Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kerinduan Mendalam

Aruna terlihat sibuk mencuci piring pasca bebersih rumah. Sejak kehadirannya, tugas Ningsih menjadi lebih mudah sebab ia hanya memasak makanan karena pekerjaan rumah lainnya telah dikerjakan oleh anak tirinya. Ningsih begitu menyayangi Aruna meski gadis kecil itu bukanlah anak kandungnya

"Sayang, aku berhasil menjual beras kita dengan harga lebih tinggi, ini uangnya kamu simpan dan ini untuk bapak," ucap Arka sambil meletakkan amplop berisi uang di mejanya, di dekat istrinya yang tengah asyik menonton tv.

"Terima kasih sayang, kamu memang yang terbaik! Ini kamu simpan untuk biaya sekolah Aruna," ujarnya sambil menyimpan satu amplop yang nanti akan diberikan pada ayahnya.

"Gimana sayang? Apakah Aruna bekerja dengan baik? Aku berhasil menemukan sekolah yang dekat dan terjangkau untuknya, dia akan mulai bersekolah besok." ucap Arka sambil merebahkan tubuhnya di kursi ruang tamu tempat sang istri duduk.

"Iya sayang, aku selalu mendukungmu," ucap Ningsih sambil tersenyum penuh ketulusan.

"Sayang, aku khawatir dengan ayah, dia pasti menolak jika mengetahui Aruna akan melanjutkan sekolahnya di jenjang SMA," ujar Arka dengan ekspresi sedih.

Hari demi hari dilalui Aruna dengan berat, sang kakek yang tak pernah setuju dengan keputusannya untuk sekolah terlihat selalu menghambatnya. Ia seringkali disuruh-suruh hingga seringkali terlambat ke sekolah bahkan sering tidak diberi uang saku. Aruna kecil kerapkali kelaparan di sekolah barunya, untungnya dia memiliki teman sebangku yang baik hati hingga rela berbagi bekal dengannya. Aruna awalnya menolak tapi ia kerapkali dipaksa untuk menerimanya.

Aruna yang cerdas dan kreatif tak kehabisan ide untuk mencari penghasilan tambahan, ia kerapkali membantu penjaga kantin untuk cuci piring atau menjajakan gorengan pada teman-temannya. Uang yang terkumpul ia tabung dan pergunakan untuk makan saat siang hari sebab ia tak pernah sarapan ataupun diberi uang jajan.

Saat pembagian rapot tiba, Arka begitu bangga saat namanya pertama kali dipanggil. ia merasa senang saat mengetahui sang anak mendapat juara pertama dengan nilai tertinggi dan beberapa kali menjuarai olimpiade tingkat sekolah menengah atas yang mengharumkan nama sekolahnya. Sang guru juga mengaku salut karena Aruna juga pandai mencari uang sendiri dengan cara membantu petugas kantin bebersih dan menjajakan kue kantin pada teman-temannya. Pria itu terharu mendengar penuturan sang guru.

Melihat perjalanan hidupnya yang terasa lebih mudah tiba-tiba Aruna teringat kejadian ketika ia tinggal dengan ibu tiri yang kejam. Ibu tiri yang tak pernah menyetujuinya untuk bersekolah hingga kerap kali terlibat perdebatan dengan sang ayah.

Berikut kilatan memori saat sang ayah berdebat dengan mantan ibu tirinya yang bernama Asih.

"Asih! Tega sekali kau pada anakku! Kemana selama ini uang sakunya? apa kau telah menyalahgunakannya?" teriak ayah berang, ia tak menyangka sang istri setega itu.

"Kamu jangan menuduhku sembarangan mas! Anak itu pasti berbohong! Dia ingin mengadu domba kita!" sanggah Mama Asih sambil menatap tajam ke arah Aruna yang sedang menunduk ketakutan.

"Bukan Aruna yang bilang tapi guru kelasnya! Ia melihat sendiri Aruna bekerja di kantin! Aku bukan orang bodoh! Tidak mungkin dia melakukan itu jika uang saku tidak kau salahgunakan!" bentak ayah yang sudah kehabisan kesadaran, ia tak mampu lagi memendam amarahnya.

Mama Asih terdiam, ia tak mampu lagi melawan perkataan Ayah Aruna. Kebenciannya pada Aruna semakin besar, diam-diam pikirannya sedang menyusun rencana untuk menyingkirkannya.

"Asal kau tahu! Anakku ini juara kelas dan olimpiade sains tingkat nasional! Dia anak cerdas tidak sepertimu yang dari kampung dan bisa-bisanya menipuku, aku tidak akan mengampunimu yang sudah membuatku malu!" lanjut Ayah masih dalam keadaan marah.

Mama Asih tersentak, ia tak menyangka suaminya tega mengatakan bahwa dia kampungan dan takkan mengampuninya. Sejak hari itu, ia bertekad untuk membuat anak tirinya semakin menderita.

Aruna menangis saat teringat momen itu, tiba-tiba teringat Arini, saudara kembar yang selalu di sampingnya, apakah dia juga merindukannya? Guman Aruna.

****

Arini yang sedang bersantai tiba-tiba teringat kembali dengan kenangan terakhirnya bersama sang ayah yang pergi bersama Aruna.

"Ayah jangan pergi, Arini kangen ayah," rengeknya sambil memeluk sang ayah seolah enggan untuk melepas.

"Sayang, ayah harus pergi, Aruna sudah menunggu ayah," tolak ayahnya secara halus, ia tak mungkin berlama-lama di sana sebab pak bos pasti sedang mencarinya.

"Makanlah sebentar bersama kami, Arini pasti merindukanmu," pinta Papa Adrian sambil mempersilahkan ayah untuk bergabung di meja kami.

Bunda hanya terdiam sambil menundukkan kepala, ia mungkin merasa canggung.

"Bagaimana kabarmu Na?" tanya ayah basa-basi, ia mencoba mencairkan suasana yang terasa kikuk.

"Alhamdulillah baik Mas, bagaimana kabar Aruna? aku rindu padanya," sahut bunda dengan lirih, ia berharap bisa bertemu dengan Aruna walau hanya sebentar.

"Dia baik-baik saja, dia tumbuh menjadi anak yang cerdas," jawab ayah sambil memandangi makanan yang tersaji. Semuanya terlihat enak. Namun, seketika itu ia merasa malu, teringat jika seumur-umur dia tak pernah mengajak keluarga kecilnya makan enak di restoran.

"Pak Arka sedang apa berada di restoran ini?" tanya Papa Adrian sambil menatap tajam pada ayah.

"Saya adalah kurir pengantar ayam potong yang di pesan restoran ini," jawabnya canggung, ayah merasa tidak nyaman dengan kondisi saat itu.

Papa Adrian segera memanggil manajernya, ia berkata untuk memperpanjang kontrak kerja sama pengiriman ayam potong yang telah dibawa oleh ayah. Mendengar Papa Adrian berbicara seperti bos pada karyawannya, ayah terlihat semakin merasa tidak percaya diri.

"Ayah, Papa Adrian baik sekali sama aku dan bunda, ia mau jadi papa untuk Arini," celotehku dengan wajah polos, aku memang bahagia dengan keberadaan Papa Adrian yang dapat menjadi ayah yang baik untuk menggantikan Ayah Arka.

Bak petir di siang bolong, ayah mendengar dari anaknya sendiri bahwa posisinya akan digantikan. Lalu ia berdiri tanpa menyentuh makanan yang tersaji. Ia membungkukkan badannya seolah mohon undur diri dari tempat yang membuatnya merasakan sesak di dada. Ia berjalan dengan langkah cepat tanpa menoleh ke belakang meski terdengar suaraku terus memanggil namanya.

Arini menangis saat melihat sang ayah berjalan menjauh membelakangku. Bunda berusaha menenangkan dengan mengatakan bahwa ayah hendak pergi bekerja sehingga dia pasti akan kembali lagi untuk menemuinya.

Namun, tak terasa sepuluh tahun sudah berlalu, tak pernah terdengar kabar tentang ayah dan Aruna. Apakah mereka tidak merindukannya? Disetiap ulang tahunnya, dia selalu berdoa agar dipertemukan kembali dengan mereka terutama Aruna.

Masa sekolah dasar berjalan terasa lambat, dia yang pemalu kerapkali dirundung oleh teman sekelasnya karena tak pandai bicara. Bahkan, dia sudah pindah sekolah beberapa kali karena hampir depresi. Seketika itu dia teringat akan kehadiran Aruna yang selalu membelanya, Di manakah dirinya? Apakah dia juga merindu?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel