Melepas bra
Thomas dan Lylia sama-sama menoleh, tapi Thomas yang lebih terkejut melihat pria asing masuk dan berjalan cepat ke arahnya, serta segera menarik pakaian Lylia, “Hey, Bung!”
“Aku bisa menjelaskannya, Alex!” Lylia mencoba mendorong cengkeraman itu agar dirinya bisa selamat.
“Cukup, Lylia!” Alex segera mencekik dan berniat membanting Lylia ke lantai.
Thomas menarik pria itu dan memukuli juga. Dia tak pernah suka jika ada kekerasan, apa lagi melibatkan wanita, dan terlebih lagi itu adalah Lylia. “Jangan kurang ajar! Berengsek kau!” Terus memukul hingga dia akan merasa puas.
Tak mau kalah, “Dia pacarku! Lo yang kurang ajar!” Membalas meski terasa kalah saing. Pukulannya juga hanya mengenai udara, tapi dia tak mau dianggap kalah oleh bocah ingusan di depannya.
“Berengsek! Katakan lagi, Berengsek!” Thomas terus membuat wajah itu babak belur.
“Lepas, Thomas! Lepas!!” Lylia berganti menarik Thomas, “Kamu... kamu tidak apa-apa, Alax?” Lylia mengusap bibir berdarah yang membuatnya gilu.
“Berengsek! Cuih!” Thomas kembali duduk. Dia pikir Lylia wanita pintar, tapi yang terlihat hanya sebuah kebodohan saja.
Alex menepis tangan Lylia, “Ngapain lo bawa cowok ke sini, huh?! Gue pergi bukan berarti lo bebas bawa siapa pun ke sini!”
Thomas terkekeh, “Gue pacar Lylia yang baru.”
“Thomas!” Lylia tak ingin semua semakin ricuh.
Alex menggeleng, “Hebat.” Pujinya sambil bertepuk tangan, “Lo akan dapat kejutan besok.” Segera berbalik dan pergi.
Lylia tentu saja mengejar, dia menjelaskan semuanya dan sebenar-benarnya, tapi tak ada yang dia dapatkan. “Akh! Sakit, Alex.” Lylia meringis saat Alex mendorongnya hingga membentur dinding.
Thomas membuang napas kasar. Dia jadi tak enak, pertengkaran ini karena dirinya, harusnya dia tak berkata seperti itu kalau memang pria itu pacar Lylia, tapi bagaimana dengan perasaannya?
“Berengsek kau, Lylia! Berengsek kau!” Pukulan bertubi-tubi pun terus dilayangkan oleh Alex.
Setelah beberapa teriakan tak lagi terdengar, Thomas berdiri untuk melihat Lylia, dan pria tadi malah berlari ketika melihatnya. “Lylia?” Thomas mendapati semua sudah terlambat, Lylia pingsan, meringkuk tak berdaya meski tanpa bekas luka apa pun. Dia menggendongnya ke kamar, “Apa yang dilakukan tadi? Kenapa tak ada luka di wajah Lylia?”
Thomas mengawasi Lylia dan dia melihat lengan yang mulai membiru. “Apa dia ....” Thomas segera menaikkan baju itu dan bekas kemerahan memenuhi perut Lylia. Thomas segera ke dapur, mencari air hangat dan mengompres luka Lylia, berharap saat Lylia sadar tak terlalu menyakitinya. “Aku tidak akan meninggalkanmu.” Thomas mengusap kening Lylia. Dia yakin luka itu sangat sakit, tapi kenapa Lylia tetap berlutut di depan pacarnya? Apa yang sebenarnya terjadi?
***
Lylia bangun, membuka mata perlahan, terkejut saat melihat Thomas tidur di sampingnya. Dia ingin pergi, tapi perutnya sangat nyeri, itu cukup sukses membuatnya meringis menahan sakit.
Hanya gerakan sekecil apa, Thomas terbangun, “Kau sudah bangun? Ingin ke kamar mandi?” Mengucek mata agar lebih jelas melihat apa pun.
Lylia menggeleng, “Kamu yang melakukan ini?” Lylia tak mengenakan baju ini semalam dan bra serta kancut ini tak penting untuk ditutupi karena perutnya terlalu luar biasa.
“Apa yang kamu harapkan darinya? Kau suka disiksa seperti itu? Kalau hanya ingin merasakan sakit, datang saja padaku, aku bisa melakukan lebih dari itu.” Thomas tak paham dengan pikiran makhluk Tuhan feminin satu ini.
Lylia membuang muka, “Pria sepertimu tak akan pernah paham dengan apa yang namanya cinta. Katakan!” Lylia menoleh ke Thomas lagi, “Aku yakin kamu merayuku hanya untuk tidur denganku. Kenapa tidak kita lakukan saja? Setelah itu pergilah dari hidupku.” Lylia melepas branya tanpa kesulitan dan kancutnya dia biarkan seperti itu dulu.
Thomas terkekeh, “Bahkan aku bisa memperkosamu di hari pertama kita bertemu kalau aku mau, Lylia. Aku tidak perlu repot mengompres lukamu.” Thomas turun dari ranjang. Dia mengambil semua barangnya dan pulang. Meski apa yang indah dia lewatkan begitu saja, Thomas tak menyesal sedikit pun karena memang bukan itu tujuannya mendekati Lylia.
“Tuan Thomas, Anda langsung sarapan?” Emy melihat mobil Thomas tiba, segera mendekat, dia juga sudah tahu perihal apa yang dilakukan Thomas semalam dengan guru Gracia.
Thomas menggeleng, “Gracia tadi mencariku?” Terus berjalan, dia ingin ke kamar dan membuang semua pakaian yang dia kenakan. Sangat yakin kalau ini milik kekasih Lylia.
“Iya, Tuan Thomas. Nyonya besar juga telepon, tuan besar akan pulang nanti sore, apa Anda sibuk? Akan ada acara makan malam keluarga.” Emy terus mengekor, dia harus menyampaikan apa yang perlu, itu sudah tugasnya, kan?
Thomas mengangguk, “Aku istirahat dulu, Emy. Aku akan menyiapkan diri untuk nanti malam.”
Emy mengangguk dan membiarkan Thomas menutup pintu kamar. Dia kembali ke dapur untuk menyiapkan buah, sepulang sekolah biasa Gracia suka yang segar-segar, “Semua pekerjaanmu sudah selesai, Tuti?”
Tuti tersenyum sambil mengangguk, “Aku sangat mengantuk, semalam aku tidak tidur, Emy.”
“Ingat, apa pun yang ada di kelapamu sekarang, tidak pantas kamu memimpikan tuan Thomas.” Emy paham apa kegelisahan Tuti dan mungkin juga dirasakan oleh Susan.
Tuti mengangguk, “Aku akan istirahat saja sebentar, Emy. Aku akan memasang alarm jam satu, jangan kawatir, apa aku boleh membawa ini?” Tuti menuang teh herbal, saat Emy mengangguk, Tuti pun membawanya pergi. Dia ke kamar Thomas dan mengetuk pintu kamar, tak lupa melepas juga dua kancing baju kerjanya di sisi atas agar lebih membuatnya menarik.
Thomas mengerutkan kening, “Ada apa, Tuti? Aku sangat lelah. Aku akan istirahat.”
Tuti tersenyum, “Tapi minuman herbal akan membuat Anda lebih segar, Tuan Thomas.”
Thomas menghela napas, “Taruh dalam.” Membiarkan pintunya terbuka dan segera berbaring di ranjang. Dia masih memikirkan Sinta dan segala permasalahannya.
“Ada apa, Tuan Thomas? Anda terlihat kusut. Apa saya boleh memijat punggung Anda? Kepala?” Tuti berjalan mendekat dan berdiri di sisi ranjang.
Thomas menoleh, mengangguk karena tawaran itu sepertinya menarik, “Ya.” Segera berbalik dan memosisikan diri untuk menikmati pijatan Tuti.
“Anda bisa bercerita, Tuan Thomas. Mungkin saya bisa sedikit menghibur dengan candaan saya.” Tuti tersenyum kecil. Berharap dengan begitu dia bisa mendapatkan apa yang dia mau.
Thomas terkekeh, “Pijatanmu sangat enak, Tuti. Apa kamu dukun urut di kampung?”
Tuti menepuk punggung Thomas, “Ah! Maaf, Tuan Thomas. Anda membuat saya malu.” Tuti memijat sepenuh jiwa dan tangan lentiknya penasaran, bagaimana jika sedikit usapan disapu dengan sempurna ke punggung kekar itu? Apa geliat kecil akan terlihat dan membangkitkan birahi?
Thomas menggeliat, dia tidak menyangka kalau Tuti mengusapnya dengan sangat lembut, membuat syaraf yang tertidur langsung terjaga. Thomas pun membalik badan, “Apa kau ingin mengusap ini juga, Tuti?” Thomas melepas kaosnya, memperlihatkan pahatan diri, meski tanpa tersenyum dia yakin kalau wajahnya tak menunjukkan kemarahan sedikit pun.
