Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11 Wanita Itu Kembali

“Aku mencintaimu Davas,” balas Zia lirih dengan mata terpejam.

“Aku tau, tapi untuk apa aku ngejalanin hubungan gak jelas ini denganmu!” ucap Davas dengan rahang mengeras.

“Karena aku mencintaimu,” balas Zia dengan setetes kristal bening meluncur bebas dari kedua kelopak matanya.

“Kalau kamu mencintaiku, seharusnya kamu ngejalanin hubungan yang serius denganku. Apa kau pikir kita ini anak Abg?!” ucap Davas dengan mengepal tangannya erat-erat.

“Kamu gak ngerti Davas. Posisiku di sini yang sulit,” balas Zia parau dengan mata yang berkabut.

“Aku sakit, sangat sakit. Kita bisa berdampingan tapi gak bisa bersatu. Aku sadar betul di mana posisiku Davas. Aku udah sangat bahagia bisa berada di sisimu dan aku gak mau serakah, biarkan hubungan kita cukup sampai di titik ini aja,” ucap Zia tegas dengan menyeka air matanya secara kasar.

“Aku akan menceraikan istriku, bereskan,” ucap Davas tegas dan tidak ragu dalam mengucapkan kata-kata barusan.

Gila.

Zia menatap Davas tidak percaya, pria berpikiran sempit yang pernah ia temui, bagaimana mungkin pria seperti Davas meninggalkan istrinya hanya untuk kesenangan sesaat.

Zia menggebrak meja dengan sangat kuat menggunakan tangan kanannya yang kini terasa sakit.

“Davas! Berpikirlah yang jernih. Aku tidak mau serakah, cukup kita bisa bersama saja sudah cukup. Jangan sampai kamu melukai perasaan istrimu!” ucap Zia penuh penekanan dengan linangan air mata.

Davas menegakkan tubuhnya dan menatap Zia tajam. “Aku gak bisa. Aku mau memilikimu bukan hanya berada di sisiku tanpa status yang jelas!” balas Davas dengan penuh penekanan.

“Jadilah istri keduaku atau aku akan menceraikan istriku,” lanjut Davas dengan tatapan melembut penuh harap.

Lagi-lagi Zia membulatkan matanya lebar-lebar. Zia belum siap memberikan jawaban untuk pertanyaan ini.

“Aku gak nyangka kamu sebrengsek ini,” ucap Zia sarkastis.

“Lucu, bukannya kamu yang buat aku jadi sebrengsek ini?” balas Davas dengan tampang dinginnya.

“Davas?!”

“Kenapa, kamu marah? Sama aku juga marah!” balas Davas dengan tatapan terluka.

“Mengerti lah Davas, aku gak mau serakah, hubungan kita salah, dan kita udah sampai di titik ini aja seharusnya udah bersyukur,” ucap Zia lembut.

“Aku gak bisa, aku gak ingin kamu hanya berada di sisiku tapi aku gak bisa memilikimu seutuhnya, itu sama aja aku menghancurkan diriku sendiri!” ucap Davas lantang dengan penuh penekanan.

Zia menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan.

“Maaf Davas aku tidak ingin melukai perasaan istrimu,” ucap Zia lirih dengan kepala tertunduk.

“Untuk apa kamu memikirkan istriku. Pikirkan saja perasaan kita!” ucap Davas penuh penekanan.

“Davas?!”

“Argh, bahkan istriku saja tidak memikirkan perasaanku Zia!” pekik Davas nyaring dengan mengacak rambutnya kasar.

Zia tersentak, tubuhnya lemas, lalu seketika itu juga tubuhnya merosot hingga kembali terduduk pada tempatnya.

Zia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Bahkan istriku saja tidak memikirkan perasaanku.Sebenarnya apa yang disembuyikan Davas darinya, tidak memikirkan perasaannya bagaimana?

Kepala Zia saat ini benar-benar pusing, semuanya terlalu berat untuk dipikul di saat yang bersamaan.

Zia mendongakkan wajahnya ketika ia melihat sebuah tangan menjulur tepat di hadapannya.

“Ayo pulang?” ajak Davas lembut lalu menarik tangan Zia mengikuti langkahnya.

Selama di dalam mobil, Davas dan Zia memilih membungkam mulut rapat-rapat.

“Zia?” panggil Davas pelan.

Zia mengalihkan pandangannya dari menatap keluar jendela menjadi menatap Davas lekat-lekat.

“Soal yang tadi kamu lupakan aja, tadi aku terlalu terbawa emosi, cukup kita bisa bersama saja aku sudah bahagia kok. Aku gak mempersalahkan lagi tentang hubungan kita,” ucap Davas tenang dan sekilas melirik wajah keterkejutan Zia saat ini.

“Maaf Davas. Aku rasa aku sudah mendapatkan jawabannya untuk pertanyaanmu itu, aku... gak mau jadi istri keduamu sampai kapan pun,” ucap Zia lembut namun penuh penekanan.

Davas menginjak rem mobilnya dalam-dalam, membuat tubuh Zia sedikit terhuyung ke depan.

“Maaf,” ucap Zia lirih dengan mata terpejam.

Hangat, pelukan Davas yang mampu membuat tubuh Zia menegang. Zia terdiam sejenak dengan posisi mereka, namun di detik berikutnya Zia akhirnya membalas pelukan Davas dengan begitu erat.

Cukup lama dalam posisi itu, hingga tiba-tiba Davas berbisik yang mampu membuat detak jantung Zia berhenti berdetak saat itu juga.

“Aku mencintaimu,” bisik Davas pelan dengan semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh ramping Zia.

Zia membatu, tidak tahu kata-kata apa yang harus ia lontarkan dari bibir tipisnya. Hingga seulas senyuman tercetak jelas di wajahnya.

“Aku juga mencintaimu Davas, selamanya.”

***

Setahun. Ya sudah satu tahun berlalu begitu saja. Waktu memang berjalan begitu cepat, dan hari ini tepat Setahun jalinan kasih antara Davas dan Zia.

“Zia?” panggil Davas pelan sambil membelai rambut Zia penuh kasih sayang.

“Hm,” gumam Zia pelan menanggapi panggilan Davas.

“Aku mencintaimu,” bisik Davas pelan.

Entah mengapa sekarang kalimat itu seakan sangat mudah meluncur bebas dari bibir Davas dan mampu membuat tubuh Zia menegang saat itu juga, walaupun kalimat itu sudah beribu-ribu kali Davas lontarkan untuknya.

“Aku juga mencintamu Davas,” balas Zia dengan semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Davas.

Kini mereka sedang berada di pinggir pantai dengan pemandangan alam yang sangat menakjubkan untuk dipandang mata.

Zia semakin menaruh kepalanya dalam-dalam di dada bidang Davas.

“Aku ingin kita selalu seperti ini,” ucap Zia dengan mata terpejam.

Belum sempat Davas membalas perkataan Zia, suara itu sudah lebih dulu mengusik pendengaran Zia dan Davas.

“Davas?”

Zia membuka matanya lebar-lebar. Kini ia dapat melihat seorang wanita cantik berdiri dengan anggun di hadapannya.

“Davas?” panggil wanita itu lagi.

Davas memilih diam sedangkan Zia mencoba mengingat-ingat wajah wanita di hadapannya ini yang tidak asing lagi dimatanya.

Sedetik kemudian Zia membelalakkan matanya. Istri Davas. Zia menjauhkan tubuhnya lalu menatap wanita itu cukup lama.

“Anda siapa suami saya?” tanya wanita dihadapan Zia kini dengan nada kurang bersahabat.

“Jenny!” pekik Davas lantang, membuat wanita bernama Jenny itu membulatkan matanya, syok.

Zia menatap Davas dalam-dalam dan sebaliknya.

“Calon istriku,” ucap Davas lantang tanpa melihat ke arah Jenny sama sekali.

“Apa, calon istri kamu? Oke, aku minta maaf untuk yang dulu, aku khilaf, kamu hanya menganggap wanita ini sebagai pelampiasan aja kan? Ayolah, kita bisa memulai semuanya dari awal, aku sudah kembali,” ucap Jenny lembut dengan merengek manja di lengan kokoh Davas.

Zia menatap sendu pandangan di hadapannya kini, menyakitkan. Davas menepis tangan Jenny pelan, membuat wanita itu membulatkan matanya tidak percaya.

“Davas?” panggil Jenny lirih dengan mata berkabut.

“Kamu tidak ingat apa yang kamu lakukan dulu padaku!” ucap Davas lantang dengan penuh penekanan.

Empat tahun yang lalu

“Jenny kamu mau ke mana?” tanya Davas panik saat melihat Jenny menarik koper besar miliknya.

“Maaf Davas, aku harus pergi,” ucap Jenny dengan tatapan sendu.

“Ke mana?” tanya Davas lembut.

“Mau liburan ya?” tambah Davas lagi dengan menyunggingkan senyumnya.

“Enggak,” jawab Jenny cepat.

Davas membulatkan matanya lebar-lebar. “Maksud kamu apa sayang?”

“Aku memiliki kekasih dan sebaiknya kita akhiri saja pernikahan kita ini,” jawab Jenny dengan mata terpejam.

“Ha! Kamu bercanda, sungguh, ini gak lucu sayang,” ucap Davas dengan menggenggam erat tangan istrinya.

Tanpa diduga, Jenny menepis tangan Davas dengan kasar.

“Aku jijik melihatmu, aku bosan melihatmu, aku tidak pernah mencintaimu, aku hanya ingin hartamu saja, dan sekarang sudah saatnya aku meninggalkanmu,” ucap Jenny lantang dengan tatapan berkabut.

Davas mematung di tempatnya. Apa ini semua mimpi? Rasanya sungguh sakit, atau istrinya sedang memberikannya sebuah kejutan, tetapi kejutan untuk apa?

Sesak, Bahkan Davas sampai lupa bagaimana caranya untuk bernafas, rongga dada begitu menipis membuatnya harus memukul dadanya kuat-kuat.

Davas tertawa, tertawa penuh keterlukaan. Lalu mata elangnya beralih menatap istrinya lekat-lekat.

“Kamu bercanda. Aku begitu mencintaimu sayang, ayolah, aku sedang tidak ingin bercanda,” ucap Davas parau.

“Tolong lepaskan aku. Aku ingin hidup bahagia dengan orang yang aku cintai,” ucap Jenny lembut dan detik berikutnya ia bersimpuh di hadapan Davas dengan suara tangisan yang begitu memilukan.

Davas sadar, ini bukan settingan atau candaan istrinya. Ini semua murni nyata, sangat nyata!

Air mata yang sedari tadi ditahan Davas akhirnya lolos juga tanpa bisa dicegah.

Davas menundukkan tubuhnya lalu mengecup singkat kening istrinya.

“Aku izinkan kamu pergi, tapi aku tidak akan pernah menceraikanmu, datanglah padaku kapan pun kamu mau, karena aku akan selalu menunggumu istriku,” ucap Davas dengan semakin derasnya air mata mengalir dari kedua kelopak matanya.

Itulah yang terjadi tepat empat tahun yang lalu.

“Aku bisa menjelaskan Davas, kumohon jangan tinggalkan aku,” ucap Jenny lirih dengan menatap Davas penuh harap.

Davas memilih bungkam dengan kedua matanya menatap lekat manik mata Zia yang begitu ia kagumi sedari awal mereka menjalin hubungan.

“Bukankah saat itu kau pernah bilang aku bisa kembali kapan saja aku inginkan, dan sekarang aku sudah kembali, aku mencintaimu Davas,” ucap Jenny parau, kini tubuhnya sudah merosot ke bawah dengan tangisannya yang begitu memilukan untuk didengar.

Zia menatap nanar ke arah Davas, Zia membalikkan tubuhnya lalu melangkahkan kakinya lebar-lebar.

Davas menatap Jenny dengan tatapan iba. “Maaf, aku sudah membagi hatiku Jenny, aku mencintai wanita itu,” ucap Davas dengan menunjuk ke arah Zia yang semakin melangkah menjauh.

Bersambung...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel