#####BAB 4 GANGGUAN DATANG
Sekarang Dian menggenggam batang pisangku dengan telapak tangannya. Rasanya ada sensasi dingin dan hangat sekaligus. Lalu ia mulai menggerakkannya naik turun. Oh, nikmatnya, dia mulai mengocok. Tapi tiba-tiba ia melepaskan lagi genggamannya. Lho, kenapa?
“Sebentar ya,” ucap Dian sambil beranjak berdiri.
Aku hanya mengangguk bingung. Ternyata ia berjalan ke arah lemari dan mengambil sebotol body lotion.
“Kasian kalau anak orang sampe aku bikin lecet. hehe,” ucapnya.
Ia meneluarkan lotion pemutuh kulit itu, lalu mengoleskannya di batang pisangku. Lalu ia mulai mengocoknya lagi, perlahan, namun semakin cepat. Ohh, sekarang rasanya lebih lancar dan lebih nikmat.
“Awhhh…” aku tak kuasa menahan nafas yang semakin memburu.
“Enak ya, Be?” tanya Dian sambil menatap ekspresi wajahku.
“Enak,” jawabku merem melek tersengal-sengal.
“Enak banget?” tanyanya lagi.
“Iya, enak banget.” Jawabku sekuatnya.
“Enak sih enak, tapi tangan kamu jangan diem aja dong…,” tiba-tiba Dian protes.
“Oh iya, hehe, sori.”
Aku langsung menggunakan kedua tanganku untuk meremas-remas gunung kembarnya dari luar kaos. Remasanku kini lebih liar karena aku terasa semakin menikmati kegiatan ini. Lalu kami berciuman, ciuman yang penuh nafsu antar dua orang sahabat.
Lidah kami bertautan dan saling jilat. Samar-samar terdengar suara gesekan tangan Dian dengan pisangku yang sudah diolesi lotion. Diiringi suara nafasku yang tersengal-sengal. Tanpa meminta izin, tanganku menyusup dalam ke balik kaosnya.
Tadi dia kan cuma bilang tidak boleh buka baju, kalau menyelipkan tangan dalam kaosnya kan dia tidak melarang. Langsung saja kuremas gunung kembar kanannya. Uhh, sensasinya sungguh berbeda. Sekarang kulit tanganku bergesekan langsung dengan kulit gunung kembarnya, rasa sangat kenyal dan lembutnya benar-benar terasa berbeda.
“Mmmmhh… ahh.. nakal ya… kamu Be,” gumam Dian kegelian. Tapi ia tidak membuat perlawanan.
Tanganku sekarang memilin-milin pucuk dadanya yang telah keras, membuat pucuk dada yang sudah keras itu menjadi semakin keras. Sesekali kupencet lembut, dan itu membuat Dian menarik nafas dalam sambil mendesis seperti ular.
“Be… mmmhhh…. terus Be, enak,” merasakan kenikmatan yang lebih, Dian semakin mempercepat kocokannya. Aku jadi semakin ingin menumpahkan benih pisangku, tapi kutahan dulu.
Leher Dian yang jenjang dan mulus itu kucium dan kujilat-jilat. Wangi badan dan rambutnya membuatku merasa semakin nyaman. Selain itu lehernya benar-benar bersih, tak ada cacat sedikitpun.
“Abe… mmmhh… ini cuma sekali ini aja ya. Kita akan tetep jadi temen dan sahabat. Mmmhh… jangan sampe ada yang tau, ya?” ucap Dian di sela-sela desahannya.
Aku tidak menjawab, dan malah menggigit pelan leher Dian. Lalu aku menarik ke atas kaos yang dikenakan Dian. Aku tarik terus hingga ke dekat leher, sekarang kedua gunung kembarnya terlihat jelas di hadapanku. Bentuknya sungguh indah, bulat dan putih bersih, pucuk dadanya berwarna coklat agak pink.
“Aku jadi malu…,” ucap Dian sambil tersipu.
“Dada kamu bikin gemes,” ucapku.
Perlahan-lahan kujilat ujung pucuk dada Dian, kubelai-belai dengan lidahku.
“Aaaahhh! Geli!” Dian berteriak.
Setelah itu kubuka mulutku dan kulahap gunung kembar itu. Aku hisap, gunung kembar yang sebelah kanan, bergantian dengan yang sebelah kiri. Sesekali kujilat permukaan gunungnya.
“Oooh… terus Be, kenyot terus, sedot Be… Mmmmhhh…”
Benar-benar luar biasa. Kemarin malam aku merasa senang hanya dengan menyenggol benda ini, tapi sekarang, aku bisa menjilat dan menghisap-hisapnya.
“Pucuk dadaya, Be… Akhhh…, iyah, kaya gitu… ahhh….”
Setelah menjilat dan menghisap kedua bukit kembar itu terus menerus, aku berinisiatif untuk menggigit Pucuk dadanya, pelan-pelan.
“Aw!” jerit Dian.
Kocokan Dian di pisangku semakin cepat dan rapat. Mendengar suara desahannya yang seksi serta merasakan gunung kembarnya yang kenyal membuat aku benar-benar tidak tahan lagi sekarang. Aku ingin lebih. Aku ingin percumbuan ini berlangsung hingga klimaks. Aku ingin….
Tok! Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu kamar Dian dari luar. Lalu sebuah suara terdengar.
“Yan…, Dian…,” itu suara Winda!
Kami terhenyak. Rupanya karena keasyikan, kami sampai lupa batas waktu lima belas menit tadi. Bagaimana ini? Dian tampak kaget dan wajahnya pucat. Kalau sampai skandal ini ketahuan, habislah riwayat kami. Bisa-bisa persahabatan geng Power Rangers bisa berantakan.
Mungkin karena panik atau bingung, Dian bukannya buru-buru mengakhiri permainan ini, ia malah terus mengocok pisangku. Aku sudah tak sanggup mengendalikan diri lagi.
“Yan, aku… mau ke… keluar….”
“Hah?!” Dian kaget, mulutnya menganga.
Seketika itu juga pisangku berdenyut-denyut dan muncratlah cairan benih berkali-kali tak tentu arah. Dian secara refleks menjauhkan pisangku dari tubuhnya, dan itu malah membuat cairan benihku muncrat kemana-mana. Sebagian ada yang tumpah di kaos Dian, di tangannya, dan sebagian lagi ada yang muncrat ke lantai dan dinding. Gila, rasanya sungguh sangat nikmat.
Tok! Tok! Tok!
“Dian…. ini aku Winda. Lagi ngapain sih kamu? Tidur ya?” suara Winda tak sabar, terdengar menggumam dari balik pintu.
“Aduh, gimana ini?” Dian berbisik sambil memperhatikan tangan kirinya yang belepotan cairan benihku.
“Bersihin dulu!” bisikku padanya.
“Iya, sebentar Win! Aku lagi ganti baju nih, abis mandi!” ucap Dian, setengah berteriak.
Dengan gerakan cepat, Dian mengambil tissue dan mengelap cairan benihku yang menempel di tangan dan kaosnya. Lalu ia mengambil kain lap dan membersihkan cairan benihku yang menempel di lantai dan dinding.
“Cepetan dong, Yan… Ganti baju aja lama banget sih lo?” ucap Winda dengan tidak sabar.
Dian mengambil air minum dari galon, lalu membasahi rambutnya sendiri. Mungkin agar terlihat seperti habis mandi.
Lalu ia melotot padaku dan berbisik, “Be, ngumpet di kolong tempat tidur! Cepet!”
Aku terkejut. Tampaknya tak ada tempat bersembunyi lain, jadi aku langsung menuruti perintahnya untuk bersembunyi.
Kira-kira tiga menit kemudian, persiapan sudah selesai. Aku sudah bersembunyi di kolong tempat tidur.
Dian membuka pintu kamar dan Winda masuk ke dalam kamar. Aku terdiam di kolong tempat tidur dan hanya bisa mendenga suara mereka. Untunglah seprei tempat tidur ini panjang sampai ke lantai, jadi sepertinya Winda tidak menyadari keberadaanku.
“Duh, lama amat sih kamu, baru dibukai sekarang,” terdengar suara Winda.
“Sori, sori, tadi aku lagi pake handuk,” jawab Dian.
Setelah itu aku dengar mereka mengobrol dengan suara yang kurang jelas. Mungkin Winda sedang menggumam. Lalu tak lama kemudian, aku merasakan ada yang duduk di atas tempat tidur.
“Ihh… ini apaan Yan ?” suara Winda terdengar dari atasku.
“Hah? Apaan?” suara Dian.
“Ini, aku kan meluk boneka panda kamu, tapi kok ada lendir lengket gini ya? Idiih… apaan nih…? Sangat menjijikkan.” Winda menggesekkan tanganya di bagian kering boneka panda itu.
DEG!
Jantungku serasa berhenti berdetak. Gawat. Sepertinya ada yang kelewatan waktu proses bersih-bersih tadi!
