Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10 Tertekan

Zia menatap kosong layar di hadapannya. Entah sadari tadi ada sesuatu yang mengganggu ketenangannya.

“Zia?”

Zia mendongakkan wajahnya dan menatap dalam wajah pria di hadapannya kini, dengan waktu yang cukup lama.

“Tolong kirimkan file untuk presentasi besok,” ucap pria itu datar.

Zia bukannya menjawab, malah terlalu fokus menatap wajah pria di hadapannya saat ini.

“Zia kamu mendengarkan saya tidak?” ucap pria itu dengan suara yang lebih kuat membuat Zia mengerjapkan matanya beberapa kali.

“Bapak ngomong apa?” tanya Zia dengan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Hm... Kamu melamun?” ucap pria itu dengan mengembuskan nafasnya perlahan.

“Maaf Pak.”

“Kirimkan saya file untuk presentasi besok,” ulang pria itu lagi.

Ketika pria itu hendak melangkahkan kakinya menjauh, Zia memanggil nama pria itu, sehingga membuatnya memutar badan dan menatap Zia cukup lama.

“Aku rasakan kamu gak harus menghindariku seperti ini,” ucap Zia dengan tenang namun berbaring terbalik dengan jantungnya yang berdebar tidak karuan.

“Tidak apa-apa. Aku sudah mulai terbiasa,” balas pria itu dengan mengulas sedikit senyuman.

“Jonas?” panggil Zia lirih.

“Seperti ini lebih baik,” ucap Jonas lembut lalu memutar tubuhnya, kembali melangkahkan kakinya menjauh.

Zia menatap malas layar ponselnya, lalu dengan cueknya Zia melempar ponselnya sembarangan.

***

Setibanya di rumah, Zia bergegas menuju ranjangnya. Zia mencoba menutup matanya rapat-rapat saat merasakan kenyamanan saat menyentuh bantal kesayangan miliknya.

Drrt drtt

Zia membuka matanya lebar-lebar lalu mencari keberadaan ponselnya.

“Halo?

“Udah tidur?” tanya seseorang di sebrang sana.

“Belum. Kalau aku udah tidur kayak mana aku bisa angkat telpon kamu,” jawab Zia sambil terkekeh.

“Aku gak suka bercanda,” ucap Davas dingin, membuat Zia langsung menutup mulutnya rapat-rapat.

“Maaf,” balas Zia pelan.

“Hm.”

“Malam-malam gini kamu telpon aku gak takut ketahuan istri kamu,” ucap Zia lembut.

“Jangan buat mood aku rusak Zia!” balas Davas ketus.

“Maaf.”

“Kamu jangan dekat-dekat sama Jonas!” ucap Davas dengan nada memperingati.

Zia diam sejenak, menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan.

“Iya, aku udah ngejahuin dia kok,” jawab Zia lirih.

“Besok aku mau kenalin kamu ke keluarga aku,” ucap Davas datar.

“Apa?” pekik Zia dengan mata terbelalak.

“Kamu ini apaan sih, teriak-teriak gak jelas. Aku gak suka ngomong ngulang-ngulang, apa kamu lupa?” ucap Davas dingin.

Zia menutup matanya rapat-rapat lalu mengelus dadanya secara perlahan.

“Aku rasa... aku tidak perlu bertemu sama keluarga kamu. Aku gak enak sama istri kamu, lagian kita juga jalanin hubungan ini tanpa sepengetahuan keluarga kamu,” ucap Zia lembut menanggapi kata-kata Davas.

“Kamu sebenarnya cinta gak sih sama aku?” ucap Davas tajam dengan menekan setiap katanya.

“Iya. Aku cinta sama kamu, tapi aku gak pernah berpikir untuk sejauh ini. Aku gak mau melukai perasaan istri kamu, coba bayangin apa yang ada di pikiran keluarga kamu, kalau tiba-tiba kamu bawa aku, lalu mengenalkan aku sebagai pacar kamu,” ucap Zia lembut namun tidak dengan hatinya yang merasa terluka telah mengucapkan kata-kata itu.

Betapa menyakitkannya mencintai seseorang yang cuma bisa berada di sisimu tanpa bisa memiliki seutuhnya.

“Kalau aku minta kamu jadi istri kedua aku, kamu mau gak?” tanya Davas lembut.

Entah perasaan apa yang kini Zia rasakan. Hatinya hancur, istri kedua, dimadu. Tidak, Zia tidak mau.

Tanpa Zia sadari, kristal bening meluncur bebas dari sudut matanya.

“Aku mencintaimu,” ucap Zia tanpa menjawab pertanyaan menyakitkan yang terlontar dari bibir Davas.

“Aku tahu, jawablah pertanyaanku tadi,” ucap Davas menuntut.

Lama Zia terdiam menatap lurus langit-langit kamarnya, matanya kembali terpejam dengan kembalinya sebulir kristal bening menetes dari sudut matanya.

“Jawablah!” tutut Davas di sebrang sana.

“Maaf, aku lelah Davas. Aku akan jawab ketika aku sudah tahu jawabannya,” balas Zia lembut dan dengan gerakan cepat ia menekan tombol merah.

Tidak hanya itu Zia juga mematikan ponselnya. Zia benar-benar lelah dengan beban pikirannya. Zia hanya membutuhkan istirahat saat ini.

***

Zia melangkahkan kakinya gontai, tatapan kosong menatap pintu lift di depannya. Hening, Zia lebih memilih diam, menyenderkan bahunya dengan kepala tertunduk.

“Sakit?”

Zia mendongakkan wajahnya dan terlihat terkejut menyadari Jonas juga berada di dalam lift yang sama dengannya.

Zia menegakkan tubuhnya dalam posisi sempurna. “Enggak kok. Cuma masih ngantuk aja,” balas Zia sembari tersenyum.

Hening.

Pintu lift terbuka. Jonas lagi-lagi meninggalkan Zia begitu saja, Zia menatap sendu punggung Jonas yang semakin menjauh hingga tidak terlihat lagi oleh jarak pandangnya.

“Zia?”

Zia mengalihkan pandangannya dan langsung bertatapan dengan mata biru pria yang ia cintai.

“Kamu berangkat sama Jonas?” tanya Davas dengan suara meninggi.

Kini mereka berada di dalam ruangan Davas. Ruang kedap suara yang hanya dimiliki oleh ruangan Davas seorang.

“Enggak Davas,” bantah Zia cepat.

“Lalu kenapa kalian bisa berdua?” tanya Davas dengan rahang mengetat.

“Hanya kebetulan Davas. Gak mungkin aku menghindar sampai harus naik tangga darurat,” ucap Zia mencoba menjelaskan.

“Kalau itu yang terbaik, kenapa enggak, kamu naik tangga darurat bukan masalah besar kan?” balas Davas tidak mau kalah dengan menekan setiap kata yang terlontar dari bibir tipisnya.

“Aku minta maaf,” ucap Zia lirih.

“Kalau kamu terus dekat sama dia, akan aku pastikan dia akan angkat kaki dari perusahaan ini,” ucap Davas tegas.

Zia mendongakkan wajahnya dan menatap Davas sendu.

“Kamu kok tega banget Davas?” ucap lirih.

“Kamu sebenarnya cinta gak sama aku?” tanya Davas dengan penuh penekanan.

“Davas?!”

“Kenapa? Kamu gak suka aku tanya kayak gitu!” ucap Davas dengan sorot mata yang menusuk.

“Bukan begitu Davas. Kamu tahu apapun yang terjadi aku akan tetap mencintaimu,” ucap Zia lirih dengan mata terpejam.

“Aku pegang ucapanmu, apapun yang terjadi kamu harus tetap mencintaiku,” balas Davas tegas.

Zia hanya dapat mengangguk pasrah.

“Dan satu aku gak mau kamu dekat dengan Jonas, mengerti?!”

Lagi-lagi Zia menganggukkan kepalanya, terlalu berat untuk Zia membuka suara sedikit saja, terlalu menyakitkan.

Davas mengusap pelan pucuk kepala Zia lalu mengecup singkat kening kekasihnya itu.

“Sudah. Kamu boleh keluar dari ruanganku!” ucap Davas lembut.

Zia menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong, menyebalkan. Zia sudah cukup pusing menerima perlakuan Davas yang kini mulai semena-mena.

Belum lagi sekarang tugasnya benar-benar diambil ahli hampir seluruhnya oleh Jonas.

Menjauh, bukan berarti tidak bisa bertegur sapa sama sekali, bukan?

Sungguh, ini menyiksa. Tapi dengan adanya tingkah laku posesif Davas, membuat Zia harus benar-benar bersabar.

“Woi, ngelamun aja lu?”

Zia tergelonjak kaget dari posisi awalnya hingga membuatnya harus mengelus dadanya pelan. Kini mata biru Zia tengah menatap tajam sahabatnya itu.

“Lu apa-apaan sih Keyla!” ketus Zia dengan wajah memerah.

“Lu aneh, beberapa hari ini lu gak bosan-bosan marahin gue. Kalau ada masalah cerita dong Zia, jangan buat gue jadi pelampiasan. Kalau lu mau cari pelampiasan mendingan sama Davas sih brengsek itu aja,” balas Keyla tajam dengan menatap malas Zia yang kini menatapnya tidak percaya akan perkataan yang baru saja terlontar dari bibir Keyla.

Zia mengembuskan nafasnya kasar dengan mata terpejam.

“Gue tahu lu gak suka sama Davas Keyla, tapi lu jangan jelek-jelekin dia di depan gue dong,” sungut Zia dengan menekan-nekan pelipis matanya pelan.

“Segitunya lu dibutakan sama cinta. Sadar Zia. Lu seharusnya gak berhubungan lebih sama Davas,” ucap Keyla tajam lalu meninggalkan Zia begitu saja.

Miris, bahkan sahabatnya sendiri kini mulai tidak sepahaman lagi dengannya.

“Ayo dimakan!” perintah Davas halus, ketika melihat Zia belum juga menyentuh makanan miliknya.

“Hm,” gumam Zia pelan menanggapi ucap Davas.

“Ada masalah?” tanya Davas dengan menghentikan aktivitas memasukkan makanan ke dalam mulutnya dan beralih menatap Zia.

“Gak ada,” balas Zia cepat.

“Gak usah bohong, aku gak suka,” balas Davas penuh penekan.

“Cuma lelah aja Davas,” balas Zia lembut.

“Kenapa gak bilang? Kalau gitu ngapain kita dinner kalau jadinya kamu kayak gini,” ucap Davas dengan sedikit nada kesal di dalamnya.

“Maaf.”

“Ok. Lupain aja,” balas Davas cepat.

“Kapan kamu siap aku temuin sama keluargaku?” tanya Davas lembut.

Pertanyaan itu lagi, pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin Zia dengarkan.

“Aku belum tau,” jawab Zia cepat.

“Kenapa?” tanya Davas seakan tidak mengerti alasan Zia, padahal jelas-jelas Davas mengerti maksud Zia saat ini.

Zia menghembuskan nafasnya secara kasar. “Harus berapa ratus kali aku ngasih alasan kenapa aku belum siap ketemu keluarga kamu. Kamu gak bosan nanya itu terus, dan berakhir dengan kita ribut, aku lelah bahas itu terus Davas,” ucap Zia lirih dengan menatap dalam manik mata milik Davas.

“Kamu gak bisa ngertiin aku ya Zia, aku ini serius sama hubungan kita,” balas Davas dengan nada lembut.

“Kamu maunya aku ngertiin kamu terus, tapi kapan kamu ngertiin aku! Aku bosan, aku terus yang ngalah sama kamu,” balas Zia dengan suara meninggi.

“Jadi kamu anggap hubungan kita ini apa?!” ucap Davas dengan rahang mengeras.

“Kita jalanin aja dulu Davas,” balas Zia pelan.

“Jalanin yang kayak mana?” balas Davas dengan menatap Zia tajam.

“Davas?!”

Bersambung...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel