Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#####BAB 1 MENYENTUH SESUATU

Malam ini, cuaca cerah. Langit pun ramai dengan bintang.

Kami berempat janjian untuk bertemu di sebuah kafe di tengah kota untuk merayakan selesainya masa ujian semester dan tibanya masa liburan.

Aku datang ke kafe bersama dengan Arga, menumpang di mobilnya. Bukan berarti aku tidak mau mengeluarkan uang untuk ongkos, hanya saja Arga menawari aku untuk pergi bersamanya, jadi aku tak bisa menolak.

Tiba di kafe, Heru sudah memesan tempat. Ia duduk di salah satu sofa di pojok ruangan yang memang sudah disetting untuk empat orang. Mata Heru tak henti menatap monitor laptop di hadapannya, sehingga ia tak sadar kalau kami sudah ada di belakangnya.

“Hey!” Deni menepuk pundak Heru, membuat pria gemuk itu terhenyak kaget.

“Baru sendirian?” tanyaku sambil duduk.

“Iya nih. Parah dah, cuma aku aja yang nggak ngaret,” jawab Heru.

“Lah, Si Dian sama Winda belom dateng?” tanya Deni yang kemudian duduk di sebelah Heru, lalu melongok ke arah monitor laptop.

“Mana ku tau? Biasalah, cewek-cewek itu. Padahal tempat kost mereka paling deket dari sini,” jawab Heru.

Di samping laptop, terdapat sepiring roti bakar isi coklat keju yang tampak masih hangat. Tanpa minta izin, Deni segera mengambil sepotong roti dan melahapnya.

Heru menatap Deni sambil menyindir, tapi Deni hanya membalasnya dengan menaikkan alis. Selama setengah jam, kami mengobrol hal-hal ringan seperti film yang sedang diputar di bioskop dan game-game baru.

Saat kami masih asyik mengobrol, Dian dan Winda tiba di kafe. Dian datang mengenakan kaos lengan pendek berwarna putih dengan gambar beruang panda di bagian dadanya. Untuk sekilas, perhatianku terhenti pada bagian itu.

Tidak, dia bukan wanita berdada besar seperti yang banyak dipikirkan lelaki hidung belang. Dadanya relatif kecil, namun tonjolan mungil dan menggemaskan itu terlihat samar-samar dari balik kaosnya, membuatku tak henti merasa penasaran.

Begitu pula dengan bokongnya. Bahkan pada saat ia memakai celana jeans ketat seperti sekarang pun, pantatnya cenderung rata. Ia memang kurus, tapi kakinya jenjang dan pinggangnya membentuk kurva yang menarik. Selain tentu saja, wajah dan senyumnya yang sangat manis.

“Teman-teman, sori…, sori, tadi aku ada urusan sebentar,” ujar Dian sambil merapikan rambutnya yang lurus dan panjang sebahu.

“Iya, lagian tadi ojolnya lama banget datengnya.” tambah Winda. Winda memiliki wajah yang kurang menarik, badannya juga pendek dan agak gendut, tapi ia adalah orang yang sangat setia kawan, terutama pada Dian.

“Ya udah, duduk dulu. Nanti habis ini baru kita nonton,” ujar Deni.

Winda duduk di sebelah Deni, sementara Dian duduk tepat di sebelahku. Sudah tiga bulan ini aku merasakan gelora yang luar biasa terhadap Dian. Aku sendiri pun tidak mengerti, kenapa baru belakangan ini aku jatuh cinta kepadanya, padahal kami sudah saling kenal selama dua tahun lebih.

Dian meletakkan tas kecilnya di atas pangkuan sambil menyikut lenganku, lalu ia tersenyum manis. Gaya sapaannya yang seperti itu malah membuat jantungku berdetak semakin kencang.

“Rapi banget kamu. Mau nonton apa kondangan?” sindir Dian sambil menunjuk kemeja formal yang kukenakan, lalu tertawa. Sebenarnya aku memakai kemeja ini karena pakaianku yang lain masih di laundry.

Kami berlima menghabiskan waktu di kafe sambil minum kopi dan makan kue-kue ringan. Banyak orang yang menjuluki kami sebagai Power Rangers, karena komposisi geng kami yang terdiri dari tiga pria dan dua wanita.

Bagiku, kalau memang itu benar, maka Deni adalah ranger merah, Heru adalah ranger hitam (karena kulitnya hitam), Winda adalah ranger kuning, Dian adalah ranger pink, sementara aku adalah ranger biru (karena seingatku ranger biru biasanya yang paling kalem dan pemalu).

Setelah selesai di kafe, kami pun segera beranjak ke bioskop yang letaknya tak jauh dari situ. Tiket sudah dibeli sebelumnya, sehingga kami tak perlu khawatir kehabisan tempat. Kebetulan saat kami datang filmnya sudah hampir diputar, sehingga kami segera masuk ke dalam studio tanpa menunggu lagi.

Tiket yang kubeli kemarin memiliki nomor 26, 27, 28, 29, dan 30; letaknya di pojok sebelah atas. Dan entah kenapa, mungkin ini memang sudah takdir, aku duduk bersebelahan dengan Dian. Aku duduk di kursi paling pojok, di sebelah kananku Dian, dan Winda di sebelahnya lagi.

“Widih, iklannya lama banget! Tau gini tadi mending beli popcorn dulu!” ujar Dian kesal.

“Lah, bukannya tadi kita bawa kacang atom ya?” ucap Winda sambil membuka restleting tasnya.

“Oiya, lupa!” Dian akhirnya menemukan sebungkus kacang atom dari tas Winda.

Dian langsung membuka bungkus kacang, meraup segenggam, lalu memasukkannya sekaligus ke dalam mulut.

“Be, mau?” ucap Dian padaku, mulutnya masih penuh dan terus mengunyah. Kupikir-pikir, cewek yang tidak anggun ini sepertinya tak pantas jadi ranger pink.

“Nanti aja deh, filmnya juga belum mulai,” ucapku.

“Ya udah, ntar kalau mau, bilang ya,” ucapnya.

Tak lama kemudian, film langsung dimulai dan lampu dimatikan. Film yang kami tonton adalah sebuah film misteri yang berjudul Fog Hill. Ceritanya tentang sekelompok orang yang tersesat di bukit misterius yang aneh. Selama setengah jam kami serius menonton dan tak banyak bicara, kecuali Dian dan Winda yang sesekali bergumam.

“Masih ada nggak kacangnya?” tanyaku pada Dian.

“Oh iya, masih ada nih, dikit lagi. Hehe,” ucap Dian sambil nyengir dan menyerahkan bungkusan kacang. Gila, kayanya dia lagi kelaparan, cepat amat makannya.

Aku mengambil segenggam kacang dan memasukkannya ke dalam mulut ketika adegan film yang menegangkan dimulai. Tokoh utama di film itu sedang dikejar-kejar oleh pembunuh kejam, dan ia harus bersembunyi demi keselamatan nyawanya.

Aku menyodorkan bungkus kacang ke arah Dian tanpa menolehkan wajahku dari film. Dian tidak langsung mengambil bungkus kacang itu, mungkin ia tidak ngeh karena gelap. Lalu aku majukan sedikit lagi tanganku dengan tujuan agar lebih dekat ke mukanya.

Namun tanpa sengaja, punggung tanganku malah menyentuh sesuatu yang aneh, sesuatu yang empuk dan agak kenyal. Entah karena sedang terfokus pada film atau apa, aku tidak langsung menarik tanganku dan malah menekan-nekan benda empuk itu dengan tangan yang sedang memegang bungkus kacang.

Baru beberapa detik kemudian aku sadar dan menoleh, dan pada saat itulah aku baru tahu kalau tanganku sedang menyentuh gunung kembar Dian yang mungil itu, meskipun terhalang kaos.

Nafasku tertahan dan rasa takut sekaligus malu memenuhi kepalaku. Di antara kegelapan bioskop, aku mencoba melihat ekspresi wajah Dian.

Ia sedang menatapku dengan tatapan yang canggung dan tampak seperti sedang menahan nafas. Oh tidak! Aku langsung menarik tanganku secara terburu-buru, akibatnya bungkus kacang itu malah jatuh dan menumpahkan sebagian isinya. Beberapa butir kacang berserakan di kolong kursi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel