Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#####BAB 5 HARTA KARUN DENI

Selama beberapa detik, suasana menjadi hening. Entah apa yang terjadi di luar sana.

Namun tiba-tiba Dian bersin, “hachiiii!!!”

“Woooaaahh…! Hiiiiiiiyyyy! Jadi ini ingus kamu? Jorok banget sih kamu, cewek macem apa sih kamu, ga nyangka aku punya temen jorok kaya kamu. Idiiih,” ucap Winda beruntun.

“Ya… abisnya… aku lagi pilek banget nih Win, sori…” ucap Dian dengan suara yang dibuat lesu.

“Pilek sih pilek, tapi ingusnya jangan asal dilap ke boneka dong,” ucap Winda menggerutu.

Perasaanku pun menjadi lega. Untunglah, sepertinya Winda percaya. Selama setengah jam kemudian, mereka berdua mengobrol panjang lebar, khas anak cewek.

Dan setelah itu, aku dengar bahwa Winda tidak bisa berlama-lama, karena ia ada urusan lain dan juga agar Dian yang sedang “pilek” bisa beristirahat.

“Yaudah, Yan. Kamu istirahat dulu ya. Besok pagi aku mampir ke sini lagi deh. Cepet sembuh ya!” ucap Winda.

“Iya, thanks ya.”

Suara pintu ditutup. Sepertinya Winda sudah keluar. Tak lama kemudian, seprei kasur disibak oleh seseorang, dan Dian melongok ke kolong kasur, ke arahku yang sedang merayap seperti cicak dari kolong tempat tidur.

“Huff… Hampir aja kita mampus….” ujar Dian lega.

Aku membuang nafas lega. Untungnya aku membuat skandal dengan perempuan yang cerdas dan kreatif.

Setelah Winda pergi, sebenarnya aku sempat berharap agar permainan kami dilanjutkan. Tapi Dian ternyata menolak, mungkin peristiwa menegangkan tadi sudah membuat mood-nya turun, atau malah membuat dia kapok.

Aku tidak bisa memaksa, sebab semua ini memang dia yang memulai. Tapi aku tidak terlalu kecewa,setidaknya aku sempat mengalami ejakulasi tadi, jadi nafsuku lumayan bisa dikendalikan.

“Di, lo inget ya…, besok kita ketemu di kampus, lo anggep semua ini ngga pernah terjadi,” ucap Dian saat aku pamit. Aku mengangguk saja sambil tersenyum, padahal mana mungkin aku bisa melupakan kejadian tadi. Mustahil.

***

Esok paginya, aku pergi ke kampus seperti biasa, kebetulan pagi ini mata kuliahku tidak ada yang satu kelas dengan geng Power Rangers, jadi aku tak terlalu khawatir. Dosen memberikan materi panjang lebar hingga membuatku mengantuk, untungnya bel segera berbunyi.

Saat keluar beberapa langkah dari ruangan kelas, tak sengaja aku menabrak seseorang. Ia tidak terjatuh, tapi sebuah majalah yang ada di tangannya yang jatuh. Aku memperhatikan orang yang kutabrak itu.

Seorang mahasiswi, lebih tepatnya adik kelas. Aku tidak kenal dekat dengannya, tapi kami saling tahu nama. Namanya adalah Rosa, satu tingkat di bawahku. Ia cukup populer di kampus karena wajahnya yang cantik dan pandai bergaul.

Tubuhnya lebih mungil dan lebih kecil dari Dian, tapi wajahnya tak kalah manis, aku menebak dia ada keturunan tiongkok karena kulitnya putih mulus dan matanya agak sipit.

Ia memakai kemeja kotak-kotak yang tampak kebesaran dan mengenakan kacamata berframe warna maroon, namun sama sekali tidak membuat dia terlihat kutu buku. Terlebih lagi, ia adalah seorang vokalis band yang cukup sering manggung di acara-acara kampus.

“Eh sori, ngga sengaja,” ucapku.

“Ngga papa Kak, saya yang ngga liat,” jawabnya sambil memungut majalah yang jatuh.

Selama beberapa detik kami bertatapan. Aku merasa ada yang aneh dengan tatapannya, hingga kemudian aku sadar kalau geng Power Rangers sudah menungguku di seberang sana. Ada Dian juga yang sedang menatapku. Apa ya yang dia pikirkan?

“Woy, sini!” ucap Heru sambil melambaikan tangan.

Sambil mengangguk pelan aku meninggalkan Rosa dan bergegas ke tempat mereka. Semua anggota geng berkumpul, kecuali Deni. Winda sedang asik mengunyah biskuit dan Dian tampak serius mengetik di handphonenya.

Aku melirik sekilas, dan Dian ikut menoleh, tapi ia cepat-cepat kembali menatap layar handphonenya. Jantungku berdetak kencang, dan bersamaan dengan itu pisangku mengeras sedikit. Tapi kenapa dia tidak tersenyum? Apakah dia juga sama canggungnya denganku?

“Gimana, sore ini ada acara nggak?” Heru bertanya sambil menepuk pundakku.

“Ada apa Yan?”

“Kok ada apa? Kan tiga hari lagi UAS, kita belajar bareng dong. Kan mata kuliah kita banyak yang sama. Gimana?” jawab Heru.

“Kok tumben?” balasku.

“Tau nih, anak ini tiba-tiba sok rajin gitu. Paling-paling dia ga punya catetan dan males baca buku,” ujar Winda.

“Ayolah… Si Deni udah setuju, dia nyediain tempat dan konsumsi gratis. Oke kan?” ucap Heru. Aku dan Winda mengangguk setelah mendengar kata konsumsi gratis.

“Kamu gimana Yan, bisa?” tanya Winda.

Dian agak terkejut dan menoleh dengan tiba-tiba, “Oh bisa kok bisa, ngga masalah.”

Singkat cerita, setengah jam kemudian kami pun berangkat ke rumah Deni menggunakan mobilnya. Heru duduk di depan bersama Deni, sementara aku, Dian, dan Winda duduk di belakang.

Winda di kiri, Dian di tengah, dan aku di kanan. Berada dalam jarak dekat dengan Dian membuatku sangat canggung, apalagi kalau mengingat kejadian kemarin. Mungkin karena merasa tidak enak, Dian akhirnya membuka pembicaraan.

“Eh kamu udah ngerjain tugasnya Pak Johan belum?” ucap Dian menyebutkan nama seorang dosen.

“Oh, belum tuh,” jawabku.

“Yah, tadinya aku mau nyontek. haha,” ia tertawa.

“Huh, kenapa sih hari ini orang-orang pada seneng ngomongin pelajaran? Mendadak rajin ya?” gerutu Winda, dibalas cubitan dari Dian, lalu mereka bercanda seperti biasa. Perasaanku sedikit lega.

Tak sampai setengah jam, kami pun tiba di rumah Deni. Rumahnya besar dan mewah, di garasi berderet dua buah mobil milik orang tuanya. Saat kami masuk ke ruang tamu, Vera, adiknya Deni sedang duduk di sofa sambil membaca majalah.

Vera masih duduk di bangku sekolah menengah, rambutnya bergelombang, dan wajahnya imut. Ia duduk menyamping dan memperlihatkan pahanya yang putih mulus karena memakai hotpants.

“Baca majalah jangan di ruang tamu,” ucap Deni ketus.

“Emang napa? Suka-suka gue dong!” balas Vera.

“Nanti ngga ada orang yang mau bertamu ke rumah kita!”

Plak! Majalah itu melayang dan menghantam wajah Deni. Kakak-adik ini memang senang bertengkar sejak dulu, tapi kami tahu mereka sebenarnya akur. Tanpa memperpanjang pertengkaran itu, kami beranjak ke kamar Deni. Kamar yang nyaman, sejuk karena ber-AC, dan untuk ukuran kamar cowok lumayan rapi. Kami pun memulai acara belajar kelompok, yang sebelumnya sudah kami rencanakan.

Ketika kami sedang membolak-balik buku pelajaran dan bertukar catatan, tiba-tiba saja Heru berteriak.

“Apaan tuh!” teriak Heru heboh, sambil menunjuk-nunjuk ke kolong tempat tidur Deni.

“Kenapa sih kamu, bikin aku kaget aja,” umpat Winda.

Heru segera merangkak ke kolong tempat tidur Deni dan mengambil sesuatu dari dalam sana.

“Bokep coy!” ucap Heru sambil memperlihatkan sebuah kotak DVD bergambar perempuan Jepang tanpa busana. Kami semua tertawa terbahak-bahak.

“Kaya anak SMP aja kamu, masih ngumpetin kaya gituan,” Dian tertawa.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel