mereka bersampingan dengan kamar Davas dan Jonas yang juga sekamar.
“Davas?” pekik Zia lantang, melihat tubuh tegap Davas yang kini melangkah menjauh dan sepertinya ia tidak mendengar panggilan Zia.
Zia berlari cepat sehingga membuat tubuhnya tidak seimbang lalu terpeleset. Membuat dua manik mata biru itu terbelalak. Tangan besar milik Davas dengan telaten mengobati kaki Zia yang sedikit terluka akibat terbentur meja kayu di ruang tamu.
Mata Zia terus menatap wajah Davas yang lagi serius mengobati kakinya dengan lembut.
Wajah pria yang sudah Zia kagumi selama 2 tahun belakangnya ini. Cinta memang egois dan tidak pernah memandang bulu. Zia sadar betul cintanya kali ini sangat salah. Ayolah, mencintai pria beristri? Sadarlah Zia masih banyak pria di luar sana yang menginginkannya, namun cinta memang membutakan membuat Zia gelap mata.
"Berhentilah menatapku, lihatlah matamu seakan mau keluar dari tempatnya," sindir Davas sambil tersenyum miring menatap Zia. Zia hanya mampu menundukkan kepalanya malu dengan pipi merona.
"Segitunya kamu mencintai saya?" tanya Davas kaku membuat Zia mendongakkan wajahnya.
Tanpa malu-malu Zia mengangguk cepat lalu memamerkan senyumannya. Senyuman yang selalu ia berikan untuk Davas namun tidak pernah dibalas sama sekali.
"Kamu tahu kan saya sudah punya istri?" tanya Davas lagi dan langsung diangguki cepat oleh Zia.
"Kamu mau jadi istri kedua saya?"
Pertanyaan Davas kali ini mampu membuat Zia terbelalak kaget, membulatkan matanya lebar-lebar. Apa Zia tidak salah dengar, Davas memintanya menjadi istri kedua.
Ayolah, perempuan mana yang ingin di jadikan istri kedua. Zia juga masih memiliki harga diri, dimadu! Kalimat yang paling tidak ingin didengar oleh Zia.
"Maaf Pak tapi saya tidak berminat untuk menjadi istri kedua Bapak," ucap Zia lirih dengan tatapan terluka.
Davas kembali tersenyum miring. "Kenapa?" tanyanya santai.
Zia memilih bungkam. Menerima menjadi istri kedua berarti sama saja menyakiti hatinya semakin dalam. Apalagi bukan hanya hatinya yang terluka tetapi juga istri pertama Davas.
Zia menggeleng - gelengkan kepalanya berulang kali, membuat Davas menatapnya heran. "Saya sedang bertanya Zia," ucap Davas lantang sambil menatap dalam manik mata milik perempuan di hadapannya kini.
"Maaf Pak saya tidak tahu harus menjawab apa," balas Zia lirih dengan membalas lembut tatapan Davas.
"Saya heran sama kamu, katanya kamu cinta sama saya. Lalu saya menawarkan kamu menjadi istri kedua saya, kamu malah gak bisa menjawab," ucap Davas dengan memandang remeh ke arah Zia.
"Bapak gak memikirkan perasaan istri Bapak!" ucap Zia dengan suara meninggi.
Lagi - lagi Davas tersenyum miring, membuat hati kecil Zia merasa sakit mencintai pria di hadapannya saat ini.
"Istri saya pasti menerima apapun keputusan saya," jawab Davas dengan santai membuat kedua tangan Zia mengepal erat-erat.
"Saya tidak ingin menyakiti banyak orang," ucap Zia dengan mata terpejam.
"Saya heran sama kamu, bukannya selama ini kamu sudah menyakiti perasaan banyak orang. Saya tidak mencintai kamu tetapi kamu seperti wanita murahan yang terus-menerus mengejar saya dan parahnya lagi kamu sudah tahu saya memiliki istri. Apa kamu tidak berpikir? Kamu mengganggu hidup saya dan kalau istri saya tahu dia pasti juga akan terluka. Apa kamu tidak sadar!" ucap Davas sarkastis.
Setetes kristal bening meluncur bebas dari kelopak mata Zia tanpa malu-malu. Pandangan Zia berkabut memandang pria di hadapannya dengan seribu luka dihati.
Zia benar-benar tidak menyangka mulut Davas yang memang sering berkata pedas, namun tidak pernah sepedas ini bisa melontarkan kata-kata sialan itu.
"Maaf tapi perasaan saya gak bisa hilang begitu saja, saya masih tetap mencintai Bapak sampai kapan pun. Saya juga gak pernah berharap lebih untuk menjadi istri kedua Anda Pak Davas, saya sudah merasa senang berada disisi Bapak saja," balas Zia sambil menghapus air matanya secara kasar.
"Dan satu lagi yang perlu bapak tahu! Bapak boleh nginjak harga diri saya tapi tidak untuk di depan umum. Saya benar-benar terluka mendengar ucapan Bapak, tapi karena hanya saya sendiri yang mendengarkan ucapan Bapak tanpa ada orang yang tahu, untuk kali ini saya memaafkan Bapak. Kalau begitu saya permisi!" ucap Zia lantang dan langsung beranjak dari tempatnya sesegera mungkin dengan tangan kanannya menekan dalam-dalam dadanya yang terasa nyeri.
Bersambung...
