Bab 6: Titip Pulpen di Kelas Biologi
Pagi itu, langit Jakarta benar-benar cerah. Sinar matahari menembus celah jendela kelas X IPA 3, menciptakan pola cahaya dan bayangan di lantai keramik. Aroma spidol papan tulis bercampur lembut dengan wangi buku dan tumpukan makalah riset—suasana khas ruang Biologi. Nayla melangkah memasuki kelas dengan hati berdebar. Ia menyadari hari ini hanya membawa satu pulpen, padahal ia lupa mengisi tas dengan persediaan tulis cadangan.
Di bangku ketiga, tepat di depan meja Raka, ia membuka tas: hanya dompet, ponsel, dan buku catatan. “Aduh,” gumamnya pelan, menahan panik. Pagi ini Bu Sri menjanjikan kuis mendadak tentang struktur sel hewan; ia harus mencatat poin-poin penting dengan rapi. Hatinya tiba-tiba kencang. Ia menghela napas, mencoba menenangkan diri.
Saat bel kedua berbunyi, Bu Sri masuk dengan langkah ringan, menenteng tumpukan kartu soal kuis. “Selamat pagi, anak-anak,” sapa beliau. “Hari ini kita akan melakukan evaluasi cepat. Siapkan alat tulis kalian!”
Mendengar kata “evaluasi”, seluruh siswa menegang. Suara kertas dan bisik-bisik kecil terdengar. Nayla menoleh ke samping—bangku Raka masih kosong. Ia menanti kehadirannya: biasanya Raka datang lebih awal, menata catatan Biologi dan menyiapkan alat tulis lengkap. Dalam hatinya, Nayla berharap Raka tiba cepat.
Lima menit berlalu. Raka belum muncul juga. Bu Sri mengocok kartu soal, lalu membagi merata. “Waktu kalian 15 menit,” ucapnya tegas. “Mulailah!”
Gemeretak kertas diiringi desahan siswa saat mereka menatap pertanyaan. Nayla menoleh lagi ke bangku Raka—masih kosong. Ia memberanikan diri melirik ke meja guru. Bu Sri memandang sejenak, lalu berjalan menghampiri pintu kelas. Pintu diketuk, dan Raka masuk terengah. “Maaf, Bu, tadi ada keperluan—” katanya singkat.
Raka menyusuri lorong antara bangku, meletakkan tasnya di lantai, dan duduk di bangku di sebelah kiri Nayla. Nayla menahan senyum lega. Ia membuka tutup pulpen di meja, menatap kosong tutup itu. “Astaga,” pikirnya. “Aku lupa pulpenku di kos.” Ia menoleh ke Raka, yang sudah menyiapkan dua pulpen di atas buku catatannya—hitam dan biru gelap.
Suara sahut-menyahut soal kuis menggema di kelas. “Apa fungsi mitokondria?” “Bagaimana proses endositosis?” “Jelaskan struktur dinding sel tumbuhan!” Nayla berusaha fokus, tetapi pikirannya melayang: bagaimana kalau ia minta minjam pulpen Raka sekarang, saat semua menulis?
Akhirnya terdengar dentingan bel kecil—pertanda lima menit tersisa. Bu Sri berkeliling, mengamati hasil. Ia berhenti di depan Nayla, mengerling seakan bertanya apakah Nayla siap menulis. Nayla menelan ludah, gelisah. Peta stuktur tatanan sel di papan tulis kini terasa samar di matanya.
Tiba-tiba, ia mendengar suara lirih: “Hey, Nay.” Suara itu milik Raka, pelan namun cukup jelas. “Kamu butuh pulpen, kan?”
Jantung Nayla berdegup kencang. Ia menoleh, menatap wajah Raka—mata hitamnya menatap ramah, bibirnya tersenyum tipis. Ia mengangguk terbata. Senyum Raka mengembang sedikit. “Ambil saja,” katanya sambil mendorong pulpen biru ke arah Nayla.
Jari-jari Nayla gemetar saat meraih pulpen itu. Ia menaruhnya pelan di atas buku catatannya, membuka tutupnya, lalu menulis jawaban pertama: “Mitokondria berfungsi sebagai pusat respirasi sel…” Tulisan itu muncul lambat, namun rapi. Setiap goresan huruf terasa istimewa, karena pulpen itu milik Raka: sesuatu yang dulu ia pinjam tanpa banyak bicara, tetapi hari ini memicu detak jantungnya.
Ia menoleh lagi ke arah Raka saat menulis jawaban kedua. Raka sedang mengerjakan soal di depannya, jari-jarinya bergerak lincah di atas kertas, menuliskan poin demi poin dengan kalimat singkat dan jelas. Sesekali ia menatap Nayla, memberi isyarat senyum kecil—seakan memberi tahu, “Tenang, semoga membantu.”
Waktu terus berdetik. Bell mengumandangkan akhir kuis. Bu Sri mengambil kembali kartu soal dengan riang. “Bagus, anak-anak. Kalian bisa pulang setelah kertas dijilid dan diserahkan padaku.”
Seluruh siswa merapikan meja. Nayla menarik napas lega; tugas itu selesai. Ia pun menyerahkan kartu kuis yang sudah diisi. Bu Sri mencatat namanya, lalu memberi anggukan kecil. Nayla tersenyum malu.
Keluar ruang Biologi, gang sempit dipenuhi siswa yang berdiskusi jawaban kuis. Suara-suara sumbang “kunci jawabannya di mana” dan “soalnya susah, ya” memenuhi udara. Nayla berjalan di samping Raka—untuk pertama kali, mereka berdua meninggalkan kelas bersama-sama.
“Terima kasih sudah meminjamkan pulpen,” kata Nayla pelan, menatap Raka. Suaranya gemetar sedikit.
Raka menoleh dan tersenyum. “Sama-sama,” jawabnya. “Aku senang kamu sempat menulis semuanya. Hasilnya bagus.”
Nayla menahan senyum bahagia. “Aku gak tahu harus bagaimana kalau kamu nggak datang cepat.” Ia tertawa kecil. “Aku benar-benar lupa bawa pulpen cadangan.”
Raka tertawa ringan, membuat bibirnya merekah. “Gak masalah. Saya juga pernah lupa bawa buku catatan—teman saya pinjamkan.” Ia tampak santai. “Sesekali kita saling bantu, kan?”
Mereka berhenti di depan loker, sementara siswa lain sudah terpecah ke koridor. Raka mengambil sebuah kartu kecil dari dompetnya—kartu perpustakaan sekolah. Ia menuliskan sesuatu di bagian kosong kartu, lalu merobek ujungnya. “Ini,” katanya, meraih tangan Nayla. “Nomor teleponku. Kalau kamu butuh bantuan lain—beritahu saja.”
Jantung Nayla melompat bahagia. “Makasih,” bisiknya. Jari-jarinya meraih kertas kecil itu, membaca angka-angka yang tertulis rapi. Ia memasukannya ke dalam buku catatan.
Raka merapikan tasnya. “Aku ada les basket sore ini,” ucapnya. “Tapi aku akan mencoba mampir lagi ke kelas Biologi buat bantu kalau kamu perlu.”
Nayla mengangguk, hatinya berbunga. “Baik,” jawabnya. “Aku akan hubungi kalau ada soal.”
Mereka melambaikan tangan dan berpisah: Raka berbelok ke lapangan basket, sedangkan Nayla menuruni tangga menuju kantin, berdua memasuki lorong panjang yang menuju perpustakaan. Setiap langkah terasa ringan—seolah pulpen biru itu bukan sekadar alat tulis, melainkan jembatan kecil antara dua hati.
Sore hari di kos, Nayla duduk di depan meja belajar, melihat kembali kertas kuis Biologi yang sudah dikoreksi. Skornya cukup memuaskan—85 dari 100—tanda kerja kerasnya terbayar, meski pulpen milik Raka membantu. Ia mengambil kartu telepon Raka, membaca sekali lagi:
> 0812-3456-7890
Di buku hariannya, ia menulis:
> *Hari ini aku meminjam pulpen Raka untuk kuis Biologi. Detik-detik jari gemetar saat menulis jawaban berharga bagiku, karena ada perhatian kecil darinya. Kartu telepon yang ia titip bikin hatiku berdebar—aku merasa dihargai dan diperhatikan. Bab persahabatan kita semakin dalam, setiap kali aku berani meminta tolong.*
Menutup buku, ia tersenyum. Pulpen biru itu mungkin hanya alat tulis, tetapi di tangannya, ia menyimpan harapan: bahwa suatu hari, ia bisa berbalik meminjamkan lebih dari pulpen—mungkin sebuah cerita, harapan, atau hati.
