Bab 5: Obrolan Pertama di Kantin
Pagi itu, Jakarta menyambut dengan udara yang segar, seolah hujan semalam membersihkan segala kegundahan. Mentari baru saja terbit, menembus celah awan tipis, menyibak rona merah muda di ufuk timur. Nayla melangkah ringan menuruni tangga utama SMA Negeri 5, mengenang detik-detik hari pertama ia bertemu Raka—sang pemain basket yang baginya kini lebih dari sekadar teman sebangku. Namun hari ini, niatnya jauh lebih sederhana: memulai obrolan di kantin tanpa embel-embel tugas kelompok atau tugas sekolah.
Ranselnya terasa sedikit lebih berat kali ini, tidak penuh dengan buku catatan seperti biasanya, melainkan hanya sebuah buku harian kecil dan botol minum. Dalam perjalanan, ia menyempatkan diri mengatur pita biru di kerah seragam, memastikan bajunya rapi, dan menarik napas panjang. “Ini cuma satu percakapan,” bisiknya pada bayangan di kaca jendela kos. “Kamu pasti bisa.”
Sesampainya di halaman sekolah, keramaian sudah terasa: sekelompok siswa berjalan beriringan sambil membahas PR Matematika, beberapa pelajar SMP berbaju putih–biru datang untuk program kunjungan, dan para kakak OSIS sibuk membagikan pamflet kegiatan ekstrakurikuler. Nayla melewati lorong panjang menuju kantin. Aroma hangat bakso bakar dan mie ayam menguar, menciptakan permadani bau yang membangkitkan selera. Ia berhenti sejenak, menutup mata, lalu melanjutkan langkahnya menuju pojok kantin di mana Raka biasa duduk sendiri.
Betul saja, di meja ketiga—yang paling jauh dari pintu masuk—Raka duduk dengan punggung tegap, ponsel di satu tangan, gelas kosong plastik di tangan lainnya. Ia menatap layar, sesekali mengetik sesuatu, lalu meneguk air mineral. Lelaki itu tampak sederhana: rambut hitamnya sedikit berantakan, seragamnya masih rapi, dan sepatu luarnya licin mengilap. Sambil menarik napas, Nayla membeli satu gelas es teh manis hangat—persis seperti yang sering ia nikmati di rumah.
“Ini dia,” gumamnya. Ia berjalan mendekat perlahan, setiap langkahnya disambut suara sendal jepit teman lain beradu di ubin kantin. Beberapa siswa menoleh, menyadari niatnya duduk di samping Raka. Ada bisikan tipis, gelak tawa kecil, lalu mereka mengalihkan pandangan—memberi ruang bagi momen yang Nayla harapkan menjadi awal bab baru.
Dengan hati-hati, ia menyodorkan kursi kayu yang berderit lembut saat ditarik. “Permisi…” sapanya lirih ketika duduk. Punggungnya sedikit membungkuk, kedua tangan menekuk gelas es teh di atas meja.
Raka menoleh perlahan, menutup layar ponselnya dengan satu jentikan. Matanya yang tenang menyapu wajah Nayla, lalu senyum tipis terlukis di sudut bibirnya—senyum yang membuat banyak perasaan berkecamuk. “Pagi,” jawabnya singkat, suaranya rendah dan datar, tetapi tidak terdengar dingin.
Nayla menarik napas sejenak, meneguk es teh hingga bibirnya sedikit bergetar. “Pagi…” ia mengulang, berusaha terdengar lebih mantap. “Aku… aku tadi lewat dan lihat kamu sendirian. Aku pikir… boleh ya aku duduk di sini?”
Raka mengangguk pelan. “Boleh.” Senyum tipisnya mengembang sedikit, menandakan ia tidak keberatan.
Sunyi menempel selama beberapa detik. Kantin masih ramai gemuruh anak-anak yang memilih makanan. Beberapa rekan mereka melintas, melambai, lalu duduk di meja lain. Hanya Nayla dan Raka di mejanya sendiri seakan berada dalam gelembung waktu.
“Aku bawa ini,” ujar Nayla sambil mengangkat gelas es teh hangat. “Es teh manis hangat.” Ia menawarkannya. Raka menatap gelas itu, terkejut kecil. “Aku… biasa bawa kopi di termos,” katanya. “Tapi… teh hangat terlihat menyegarkan.” Ia tersenyum lagi sambil menepuk kotak kecil–kotak bekal miliknya: nasi uduk sambal terasi.
Nayla membalas senyum itu. “Mau coba?” ia menawarkan gelas cadangan di samping kotak makan. Raka menangkap gelas plastik kosong, menatapnya sejenak, lalu menuangkan setengah es teh ke dalamnya. “Terima kasih,” gumamnya lembut. Ia mengangkat gelas, meneguk perlahan. Senyumnya merekah ketika menelan rasa manisnya.
“Manisnya pas, ya,” komentarnya ringan. Dua kata sederhana, tapi bagi Nayla terasa bagai medali kemenangan. Hatinya mencelupkan perasaan lega sekaligus gembira.
“Makasih,” balas Nayla. “Aku suka teh manis. Di kos, ibu selalu siapkan ini pagi-pagi.” Ia menyesap kembali es tehnya, kemudian meletakkan sedotan di tepi gelas. “Di kantin ini banyak pilihan, tapi aku jarang jajan. Bawa bekal dari kos lebih aman.”
Raka mengangguk, menilik kotak nasi di depannya. “Nasi uduk… favorit?” tanyanya.
“Ya, favorit!” jawab Nayla cepat. “Sama sambal terasi—pedasnya pas, bikin semangat.” Ia tertawa kecil. “Kamu sendiri kenapa bawa nasi uduk?”
Raka mengangkat bahu, lalu berseru pelan agar suara mereka berdua tidak keburu tenggelam oleh riuh semesta kantin. “Aku suka nasi uduk, praktis, dan… mengenyangkan. Supaya siap hadapi pelajaran pagi.”
Obrolan berjalan lancar, membuat jantung Nayla berdegup kencang, bukan karena gugup, tapi karena senang. Ia memberanikan membuka percakapan lebih dalam.
“Kamu sekalian bawa buku apa?” tanyanya, menuding buku catatan di sebelah kotak makan Raka.
Raka menoleh, lalu mengambil buku tulis bergaris biru. “Ini catatan Biologi,” katanya. “Malam tadi aku suka baca materi siklus karbon.” Ia membuka beberapa halaman, memperlihatkan coretan rapi diagram daur.
“Aku masih belum paham betul,” akunya. “Mungkin kamu bisa jelasin nanti setelah pelajaran.”
Nayla menatap buku catatan itu—baris demi baris tulisan tangan Raka sangat rapi, tampak terbiasa mencatat dengan cermat. “Boleh,” jawabnya, merasa bersemangat bisa membantu sesuatu. “Aku juga mau belajar lebih banyak. Aku bisa bawa catatanku.”
Senyum tipis itu muncul lagi. “Kita bisa tukar catatan,” kata Raka. “Ini pun aku sering copy–paste poin penting di grup chat teman.”
Mereka tertawa ringan. Saat itu bel pelajaran berbunyi, mengingatkan bahwa jam Matematika akan segera dimulai.
“Aku harus kembali ke kelas,” ujar Nayla, menata gelas dan kotak makan. “Pelajaran sebentar lagi.”
Raka menutup buku catatannya, lalu berdiri. “Aku juga,” katanya. “Terima kasih sudah nemenin obrolanku pagi ini.”
Nayla menatapnya hangat. “Sama-sama. Obrolan pertama di kantin… terasa spesial.”
Raka mengangguk, menepuk punggung Nayla kecil. “Sampai ketemu di kelas,” ujarnya.
Mereka berjalan beriringan menuju lorong kelas. Suasana lorong pagi sesak kaki, pelajar lain berteriak memanggil teman, ada yang menanyakan tugas, ada pula yang saling pamer hasil kerja kelompok. Namun di antara keramaian itu, langkah mereka terasa tenang—dua hati yang kini saling mengenal satu sama lain lewat pembicaraan ringan.
Sesampainya di kelas, mereka berpisah ke kursi masing-masing. Saat Nayla duduk, ia menoleh ke arah jendela—di situlah siluet Raka nampak tegap, mengenakan seragam biru tanpa kerah terbuka. Ia menulis pelan di buku hariannya yang selalu ia bawa ke sekolah:
*“Hari ini aku berani mengajak Raka ngobrol di kantin tanpa embel-embel tugas. Es teh manis hangat, nasi uduk sambal terasi, dan catatan Biologi menjadi jembatan percakapan pertama. Senyum tipisnya memberi harapan kecil bahwa kita bisa lebih dari sekadar teman sebangku. Obrolan pagi ini menyadarkanku: keberanian sederhana bisa membuka pintu persahabatan baru.”*
Bel Matematika berbunyi, dan suasana kelas berubah tenang. Pak Bram melangkah masuk sambil membawa tumpukan kertas ulangan. Namun di hati Nayla, bukan soal ulangan yang menari-nari, melainkan potongan-potongan momen hangat di kantin—es teh pertama, tawa ringan, dan senyum tipis Raka yang membayangi hari-harinya.
Sepanjang hari, setiap kali ia merasa cemas menjawab soal atau grogi di depan kelas, ia hanya perlu teringat kembali pada sesi singkat di kantin, pada tatapan hangat Raka, pada keberanian kecilnya yang membawa kegembiraan. Bab selanjutnya dalam novel kehidupannya telah dimulai—bab persahabatan yang bersemi dari percakapan pertama di kantin, dan mungkin, tumbuh menjadi kisah cinta yang sesungguhnya suatu hari nanti.
