Bab 4 Sikap Kejam Davas
Inilah Jakarta selalu macet, membuat Zia sudah harus stand bye di jalanan yang macet sedari jam setengah enam. Zia benar-benar malas dengan keramaian yang selalu membuatnya lelah, di pagi hari pula.
Drtt drtt
"Halo?"
"Kamu bisa tolongin saya gak?" suara bariton itu terdengar lirih membuat Zia mengerutkan dahinya hingga berlipat-lipat.
"Ini Davas," ucap Zia hampir ternganga.
"Iya, tolong segera ke rumah saya, nanti saya kirimin alamatnya." Sambungan terputus, jantung Zia berdetak lebih cepat, takut terjadi hal yang tidak-tidak dengan pria yang ia cintai itu.
Ponsel Zia kembali berbunyi dan menampakkan pesan masuk dari Davas yang memberitahukan alamat pria itu.Secepat kilat Zia berusaha agar segera sampai menuju apartemen milik Davas.
Baru saja Zia sampai di depan gedung bertingkat menjulang tinggi di hadapannya, dengan gerakan cepat ia berlari memasuki gedung bertingkat itu tanpa memedulikan high heel sepuluh centi yang ia kenakan. Merasa jengah, Zia berlari cepat dari depan lift menuju tangga. Zia terus berlari dengan peluh yang bercucuran tanpa memedulikan kakinya yang terasa perih, sakit bercampur menjadi satu.
"Tunggu aku Dav," ucap Zia lirih dan terus melangkah hingga tangga lantai dua puluh.
Zia diam sejenak di depan pintu kamar yang bertuliskan nomor 350, menarik nafas panjang lalu mengambil sapu tangan mengelap keringatnya yang bercucuran lalu memasang wajah tersenyum.
Tok tok
Pintu terbuka dan tampak Davas dengan kantung mata yang tampak jelas serta wajah pucat pasi.
"Kamu kenapa Dav?" tanya Zia khawatir dan melangkah mendekat.
"Sakit," jawabnya pelan, setelah itu tubuh Davas ambruk dan dengan cepat Zia menangkap tubuh Davas ke dalam pelukannya.
Zia termasuk wanita yang baik, dengan perlahan ia membawa tubuh berat Davas ke dalam kamar lalu membaringkannya, lalu dengan sigap Zia mengambil posisi duduk dengan sebaskom air serta handuk putih kecil, perlahan namun pasti tangan Zia bergerak mengelap wajah Davas dengan penuh kasih sayang.
Berulang-ulang Zia mengganti kompres yang ditaruh di atas kepala Davas, Zia melirik jam sudah menunjukkan pukul lima sore, lalu tangan lembutnya menyentuh pelan dahi Davas. "Syukurlah, sudah tidak panas lagi," ucap Zia diiringi dengan senyuman.
Zia melangkah menjauh, mencoba mencari bahan yang cocok untuk membuat bubur.
Setelah selesai membuat bubur, Zia segera melangkahkan kakinya dan dengan nampan berisikan bubur, susu, air putih, serta buah Anggur.
Namun kedua manik matanya menangkap sebuah foto yang berukuran cukup besar di mana di sana ada Davas berdiri mengenakan tuxedo putih dan seorang wanita cantik berdiri dengan gaun panjang berwarna senada dengan pakaian Davas.
Zia hanya mampu tersenyum kecut, menyadari seharusnya dirinya tidak di sini, namun hatinya menolak sangat keras, dia tidak bisa pergi meninggalkan pria yang ia cintai sedang terbaring tidak berdaya.
Zia berbalik dan kembali masuk ke dalam kamar Davas. "Dav?” panggil Zia pelan sambil menepuk pelan pipi Davas. Davas menggeliat kecil dan membuka matanya secara perlahan.
"Makan dulu yuk, habis itu minum obat," ucap Zia membantu Davas untuk duduk.
"Aku suapin?" tanya Zia meminta izin.
"Tidak perlu, pergilah aku bisa sendiri," ketus Davas membuat Zia benar-benar terluka.
Menyakitkan, Zia yang selalu memikirkan perasaan Davas sedangkan Davas sebaliknya.
"Tapi kamu masih sakit," tolak Zia dengan segurat kekhawatiran.
"Apa urusanmu, pergilah aku muak melihat wajahmu, enyahlah!" usir Davas sambil mendorong bahu Zia.
Zia yang diperlakukan seperti itu hanya mampu tersenyum menutupi luka hatinya.
"Ya sudah. Aku pulang dulu ya, semoga kamu cepat sembuh,” ucap Zia lalu berbalik dengan air mata mengalir yang kini sudah membasahi pipinya.
Kaki Zia terlalu sakit untuk melangkah, sedari tadi sepatu high heel miliknya tidak pernah lepas dari kakinya, rasanya perih.Zia berjalan dengan sedikit pincang, masuk ke dalam lift, mengecek ponselnya yang sedari tadi berbunyi namun baru bisa melihatnya sekarang.
50 panggilan tak terjawab, 100 pesan belum terbaca.
45 panggilan tidak terjawab dari Jonas sisanya dari Keyla.
98 pesan belum terbaca dari Jonas lagi dan sisanya Keyla.
Zia menutup matanya rapat-rapat 'Aku lelah.' gumamnya dalam hati dengan setetes air mata meluncur dari kelopak matanya.
***
Dua hari Zia tidak masuk kantor setelah hari di mana Davas jatuh sakit.
Baru pagi ini Zia kembali mengaktifkan ponselnya lalu bersiap-siap untuk berangkat kerja. Setibanya di kantor, Zia langsung duduk di kursi yang sudah tiga hari tidak ia duduki.
"Zia?" kaget pria itu menatap sosok Zia ada di meja kerjanya.
Zia berdiri lalu menunduk hormat "Selamat pagi Pak," ucap Zia pelan.
"Ke ruangan saya, sekarang!" perintah Jonas dingin lalu berlalu masuk ke dalam ruangannya.
Zia yang melihat dingin sikap Jonas membuat sedikit hatinya terluka, namun ia segera menyusul masuk ke dalam ruangan pria itu.Baru saja Zia menutup pintu ruangan Jonas, tiba-tiba saja dua lengan kekar sudah memeluk erat pinggangnya. Zia berusaha sabar, melepaskan lengan kekar Jonas pelan lalu membalikkan tubuhnya dan tersenyum.
"Maaf saya bolos tiga hari Pak," ucap Zia dengan tatapan terluka.
"Kamu kenapa, sakit? Kenapa tidak membalas pesanku Zi, aku mengkhawatirkanmu," ucap Jonas lirih lalu menarik tubuh Zia jatuh ke dalam pelukannya.
Zia tidak menolak ia membalas pelukan hangat Jonas dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu sumpahin aku biar gak bisa hidup bahagia ya?" ucap Zia asal dan semakin mengeratkan tangannya di pinggang Jonas.
Jonas menanggapi ucapan Zia dengan menggelengkan kepalanya cepat. "Gak mungkin aku berani sumpahin kamu," ucap Jonas lirih.
"Aku khawatir sama kamu Zi," tambah Jonas dengan mengusap pelan rambut Zia lalu menciumnya sesekali.
Akhirnya pertahanan Zia luluh. Menangis mungkin alternatif yang tepat untuk Zia lakukan saat ini.
"Aku lelah Jo," ucap Zia parau. "Aku mencintainya," tambah Zia lagi, Jonas yang mendengar penuturan Zia seketika menegang.
'Ternyata aku terlambat, kamu sudah mencintai pria lain,' batin Jonas, sakit mendengar sendiri wanita yang kita cintai mencintai pria lain.
"Kamu yang sabar ya, aku akan selalu berada di sampingmu," ucap Jonas tulus dengan setetes air mata meluncur dari kelopak matanya.
"Sudah jangan menangis lagi, aku tidak mengenal Zia yang lemah, mana Zia yang kuat seperti dulu," ucap Jonas sembari melepaskan pelukannya. Jonas dengan sayangnya menghapus air mata Zia lalu mengecup kening Zia cukup lama.
"Kamu pantas bahagia," ucap Jonas dengan senyuman yang sudah lama tidak pernah ia perlihatkan.
"Jonas?” panggil Zia pelan lalu ikut tersenyum.
"Kamu ke mana tiga hari ini?" tanya Jonas dengan tatapan lembut membuat Zia kembali tersenyum.
"Aku di rumah. Maaf ya buat kamu kerepotan di kantor," ucap Zia penuh sesal.
"Gak papa, kamu baik-baik aja kan?" tanya Jonas yang langsung membuat Zia menekuk wajahnya.
"Kenapa, aku salah bicara?"
"Tidak," jawab Zia cepat. "Aku baik-baik saja," tambah Zia dengan senyum palsunya.
Jonas yang mendengar menganggukkan kepalanya. Jonas tahu kalau Zia menyembunyikan sesuatu dari dirinya. Percuma bukan sudah mengenal Zia lebih dari sepuluh tahun tetapi tidak mengenal wataknya.
"Ya sudah kembalilah bekerja," ucap Jonas dengan menepuk ringan bahu Zia dan lagi-lagi Zia tersenyum menanggapi ucapan Jonas.
"Pasti kerjaan aku numpuk nih," ucap Zia dengan mengerucutkan bibirnya.
"Haha, enggaklah Zia, semua pekerjaan kamu sudah beres aku kerjakan," ucap Jonas dengan tersenyum tulus.
"Bapak yang ngerjain tugas saya? Aduh, maaf ya Pak," ucap Zia penuh sesal membuat Jonas mencubit gemas pipi Zia.
“Gak usah formal-formal lagi, geli dengarnya,” ucap Jonas dengan santai. “Sudah sana kembali kerja," perintah Jonas lembut.
"Baik Pak, kalau begitu saya permisi dulu," ucap Zia sopan lalu menundukkan kepalanya.
“Bapak-bapak, emang aku bapaknya kamu,” cibir Jonas yang berusaha mencairkan suasana di antara keduanya.
Zia berbalik sambil tersenyum tersenyum. Tanpa disadari Zia selama ia melangkah menjauh Jonas memperhatikan gerak - geriknya, lalu terfokus dengan kaki Zia yang ternyata terluka membuat mata Jonas sukses membulat.
Bersambung...
