#####BAB 2 MAU LAGI
“Aduh! Maaf, maaf! Nggak sengaja!” ujarku panik. Entah aku minta maaf untuk kesalahan yang mana.
“Gapapa, santai aja kali, cuma dikit kok,” jawab Dian dengan kalimat yang kurasa agak ambigu. Ia mengucapkannya dengan senyum yang tampak dipaksakan. Mudah-mudahan ia tidak marah.
Setelah itu, sepanjang sisa film aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Pikiranku selalu tertuju pada benda empuk yang baru saja kusentuh tanpa sengaja. Sejujurnya, ini adalah pertama kalinya aku menyentuh gunung kembar perempuan dengan sefrontal itu. Yah, aku memang cowok yang agak kuper, jadi maklumin saja.
Dan sekarang pisangku jadi sedikit tegang, membayangkan kalau seandainya aku bisa meremasnya tadi. Tapi di sisi lain, aku juga takut kalau Dian marah padaku, bisa saja ia mengira aku sengaja melakukannya.
Setelah selesai nonton, aku dan Dian tidak banyak bicara. Aku juga tidak berani mengajak bicara lebih dulu, karena aku sendiri masih merasa malu. Kami pulang dengan menumpang mobilnya Deni, aku duduk di sebelah depan, sementara Dian, Winda, dan Heru di kursi belakang.
Sesampainya di rumah, aku segera mengirim pesan chat ke ponsel Dian. Aku memang tidak berani meminta maaf secara langsung, dan aku juga tidak mau hubungan persahabatan kami jadi renggang gara-gara masalah kecil.
“Yan, sori ya yg tadi. Sumpah, aku ga sengaja,” ucapku dalam pesan chat.
Tak lama kemudian, ia membalas pesan chat-ku.
“Iya, aku tau kok. Cuma tadi aku speechless aja, kaget aku. Geli. :p “
Entah karena kalimat yang mana, pisangku menjadi tegang lagi. Karena di rumah sendiri, aku tidak ragu-ragu untuk melakukan colay sambil memandangi foto Dian. Wajahnya, senyumnya, tubuhnya, rambutnya. Seandainya saja aku bisa mengulang kejadian tadi seratus kali. Oh, seandainya saja aku bisa bercinta dengannya.
***
Esok paginya, untuk memastikan bahwa hubunganku dengan Dian baik-baik saja, aku memberanikan diri mampir ke tempat kost Dian, dengan alasan ingin mengembalikan buku yang pernah kupinjam.
Aku mengetuk pintu kamarnya, lalu tak lama kemudian ia pun membuka pintu. Selama beberapa detik, kami bertatapan tanpa suara. Wajah manisnya tampak begitu alami karena ia tidak mengenakan make up. Ia memakai kaos putih polos dan celana legging warna hitam. Sepertinya ia sedang bermalas-malasan di kamar.
“Eh, Abe? Kok nggak bilang mau kesini?” tanyanya sambil tersenyum. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat.
“Iya, aku kebetulan lewat sini dan inget mau ngembaliin buku,” ucapku canggung.
“Oh iya, yuk masuk dulu. Sori agak berantakan,” ucapnya sambil mempersilakan aku masuk ke dalam kamar.
Aku mengeluarkan buku dari dalam tas dan masuk ke dalam kamarnya. Meskipun ia bilang berantakan, tapi bagiku kamarnya tampak rapi. Ada boneka panda cukup besar di sudut kamar, yang menandakan bahwa ia tidak setomboy yang orang pikir.
Dian mengambil buku yang aku berikan, lalu menyimpannya di dalam lemari. Ketika ia sedang menyimpan buku dan membelakangiku, timbul suatu keinginan yang amat besar untuk memeluknya dari belakang, lalu mencium lehernya, dan meremas gunung kembarnya.
Tapi tentu saja aku tidak berani melakukan hal itu. Aku sangat menghargai dia sebagai temanku, terlebih lagi aku menyukainya sebagai perempuan yang menyenangkan.
“Abe, lain kali kamu kalau nonton di bioskop deket aku, hati-hati dong. Mentang-mentang gelap, kamu seenaknya aja ngobok-obok aku. Ga sopan tau!”
Dadaku serasa tertusuk mendengar ucapannya yang tiba-tiba itu. Tapi kemudian ia menoleh ke arahku dan tertawa lepas.
“Haha. Becanda ih. Mukamu pucat banget sih?”
“Iya. Abisnya keasyikan nonton film, lagi seru-serunya. Murni kecelakan kok, Yan,” jawabku membela diri.
“Baru pertama kalinya ‘itu’ aku dipegang cowo. Kanget banget aku waktu itu,” ucapnya sambil tersenyum. Kok rasanya pembicaraan ini jadi agak gimana gitu.
Aku tahu, di luar sifatnya yang suka seenaknya, Dian adalah gadis yang baik-baik. Setidaknya ia bukan penganut pergaulan bebas seperti perempuan perkotaan yang lain. Tapi tetap saja, dia adalah perempuan dewasa yang tidak naif lagi.
“Apalagi aku, Yan,” ucapku menimpali.
Setelah itu kami berdua saling bertatapan, cukup lama, sampai akhirnya aku berpikir untuk segera pulang saja. Namun belum sempat aku pamit, Dian membuka mulutnya dan berbicara.
“ehm, Be….”
“Ya?” tanyaku.
“Ngg… gimana ya bilangnya… bingung,” Dian tersipu.
“Apaan sih?” ucapku, berlagak santai.
“Hmm… boleh nggak? Ngg…, tapi jangan bilang siapa-siapa, yah?”
“Maksudnya?”
“Kamu janji dulu, jangan bilang siapa-siapa. Please…,” ucap Dian dengan senyum malu-malu.
“Iya, aku janji kok. Ada apa?”
Dian menunduk, kedua tangannya bertautan di belakang punggung, “Ka…, kamu mau nggak megang iniku lagi? Sejak semalem aku penasaran banget, pengen ngerasain. Bagian yang kamu sentuh kemarin rasanya jadi gatel terus, gimana gitu.”
“Yan, kamu nggak lagi ngerjain aku kan?” nafasku serasa berhenti selama beberapa detik, sementara pisangku perlahan-lahan menegang.
“Terserah kamu mau nganggepnya gimana. Aku malu banget sebenernya, tapi aku percaya sama kamu,” ucap Dian sambil terus menunduk.
Aku mencubit pipiku, meyakinkan diriku sendiri bahwa ini bukan sekedar mimpi basah di tengah malam. Ini sungguhan. Terdengar konyol dan kekanak-kanakan memang, tapi aku kenal Dian, dia bisa saja seperti itu.
Mungkin ini hanyalah hasrat sesaatnya. Mungkin ia tak punya perasaan apa-apa padaku, dan dia, di luar dugaanku, mungkin memang agak naif dalam urusan semacam ini.
“Ya udah, aku cuma bercanda kok! Nggak juga nggak apa-apa. Tapi kamu udah janji ya nggak akan bilang siapa-siapa,” ucap Dian tiba-tiba, sambil tertawa yang dipaksakan, tapi ada sorot kecewa dari matanya.
Aku tak tahan lagi, aku tak mau bersikap munafik. Aku langsung melangkah maju dan memeluk tubuh Dian. Tubuhnya yang langsing dan tinggi sekarang berada di dalam dekapanku.
Aku dapat merasakan kehangatannya, kelembutan dan kerapuhannya, begitu juga dengan wangi rambutnya yang membuatku melayang. Lalu kutatap matanya, dan kukecup bibirnya dengan lembut. Kecupan itu berubah jadi lumatan, lalu hisapan, bahkan sesekali ia memainkan lidahnya.
“Mmmhh…”
Hanya suara lenguhan pelan yang terdengar di antara kami. Bibirnya terasa manis dan lembut, seperti mengirimkan sensasi luar biasa di seluruh mulutku. Tak lama kemudian, ia memaksaku melepaskan ciuman.
“Bego dasar! Aku nggak minta dicium, tapi aku minta kamu remesin dadaku!” ucapnya sambil menahan tawa.
Lalu kami berdua tertawa terbahak-bahak. Kedengaran seperti lelucon yang sangat konyol.
Aku duduk di atas kasurnya, “Dian, sini duduk, aku pangku.”
Dian melangkah sambil tersenyum malu-malu, lalu duduk di pangkuanku dengan posisi menghadap belakang. Aku dapat merasakan pinggul dan pahanya yang hanya dibalut legging tipis. Dan aku menduga ia juga bisa merasakan tonjolan pisangku di bokongnya, tapi ia tak bilang apa-apa.
“Oh iya, Di. kamu jangan macem-macem ya. Kita masih tetep temenan, jadi kamu jangan ngelakuin hal yang lebih ya,” ucap Dian.
“Iya, aku ngerti kok. Aku nggak akan ngelakuin yang nggak kamu minta,”
