Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Perpisahan Membawa Luka

"Bunda, lepaskan aku! Biarkan Aruna ikut bersamaku," rengek gadis kecil bernama Arini. Ia berusaha menahan kepergian saudara kembarnya akibat perceraian kedua orang tuanya.

"Sudahlah Nak, biarkan dia ikut ayahmu!" bentak Anna, sang bunda yang mencoba tegar. Ia tak kuasa menahan kesedihan saat palu hakim menghendaki hak asuh anak kembarnya terbagi, Arini untuk Anna dan Aruna untuk Arka.

"Tidak Bunda! Aku tak bisa jauh dari Aruna!" teriaknya dengan suara lantang. Langkah kecilnya terus berusaha mengejar Aruna yang berada di dalam mobil.

Mobil itu perlahan melaju dengan kecepatan sedang, langkah kecil tak mampu menjangkau hingga tibalah rasa ingin menyerah. Arini kecil hanya bisa melihat saudaranya pergi menjauh.

Begitulah kilatan kenangan yang terlintas saat Arini remaja sedang memandangi foto yang tersimpan rapi di laci meja belajarnya. Sulit baginya untuk melupakan peristiwa yang mengubah perjalanan hidupnya. Entah bagaimana sekarang kabar saudara kembarnya? Tak ada satupun petunjuk yang dapat mengungkap keberadaannya.

Arini mengetahui bagaimana usaha sang bunda untuk terus menemukan Aruna. Mulai dari memasang iklan di media cetak, elektronik hingga sayembara. Tidak ada satupun kabar yang mampu membuatnya tersenyum bahagia. Seolah kembarannya menghilang bak ditelan bumi.

"Sayang, ayo makan dulu, sudah di tunggu Papa dan adik-adikmu tuh," ajak Anna, sang bunda. Ia menyadari kegelisahan anak perempuannya akibat kerinduan pada saudara kembar tapi ia juga tak mampu berbuat apapun.

"Kak Rini, ayo makan bersama kami," ajak Raka, adiknya yang sedang menyiapkan piring untuk kakak perempuannya.

"Iya, ayo Kak, jangan diet! Nanti Kakak kurus, jelek!" ejek Raki saudara kembarnya yang kini sudah menginjak Sekolah Dasar.

Mendengar celoteh kedua adik kembarnya, Arini tersenyum lebar. Sejenak ia mampu melupakan sosok Aruna yang telah menghiasi kenangan masa kecilnya dengan melihat keceriaan dan kelucuan adik kembarnya.

Keluarga harmonis itu tengah menyantap makan siang yang tersaji dalam piring-piring keramik. Sesekali terdengar canda tawa dua anak kembar yang membuat suasana semakin hidup. Sorot mata penuh kasih sayang selalu terpancar di antara masing-masing anggota keluarga. Semua nampak begitu bahagia sebab saling memahami dan menerima kekurangan masing-masing.

"Papa, apakah berencana akan pergi ke luar negeri pekan depan?" tanya Arini dengan wajah sedih, ia tak menyangka ulang tahunnya yang ke-17 tidak dihadiri oleh orang yang sangat dicintai, Papa Adrian.

"Maaf sayang, Papa harus menghadiri seminar di luar negeri tapi jangan khawatir. Kado sudah ku siapkan spesial untuk putri kesayanganku," ujar Adrian dengan senyum manisnya. Dokter tampan itu selalu menyayangi anak-anak tanpa membedakan, meski ia tahu bahwa Arini adalah anak pernikahan antara Anna dan Arka.

"Bund, Papa nggak sayang Arini, dia lebih milih pekerjaan daripada aku," sahut Arini dengan cemberut, ia bahkan menyudahi makan siangnya.

Gadis itu bergegas menuju kamarnya, lalu mengunci pintu. Hari minggu adalah hari yang paling menyenangkan untuk bermalas-malasan di kamar, pikirnya. Ia terdiam sambil terus memandangi foto masa kecilnya dengan Aruna.

"Aruna, hanya kau yang tak pernah membuatku kecewa. Kau selalu membelaku saat semua orang merundungku. Kau bahkan bisa membuatku menjadi lebih baik saat aku bersedih, di mana kamu sekarang? apakah kamu masih hidup?" gumannya sambil memeluk foto masa kecilnya bersama Aruna, matanya terpejam seolah mencoba merasakan kehadirannya.

****

Di sebuah desa terpencil, terlihat seorang gadis yang sedang bersusah payah memikul hasil panen. Ia nampak cekatan meski usia yang terbilang sangat muda. Di saat teman-temannya sedang sibuk bermain, ia justru bersusah payah membantu ayahnya di sawah.

"Aruna, sudahlah. Jangan melakukan hal itu lagi, kau sudah lelah karena bersekolah sejak pagi," ujar Arka, sang ayah yang selalu tulus menyayanginya.

Pria itu sesungguhnya tak tega melihat anak gadisnya harus bersusah payah membantunya mengangkut padi dari sawah menuju tempat penggilingan. Namun, apalah daya, Aruna adalah gadis keras kepala, selama merasa masih kuat, apapun akan dilakukan demi menunjukkan bakti padanya.

"Mas, Aruna! Ayo istirahat dulu! Aku membawakan kalian bekal!" teriak Ningsih, perempuan yang telah dinikahinya beberapa tahun yang lalu.

Pernikahan itu sebenarnya tidak direstui oleh ayah Ningsih sebab Arka seolah terpaksa menikahi anaknya. Ikatan suci baru saja terjalin saat anak mereka berusia lima tahun. Bukan tanpa sebab Arka "terlambat" menikahi Ningsih. Kala itu, ia masih terikat pernikahan dengan Asih sampai akhirnya mereka bercerai karena wanita itu ketahuan selingkuh. Pernikahan Arka dan Ningsih terjadi atas permintaan dari Ningsih sebab ia tak ingin sang anak kurang kasih sayang dari ayah kandungnya.

"Ibu, terima kasih selalu mengantarkan makanan untuk kami seperti ini," ucap Aruna sambil menatap ibu tirinya.

Ningsih adalah sosok wanita lembut yang memancar aura keibuan. Ia berbeda dengan Asih atau Clara, mantan istrinya. Kehidupan Arka cukup pelik, dia telah tiga kali menduda. Pernikahan pertama dengan seorang guru honorer bernama Anna, melahirkan anak kembar bernama Arini dan Aruna. Pernikahan kedua dengan bos pemilik toko bunga bernama Clara. Pernikahan ketiga dengan mantan ART bernama Asih.

"Aruna, kamu sudah aku anggap seperti anakku sendiri, jangan pernah merasa sungkan pada ibu," ucapnya lembut sambil tersenyum hangat pada anak tirinya.

Keluarga kecil tengah asyik melahap makanan yang di bawa sang ibu. Menu makanan memang tidaklah mewah, hanya nasi, tahu-tempe, dan sayur urap tetapi mampu menghilangkan rasa lapar dan lelah. Sesekali mereka bercanda tawa semakin mencairkan suasana.

Senja menjadi pertanda sudah saatnya para petani mengakhiri segala aktivitasnya. Arka dan Aruna berjalan kaki penuh suka cita menuju ke rumah mereka. Lebih tepatnya rumah milik orang tua Ningsih. Namun, Ayah Ningsih tak kunjung bisa menerima kehadiran Arka dan Aruna.

"Baru pulang kalian? Mana hasil panen hari ini?" tanya si kakek dengan kasar, menatap tajam ke arah ayah dan anak itu.

"Maaf ayah, uang hasil panen tidak seberapa, aku harus membayar uang sekolah Aruna, dia sudah menunggak SPP tiga bulan," ujar Arka sambil memohon, selama ini ia bersedia bekerja tanpa di bayar seperser pun karena ia merasa belum bisa menafkahi Ningsih, istrinya.

Sawah yang tengah di garap oleh Arka dan Aruna merupakan sawah milik orang tua Ningsih. Arka sama sekali tidak berpenghasilan sehingga rela bekerja sukarela di sawah milik mertuanya. Ia bersedia tidak dibayar sebab merasa sudah menjadi beban karena numpang di rumah mertua secara cuma-cuma. Namun, ia meminta kelonggaran agar Aruna tetap bisa sekolah dengan biaya dari mertuanya.

"Apa? Kau kira aku akan peduli dengan pendidikan anakmu yang tidak ada hubungannya denganku? Jika bukan karena Ningsih sudah kuusir kalian berdua! Dasar keluarga benalu!" teriak Ayah Ningsih yang sejak awal tidak pernah menyukai mereka berdua.

"Ayah! Jangan kasar pada Mas Arka, dia adalah suamiku! Aruna juga anakku!" tegas Ningsih mencoba menghentikan kesemena-menaan ayahnya.

Aruna hanya terdiam, memperhatikan pertengkaran antar orang dewasa lalu hatinya berbisik, "Arini? Bagaimana kabarmu? Apakah kamu merindukanku?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel