#####BAB 6 MELANGGAR JANJI
“Masih jaman ya, nonton bokep pake DVD?” aku ikut menimpali.
“Itu DVD original import dari Jepang langsung. Ngiri ya kalian semua? Bisanya cuma download bajakan kan?” ucap Deni sambil berusaha merebut DVD itu.
“Ah bokep ya bokep, apa bedanya bajakan atau original? Coba nyalain,” balas Heru.
Heru segera memasukkan DVD itu ke dalam laptopnya yang kebetulan sudah dinyalakan. Hanya dalam beberapa detik, terpampanglah adegan wanita Jepang yang cantik sedang berciuman dengan seorang lelaki. Gunung kembar wanita itu berukuran besar, diremas-remas dan dihisap-hisap oleh aktor lelaki. Kami semua fokus menonton adegan itu.
“Buset, gede ya dadanya. Kayanya enak tuh,” ucap Heru agak berbisik.
“Iya, nggak kaya cewe-cewe di kelompok kita, rata semua kaya triplek!” ujar Deni. Kami melirik pada Dian dan Winda.
“Sialan kamu!” ucap Dian sambil memukul pundak Deni menggunakan kertas.
“Tapi punya aku masih lebih gede daripada punya Dian, tau…,” ucap Winda pelan.
Deni dan Heru tertawa terbahak-bahak, sementara Dian melotot dan mulai mencubiti Winda.
Aku refleks bergumam, “Hehehe, tapi yg kecil-kecil tu bikin gemes.”
Dian melirik ke arahku dan menjulurkan lidah, sementara anak-anak yang lain sepertinya tidak mendengar gumamanku.
Acara ‘belajar kelompok’ masih terus dilanjutkan. Adegan-adegan di monitor semakin hot, dan harus kuakui kalau pisangku sudah menegang di balik celana.
Dian kebetulan duduk di sebelahku, ia merapatkan posisi duduknya agar bisa melihat laptop dengan jelas. Saat ia merapat, dadanya berada di belakang siku tanganku, dan entah disengaja atau tidak, ia mulai menggesek-gesekkannya. Pisangku semakin keras.
Pelan-pelan aku ikut menggerakkan siku tanganku, misalnya dengan pura-pura menggaruk leher. Kenyalnya gunung kembar Dian bisa kurasakan samar-samar, sementara itu hembusan nafasnya menjalar di leherku. Untung anak-anak yang lain tidak ada yang sadar.
Saat suasana semakin hot, tiba-tiba pintu kamar diketuk, Heru yang kaget segera menutup laptopnya. Ternyata pembantu Deni membawakan minuman. Aku menghela nafas, Dian juga menggeser duduknya lebih menjauh. Aku dapat melihat wajahnya yang merona merah.
Setelah itu, acara belaajr kelompok dilanjutkan secara normal. Kira-kira satu jam kemudian, kami pun memutuskan untuk pulang. Sayangnya, mobil Deni sedang dipakai, jadi kami harus pulang menggunakan kendaraan umum.
Hampir lima belas menit di dalam bus Trans, Heru dan Winda turun lebih dulu, sebab rumah mereka memang lebih dekat. Tinggal aku dan Dian yang tersisa di bus Trans, aku pindah duduk ke sebelahnya.
Bus Trans yang kami naiki kebetulan sedang sepi, mungkin karena sekarang sudah lewat jam pulang kantor. Duduk bersebelahan dengan Dian tanpa ada orang lain di sekitar, membuatku merasa agak aneh.
“Kenapa Be, diem aja?” ucap Dian. Ia duduk di samping jendela, tirainya ditutup karena silau.
“Ngga kok, ngerasa aneh aja,” aku tertawa.
“Biasa aja lagi.”
Selama beberapa menit, kami terdiam. Mungkin Dian juga merasa tidak enak karena aku tidak menimpali obrolannya. Tapi jantungku berdebar kencang ketika membayangkan kejadian kemarin.
Rasanya ada yang masih mengganjal. Pelan-pelan aku menggerakkan tanganku ke pundak Dian, aku ingin merangkulnya, aku ingin memeluknya, ingin merasakan kehangatan tubuhnya lagi.
Dian hanya diam, ia menatap ke jendela meskipun tidak terlihat apa-apa. Jantungku berdetak semakin kencang. Entah karena gugup atau merasa tertantang karena kami sedang berada di dalam bus Trans.
Perlahan-lahan tanganku turun ke pinggangnya. Aku dapat merasakan pinggangnya yang ramping dibalik balutan kaosnya yang sempit. Setelah memastikan tak ada orang yang melihat, kudekatkan wajahku ke pipinya.
Plak!
Ia menamparku. Keras sekali, bahkan bunyinya terdengar jelas. Aku kaget bukan main, segera kutarik tanganku menjauh darinya.
Sambil menatapku, Dian berbisik kesal, “Kan aku udah bilang kemarin, cuma sekali itu aja! Kalo kita ketemu lagi, aku minta kamu anggap yg kemarin itu ga pernah terjadi, ngerti kan?”
Nyaliku langsut ciut diomeli seperti itu. Perasaan kecewa dan malu bercampur aduk di dalam kepala, betapa bodohnya aku. Kalau memang aku mencintainya, seharusnya aku bisa memahami perasaannya. Aku kecewa pada diriku sendiri, jangan-jangan perasaan ini sudah berubah menjadi nafsu mesum semata. Sepanjang perjalanan hingga Dian turun terlebih dulu, aku hanya menundukkan kepala. Kami tidak berbicara sepatah kata pun.
Aku tiba di kostan dengan perasaan sedih. Aku tidur-tiduran di atas kasur sambil memikirkan apa yang harus aku lakukan sekarang. Apakah persahabatanku dengan Dian akan berakhir karena masalah ini? Tidak mungkin. Aku mengambil HP dan mengirim pesan chat ke Dian.
‘Yan, maaf ya, tadi gw khilaf’
Aku diam menunggu balasan, tapi tak juga ada pesan chat yang masuk. Selama beberapa menit perasaanku terus gelisah hingga tiba-tiba saja handphoneku berbunyi, aku melonjak kaget. Telepon, dari Dian.
“Be, kamu lagi di kostan?” tanya Dian.
“Iya.” jawabku.
“Aku ke sana ya sekarang!”
“Eh, tapi, tapi….”
Dian menutup teleponnya. Sebenarnya aku ingin bilang kalau aku ingin meminta maaf soal kejadian tadi, tapi ia tampak terburu-buru. Untuk apa ia datang ke sini? Aku menunggu dengan jantung berdebar.
Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku tahu siapa dia. Aku bergegas berjalan ke arah pintu dan membukanya. Di balik pintu ada Dian yang berdiri sambil tersenyum. Ia mengenakan kaos biru bergaris dan celana jeans. Aku sadar, senyumnya padaku menandakan bahwa ia sudah tidak marah lagi. Aku langsung mempersilahkannya masuk ke dalam kamar.
“Be, sori ya soal yang tadi. Aku sebenernya gugup, jadi kebawa emosi. Aku ngeri soalnya kita lagi di bus. Suer, ngga ada maksud kasar kok,” ujar Dian sambil duduk di atas tempat tidurku.
“Nggak, Yan, harusnya aku yang minta maaf. Aku yang salah, ngga inget janji aku sendiri” ucapku.
“Sebenernya Aku juga melanggar janji kok waktu di rumah Deni tadi.” Dian tersenyum.
“Waktu nonton bokep tadi ya? Itu emang sengaja ngegesek-gesekin?” tanyaku. Dian mengangguk, lalu kami berdua tertawa.
“Liat sini deh,” ucapnya tiba-tiba.
Aku menoleh ke arah Dian dan menatap matanya. Matanya yang indah membuatku terhipnotis. Pelan-pelan ia menyentuh pipiku dan mengelus-elusnya.
“Masih sakit bekas tamparan aku tadi?”
“Masih. Tenaga kamu kaya kuli sih.”
“Sialan kamu! Mau aku tabok lagi?” ujar Dian sambil tertawa.
Dengan gerakan cepat, ia mengecup pipiku. Aku menahan nafas karena kaget.
“Udah? Udah ngga sakit kan?”
Aku tersenyum, membalas senyumannya. Hatiku sekarang terasa tentram dan damai. Rasanya aku jatuh cinta kepadanya, aku benar-benar jatuh cinta. Lalu kami bertatapan tanpa bicara, diam dan hening. Lalu bibirnya bergerak mendekat dan mencium bibirku. Bibirnya lembut dan hangat. Aku tak bisa tinggal diam, aku membalasnya, mencium bibirnya dengan penuh nafsu.
“Mmmh… Di… Mmm..,” desahan Dian terdengar di antara ciuman.
