#####BAB 3 DAPAT BONUS
Aku melingkarkan tanganku di pinggang Dian, lalu mulai meraba perutnya yang rata dari luar kaos.
“Perut kamu six pack ya?” tanyaku, bercanda. Ia hanya tertawa.
Lalu rabaan kedua tanganku naik ke atas, ke arah dua tonjolan di dadanya, namun sebelum menyentuh bagian itu, segera kubelokkan ke arah ketiak.
“Duuh Abe… Please dong. Kamu lebih suka megang ketek daripada dada ya?” Dian meledek.
“Haha. Iya, iya.”
Kugunakan jari-jemariku untuk menyentuh gunung kembar Dian, kutelusuri permukaanya, lalu kutekan-tekan sedikit. Rasanya lembut dan kenyal, jauh lebih intens dari yang aku rasakan waktu di bioskop. Dan ternyata ia tidak memakai beha, mungkin karena tadi sedang bersantai di kamar.
“Mmmh…,” Dian melenguh pelan, seperti ditahan.
Lalu kupijat lembut kedua gunung kembarnya dari luar kaos. Kuremas-remas pelan. Ternyata ukurannya tidak sekecil yang terlihat dari luar kaos, bahkan gunungnya masih cukup memenuhi telapak tanganku.
Selain itu, bentuknya juga bulat dan kencang, sama sekali tidak kendor atau menggantung. Semakin lama pijatanku semakin kuat, kuremas dari bagian pangkal hingga ke putingnya. Samar-samar aku dapat merasakan putingnya yang sudah sangat keras. Langsung saja kuelus-elus menggunakan jari.
“Haaaah… Be, pelan-pelan dong,” ucap Dian dengan nafas yang penuh desahan.
Mendengar suara desahannya, pisangku menjadi tegang dengan sempurna, mendesak ke arah bokong Dian.
“Aku nggak ngerti nih, rasanya aku udah gila deh. Bisa-bisanya sekarang dadaku diremes-remes sama sahabatku sendiri…, dan sekarang, tongkol sahabatku itu berdiri di bokong,” ujar Dian di sela desahan nafasnya, dan berusaha untuk tertawa.
“Aku juga ngerasa ini bener-bener aneh,” ucapku sambil terus meremas gunung kembarnya.
“Iya, aneh. Tapi enak. Ahhh…,” Dian mendesah panjang ketika kuremas bagian pucuk dadanya.
Perlahan-lahan, Dian menggerakkan pinggulnya, memberikan gesekan pada pisangku.
“Uhhh… gila, enak rasanya,” ujarku.
“Aku kasih bonus tuh dikit, hihi,” ucap Dian.
“Mau aku isep pake mulut ga?” tanyaku padanya. Sekarang rasa malu dan canggungku kepadanya sudah hilang entah kemana. Mungkin tenggelam di lautan hasrat.
“Mmmmh… Iyah… mau,” ucap Dian. Kemudian ia langsung berdiri dan membalikkan badan. Lalu ia duduk lagi di pangkuanku, kali ini saling berhadapan.
“Kaosnya buka dulu dong,” ucapku sambil menunjuk kaos putihnya yang sudah lecek di bagian dada.
“Nggak ah…! Nggak mau!” tolaknya sigap.
“Lah, katanya mau diisep?” tanyaku.
“Ya kamu isep dari luar kaos aja, gimana?”
“Susah dong….”
“Pokoknya aku nggak mau buka baju, aku takut kebablasan ntar. Bahaya Be, kita kan cuma temenan. Lagian aku masih perawan gitu lho.”
Dasar aneh, gumamku dalam hati. Namun aku tetap menghargainya, bisa begini saja sudah merupakan mukjizat bagiku. Langsung kudekatkan kepalaku ke arah dadanya, lalu kuciumi gunung kembarnya dari luar kaos. Kucoba untuk menghisapnya. Rasanya pahit, kaos ini rasanya tidak enak.
“Ya udah, aku kasih bonus lagi,” ucap Dian sambil menggoyangkan pinggulnya lagi. Kali ini pisangku bergesek-gesekan dengan apemnya secara tidak langsung. Rasanya membuatku kembali bergairah. Kugigit-gigit gunung kembarnya yang kanan, sementara yang kiri aku remas-remas.
“Mmmmhh… Be… this is… our dirty little secret,” ucap Dian.
Tiba-tiba saja ponsel Dian berdering. Merasa terganggu, aku menghentikan aktivitasku. Dian menoleh ke arah ponselnya, lalu segera meraihnya sambil tetap duduk di pangkuanku.
“Cuma pesan chat,” kata Dian.
“Siapa?” tanyaku.
“Dari Winda. Dia bilang… dia lagi di jalan mau ke sini, lima belas menit lagi sampe,” jawab Dian sambi mengerutkan dahi.
“Wah gawat, berarti kita harus udahan nih,” ucapku. Aku mulai panik, akan jadi bencana kalau sampai salah satu dari rangers lain mengetahui perbuatan kami.
“Sebentar, jangan dulu,” ucap Dian.
“Tapi sebentar lagi Winda mau kesini kan? Kamu nggak mau kan kalau Winda sampe tau atau curiga?” tanyaku.
“Iya, aku ngerti kok. Tapi masih ada lima belas menit. Please,”
Tiba-tiba Dian menyentuh pisangku dari luar celana, lalu membuka restletingnya. Ia menatapku dan tersenyum, “aku kocokin deh, yah?”
Aku tak sanggup menolak.
Dian umurnya sedikit lebih muda dariku, tapi meski begitu ia adalah orang yang cerdas, terutama dalam masalah pelajaran. Aku pertama kali mengenalnya saat kami satu kelas dalam sebuah mata kuliah.
Waktu itu aku sudah akrab dengan Deni dan Heru, Dian juga sudah akrab dengan Winda. Lalu kami berkenalan, dan mungkin itulah awal mulanya geng Power Rangers terbentuk.
Aku ingat bagaimana aku adalah orang yang paling canggung di hadapan perempuan, bahkan terhadap Dian. Karena ia memang supel dan ramah, ia yang selalu mendekatiku lebih dulu, hingga aku akhirnya bisa mengenal dia lebih akrab.
Dia yang selalu aktif memulai candaan saat kami sedang nongkrong, lalu biasanya akan ditimpali oleh Winda dan Deni dengan cara yang konyol, bahkan cenderung gila. Heru cenderung waras, dan aku lebih waras lagi.
Bukan rahasia lagi kalau banyak cowok di kampus yang naksir pada Dian, baik senior ataupun junior. Namun Dian tampaknya tidak punya keinginan untuk pacaran dan hanya senang berteman.
Dia pernah curhat bahwa dulu ia pernah disakiti seorang cowok, dan itu membuat dia jadi anti terhadap status pacaran. Lagipula, semua orang setuju kalau Dian adalah tipe cewek yang asik dijadikan teman, dan tidak cocok dijadikan kekasih.
Tapi aku berbeda. Aku punya perasaan yang lebih dari sekedar teman. Dan lucunya, cewek yang kusukai secara diam-diam itu kini sedang duduk di sampingku, tangannya pelan-pelan membuka restleting celanaku, sementara bibirnya tersenyum antusias.
“Gapapa kan, kalo aku pegang barang kamu?” tanya Dian.
Aku hanya mengangguk. Mana mungkin aku menolak.
Setelah restleting celanaku terbuka, terlihatlah celana dalam coklatku yang sudah menonjol menahan desakan pisang. Ujung jari telujuk Dian yang lentik itu pelan-pelan mengelus pisangku dari luar CD. Aku benar-benar sulit percaya, jari-jemari yang lentik dan indah itu sekarang mulai memijit-mijit pisangku.
“Geli, Yan…” aku meringis.
“Waw, ternyata kaya begini ya? Aku baru pertama kali megang barang cowo,” ucap Dian.
“Aku juga baru pertama kali diginiin.”
“Emang ga sakit ya, ketahan celana kaya gini?” tanya Dian.
“Yah, sedikit sakit sih.”
“Keluarin aja ya?”
“Iya deh.”
Pelan-pelan, Dian menarik ke bawah ujung celana dalamku, dan seketika itu juga pisangku yang sudah tegak langsung mencuat keluar. Melihat benda keras dan panjang itu tiba-tiba berdiri di hadapannya, Dian tampak kaget.
“Buset! Kaget aku. Hmmm… bentuknya gini ya,” ucap Dian. Sekarang jari-jemarinya meraba-raba batang pisangku.
“Uhhh… emangnya kamu baru pertama liat?” tanyaku sambil menahan desahan.
“Aku pernah liat lah, di film dewasa. Tapi agak beda…” jawab Dian sambil mengelus-elus kepala pisangku yang terlihat seperti topi tentara.
“Beda? Masa sih?”
“Iya, kalo di film sih, agak… lebih gede gitu,” Dian tertawa pelan. Sialan, aku diledek. Inilah akibatnya kalau cewek suka nonton bo*ep bule. Membandingkan seenaknya.
“Huh.”
“Becanda ih… haha…” Dian menjulurkan lidah. Oh seandainya saja lidah itu mau bergesekan dengan kulit pisangku. Tapi aku tak berani meminta, “menurut aku punya kamu pas banget di tangan,” ucap Dian.
