Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4: Tugas Kelompok Tak Terduga

Sore itu, setelah lonceng pulang berdering, suasana di ruang X IPA 3 masih ramai dengan obrolan murid yang tergesa-gesa menata buku. Namun tiba-tiba bel tambahan berbunyi, memecah keramaian. Semua siswa menoleh ke arah pintu, dan Bu Melati, wali kelas mereka, muncul dengan senyum lembut namun khidmat. “Anak-anak,” ucapnya, menenangkan suasana. “Besok kita akan memulai proyek kelompok untuk mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Nusantara. Silakan kalian bentuk kelompok beranggotakan empat orang.”

Gumaman riuh terdengar. Beberapa teman segera berbisik merencanakan siapa yang akan jadi satu kelompok dengan siapa. Sesekali terdengar tawa kecil dan bisik-bisik, menandakan ada yang tak sabar atau justru khawatir. Nayla menutup bukunya perlahan, menatap ke sekeliling. Kelompok apa yang bakal ia ikuti? Ia sendiri tidak pernah membayangkan akan dikelompokkan bersama Raka—si pemain basket dan matematikawan berbakat—karena selama ini kedekatan mereka masih sebatas obrolan ringan.

“Sekarang, tuliskan nama kalian di kertas kosong ini,” instruksi Bu Melati sambil membagikan secarik kertas. “Tulis nama dan nomor urut sesuai tempat duduk. Nanti aku akan panggil secara acak untuk menentukan kelompok.”

Nayla dan Raka saling bertukar pandang. Hening sekejap menyelimuti sebelum hati masing-masing merasakan getar gugup. Raka tersenyum kecil, menepuk punggung kursi Nayla. “Semoga kita satu kelompok,” gumamnya rendah. Nangis kegembiraan bergetar di dada Nayla; ia membalas senyum itu. “Semoga,” jawabnya.

Setelah semua kertas diambil, Bu Melati mengaduk-aduk kertas di depan kelas. “Baik, kelompok pertama… nomor 0821, 0815, 0830, dan 0802.” Ia membacakan suara. “Itu berarti Nayla (0821), Dinda (0815), Farel (0830), dan Galih (0802) jadi satu tim.” Gemuruh kecil terdengar—Dinda bertepuk tangan, Farel mencibir lemah, Galih mengangkat alis heran. Nayla tersenyum gugup pada teman-temannya.

Kelompok kedua, ketiga, hingga ketujuh segera terbentuk. Raymond, Sinta, dan ketiga teman mereka tampak ramai membahas tugas. Akhirnya tersisa satu kelompok—lihatlah nomor 0818 dan 0822. “Kelompok kedelapan… sisa,” ucap Bu Melati. “Itu Raka (0818) dan Hani (0822). Mohon cari dua teman lagi.”

Beberapa siswa yang belum bergabung bergegas menambal. Hani menarik tangan Raka untuk mendekati meja kosong. Tiba-tiba, suara lantang terdengar dari pojok: “Pak, Mbak, kami berdua bisa satu kelompok dengan dua teman baru!” Tanpa sengaja, terdengar Dinda dan Nayla bergegas maju. “Bolehkah kami ikut, Bu?” tanya Nayla.

Waktu seolah berhenti. Bu Melati menoleh, menatap Dinda dan Nayla. “Kalian?” tanyanya lembut. “Kalau kalian berdua ingin bergabung dengan Raka dan Hani, silakan.” Senyum lebar mengembang di wajah Nayla. Raka memicingkan mata, lalu mengangguk halus. Hani menoleh kaget, tetapi segera tersenyum ramah.

Akhirnya terbentuklah **Kelompok 8**: Nayla, Dinda, Raka, dan Hani. Farel dan Galih mengerling sinis dari jauh, tetapi Dinda dengan bangga berbicara, “Kelompok kita bakal jadi yang terbaik!” Sisa teman sekelas bertepuk tangan kecil menyemangati mereka.

Setelah itu, Bu Melati menjelaskan: “Proyek ini akan berlangsung dua minggu. Tema bebas, asalkan masih dalam lingkup kebudayaan lokal—misalnya: kesenian tradisional, upacara adat, atau rumah adat. Presentasi dilakukan secara kreatif, bisa berupa drama, video, atau pameran mini.”

Kelompok 8 pun berkumpul di pojok kelas. Dinda buru-buru mengeluarkan catatan, sementara Hani menyiapkan buku panduan. Nayla menatap Raka, menunggu ide pertama. Raka mencondongkan tubuh, “Bagaimana kalau kita ambil topik wayang? Aku punya kenalan di sanggar.” Mata Raka berbinar saat berbicara—beda jauh dari sikap dinginnya di lapangan basket.

Dinda menyahut, “Bagus! Wayang itu warisan budaya nusantara yang kaya. Kita bisa tunjukkan proses pembuatan boneka dan memainkan lakon singkat.” Hani menimpali, “Selain itu, kita bisa rekam wawancara dengan dalang, lalu tambahkan narasi animasi sederhana.” Nayla terdiam, memikirkan tantangan teknis. “Aku bisa membuat naskah lakon dan menyusun puisi untuk mendramanya,” tawarnya.

Raka menoleh, senyum tipis terpantul di sudut bibirnya. “Itu ide yang menarik,” ucapnya. “Kita perlu pembagian tugas tertulis agar tidak tumpang tindih.” Dinda mengeluarkan pulpen dan kertas besar, menuliskan nama-nama anggota kelompok di bagian atas. Lalu mereka membagi tugas:

1. **Riset dan Wawancara** – Raka dan Hani bertugas menghubungi sanggar wayang, menentukan dalang, dan mengumpulkan informasi teknis.

2. **Naskah dan Narasi** – Nayla akan menulis skenario lakon dan puisi naratif.

3. **Visual dan Media** – Dinda bertanggung jawab merekam video wawancara, mengambil foto boneka, dan membuat poster pameran.

4. **Koordinasi dan Pengaturan** – Hani membantu Raka mengatur jadwal, lokasi pembuatan, dan memastikan kehadiran dalang serta peralatan.

Mereka sepakat bertemu di perpustakaan esok pagi untuk memulai riset. Dari raut wajah keempatnya, tampak semangat mengembang—mereka yakin bisa menghasilkan proyek unik.

---

**Keesokan paginya**, pukul 07.30, perpustakaan sekolah baru saja buka ketika kelompok 8 tiba. Buku-buku ensiklopedia kebudayaan berjajar rapi di rak. Suara gemerisik kertas dan ketukan jari di keyboard terdengar lembut. Nayla duduk di meja panjang, sementara Raka dan Hani mengambil buku referensi tentang sejarah wayang. Dinda membuka laptopnya.

Nayla membaca catatan sambil menuliskan poin-poin penting: asal usul wayang, jenis-jenis kulit dan kayu, hingga fungsi sosialnya. Ia menambahkan ide untuk format ceritanya: “Lakonnya tentang kisah Panji dan Sekartaji, dengan narasi puisi yang memadu.”

Tiba-tiba Raka menarik perhatian. “Nayla, apakah kamu sudah menghubungi Pak Jaya, dalang dari sanggar di dekat pasar tradisional?” tanyanya.

“Oh, belum,” jawab Nayla. “Aku akan kirim email dan minta jadwal wawancara.” Lalu ia mengetik cepat, menulis email:

> *Yth. Bapak Jaya, Dalang Wayang Kulit “Sanggar Cahaya Budaya”...*

Sementara itu, Hani dan Raka menyalin data teknis tentang ukuran boneka, proses pewarnaan kulit, dan musik gamelan yang menyertainya. Dinda mencatat timeline syuting. “Kita butuh video pendek 5 menit—wawancara 2 menit, proses pembuatan 2 menit, dan lakon 1 menit,” usulnya.

Di tengah kesibukan, perpustakaan dipenuhi gemuruh suara roda kursi dan bisikan siswa lain. Dinda menunduk, menatap layar laptop. “Email terkirim,” lapornya. “Kita tunggu balasan Bapak Jaya.”

Kelompok 8 pun memutuskan bertemu lagi di sanggar pada sore hari—setelah mata pelajaran usai. Mereka meninggalkan perpustakaan dengan semangat.

---

**Sore itu**, langit kota tampak jingga lembut. Di pintu sanggar “Cahaya Budaya,” mereka disambut oleh Pak Jaya, dalang berpengalaman berusia lima puluh tahun dengan senyum ramah. Ia mempersilakan mereka masuk ke ruangan kerja di belakang sanggar, di mana boneka wayang kulit tergantung rapi.

“Selamat sore, anak-anak,” sapa Pak Jaya. “Saya dengar kalian akan membuat proyek tentang wayang. Apa yang bisa saya bantu?”

Raka memimpin perkenalan. “Terima kasih, Pak. Kami butuh tahu proses pembuatan wayang kulit, dari pemilihan kulit hingga pewarnaan dan detail ukiran.”

Pak Jaya mengangguk dan mulai menjelaskan. Sementara Hani merekam video, Dinda mengambil foto, dan Nayla menuliskan poin-poin di buku catatannya. Pak Jaya mencontohkan cara memotong kulit kerbau, meluruskan bekas tulang, lalu membakar dan mewarnainya. “Perhatikan ketelitian setiap tusuk jarum,” ucapnya. “Setiap detail memerlukan kesabaran.”

Setelah penjelasan teknis, mereka melihat demonstrasi menutup boneka: proses mengukir pola di kulit dengan pisau halus, lalu menempelkan kayu sebagai pegangan. Suara alumunium tipis berbaur dengan aroma kayu dan kulit yang dibakar.

Nayla merasakan getaran inspirasi. Ia membayangkan adegan kisah Panji dipentaskan di hadapannya—bayangan sebuah lakon sederhana terlintas dalam benaknya. Ia mencatat dialog dasar, gerakan tokoh, dan alunan gamelan pengiring.

Sesi wawancara berlanjut ke dalang sendiri. Mereka menanyakan makna simbolis gerakan tangan, makna warna pada kostum tokoh, serta fungsi wayang dalam upacara adat. Pak Jaya bercerita, “Wayang bukan sekadar hiburan. Ia menyatukan komunitas, sebagai sarana pendidikan moral.”

Video berdurasi puluhan menit direkam. Dinda mengangkat kamera berkali-kali, menyusun sudut dan komposisi. Raka dan Hani membantu menyiapkan lampu portabel agar adegan terlihat jelas. Semua anggota bekerja mulus, saling melengkapi.

Menjelang senja, kelompok 8 pamit. “Terima kasih banyak, Pak Jaya,” ucap Raka. “Proyek ini tak akan selesai tanpa bantuan Bapak.”

Pak Jaya menepuk bahu mereka. “Selamat berkarya, nak. Semoga proyek kalian sukses.”

---

**Keesokan harinya**, di ruang kelas, suasana lebih tenang. Kelompok 8 berkumpul kembali, menonton hasil rekaman di laptop milik Dinda. Video wawancara mengalir mulus, diselingi footage pembuatan boneka dan demonstrasi dalang. Mereka menyusun urutan penyuntingan.

Nayla menyalin naskah lakon di samping video player. “Kita pangkas sesi pembuatan menjadi waktu 2 menit,” usulnya. “Lalu sisipkan adegan lakon Panji di akhir video, sekitar 1 menit.” Semua setuju.

Raka, yang sudah menguasai dasar editing, memimpin proses penyuntingan. “Aku akan atur transisi, tambahkan judul dan teks kredit,” ia menawarkan. Hani memasok musik gamelan dari database sekolah, sementara Dinda mencari efek suara tepuk tangan penonton.

Selama dua jam, mereka bersinergi tinggi. Terkadang terdengar tawa kecil ketika klip terpotong lucu, terkadang senyum bangga saat adegan lakon pertama terpasang sempurna.

Menjelang bel pulang, video selesai 95%. Mereka mengekspor file, meng-copy ke flashdisk, dan menyiapkan poster pameran. Poster besar mereka tempel di papan pengumuman—ilustrasi wayang kulit, judul proyek “Sang Panji Mengajar Nurani,” dan nama-nama anggota.

Ketika Bu Melati masuk untuk memeriksa perkembangan, kelompokan 8 mempresentasikan video singkat di depan kelas. Bu Melati terkesima. “Kerja bagus! Adegan lakonnya berjalan menarik, narasi puisi Nayla menambah keindahan visual. Kalian kompak.”

Seluruh anggota kelompok bersorak, permusuhan semu hilang, digantikan kerjasama dan rasa bangga. Nayla menoleh ke Raka, matanya bertemu, tersenyum lebar. Raka membalas senyum—untuk kali pertama, ia terlihat benar-benar rileks dan bangga.

Di akhir pelajaran, Bu Melati mengumumkan nilai format protes dan keseriusan kerja kelompok. Kelompok 8 meraih nilai tertinggi. Tepuk tangan meriah terdengar—momen manis yang menandai keberhasilan mereka.

Saat bel pulang mengakhiri hari, Nayla memungut poster yang terangkat tertiup angin, menatap wajah boneka wayang di atas kerta poster. “Siapa sangka tugas tak terduga bisa mempertemukan kita lebih dekat,” bisiknya pada diri sendiri.

Raka menepuk bahu Nayla, “Keren, ya?”

“Banget,” jawabnya. “Aku bangga punya kelompok seperti ini.”

Mereka berjalan keluar kelas bersama—satu langkah ringan menapaki tangga, satu langkah lagi mendekatkan hati, dan satu langkah menyiapkan kisah berikutnya dalam lembaran hari-hari mereka. Tugas kelompok tak terduga justru menjadi awal persahabatan yang semakin erat, serta benih perasaan yang terus tumbuh di antara proyek, tawa, dan kerja sama.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel