Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3: Gosip Taruhan Antar Teman

Pagi di SMA Negeri 5 Kota Harapan terasa berbeda. Raihan sinar matahari menyusup melalui celah jendela kelas X IPA 3, membentuk bayangan garis-garis di lantai yang berdebu halus. Suasana kelas masih lengang—hanya beberapa siswa baru yang datang lebih pagi, termasuk Nayla. Ia melangkah tenang menuju bangku kedua, menata ulang buku dan alat tulisnya, lalu menoleh ke bangku Raka. Namun hari ini Raka tak muncul. Hanya ada sebuah kertas kecil bertuliskan nomor “17” di atas meja kosongnya.

Nayla mengerutkan alis, lalu menyelidik sekeliling. Beberapa teman sekelasnya—yang kemarin tampak ramah—tiba-tiba bergumam pelan. “Eh, lihat deh, nomor 17 sendirian lagi. Kapan ya dia ngomong sama Raka?” gumam seorang cewek berambut ikal. “Kayaknya besok-besok taruh taruhan lagi deh soal jatuh hatinya,” timpal seorang cowok berkacamata.

Desas-desus itu menimbulkan kehangatan aneh di dada Nayla: antara malu karena diperbincangkan, antara penasaran pada sosok Raka, dan antara kebingungan menghadapi taruhan yang sebenarnya tak pernah ia ketahui aturannya. Ia mencolek Dinda, sahabat barunya di kelompok ice breaking. “Dinda, apa benar teman-teman Raka taruh taruhan tentang aku?” tanya Nayla pelan.

Dinda menatapnya sekilas, lalu tertawa kecil. “Iya, sih. Bukan cuma kemarin, mereka udah beberapa hari ini sering ngebet kapan kamu bakal ‘naksir’ Raka. Katanya, investasi seru—taruhan ringan, hadiah es krim goreng atau bakso bakar.” Nayla terdiam, makin tercengang. “Tapi… mereka gak tahu hatiku, ya?” tanya Nayla setengah protes.

“Yah, itu tantangannya,” jawab Dinda. “Taruhan ini semacam hiburan. Nanti kamu bakal tahu sendiri kocaknya gimana.” Dinda mengusap punggung Nayla. “Santai aja. Anggap taruhan mereka sebagai bahan candaan—asal kamu gak ikut ikutan.”

Bel tanda masuk kedua pun berbunyi. Kelas pun riuh dengan persiapan pelajaran Biologi. Bu Sri, guru Biologi yang dikenal tegas, memasuki kelas. “Selamat pagi, X IPA 3. Hari ini kita akan membahas siklus nitrogen. Sebelum mulai, tolong kerjakan dulu soal review kemarin di papan tulis.”

Semua siswa menunduk, menyalin soal. Sementara itu, di pojok belakang, tiga sosok berdiri—Farel, Galih, dan Reza—ketiganya teman dekat Raka sejak SMP. Mereka berbisik nyaris terdengar tanpa sengaja ke telinga Nayla.

“Hei, Farel, kapan nih aku bayar? Taruhan prediksi berani deh,” goda Galih sambil menunjuk ke bangku kosong Raka. “Kode-nya, 0821,” sahut Farel. Mereka tertawa kecil, menepuk-nepuk bahu satu sama lain. Reza menimpali, “Hadiahnya, siapa paling dekat sama Nayla boleh traktir satu bulan jajan.”

Hatiku mencelos membaca percakapan itu. Taruhan? Traktir satu bulan jajan? Aku merasa jadi objek gurauan di luar kehendakku. Secarik kertas bertuliskan angka-angka entah apa maknanya tiba-tiba menjadi sumber tawa bagi mereka.

Setelah Bu Sri memandu materi soal daur nitrogen, bel istirahat tiba. Nayla membereskan peralatan, berdiri dan hendak pergi. Di koridor, ia menabrak seseorang. Ruang dadanya bergemuruh saat kepala menoleh, dan ia mendapati Raka berdiri dengan tangan terlipat.

“Oh, maaf,” bisik Nayla. “Aku… baru tahu kalau kalian taruhan…” ia terhenti, melihat alis Raka sedikit berkerut.

“Taruhan?” ulang Raka datar. Wajahnya tetap dingin, namun matanya bersinar menahan emosinya. “Apa yang kamu dengar?”

Nayla menelan ludah. “Farel, Galih, dan Reza… mereka sering ngebahas soal aku, kalian… bertaruh kapan aku bakal naksir kamu.” Suaranya gemetar.

Raka menunduk sesaat, lalu menghela napas panjang. Ia menoleh ke arah kelas. “Mereka memang pernah bercanda soal itu,” akunya pelan. “Tapi bukan aku. Aku gak pernah ikut taruhan semacam itu.” Ujung bibir Raka menegang, seperti menahan amarah.

Mata Nayla membesar. “Jadi… kamu gak setuju?” tanya Nayla.

Raka menatapnya tajam sejenak, lalu melempar senyum kecil. “Tidak setuju. Aku benci ketika orang mempermainkan perasaan orang lain sebagai taruhan.” Nada suaranya lembut, meski masih tersirat tegas. “Kalau mereka bercanda, itu bukan berarti hatiku ikut dipertaruhkan.”

Nayla merasakan kelegaan membuncah. “Terima kasih sudah jujur,” katanya lirih. “Aku… aku senang kamu gak setuju.”

Raka mengangguk. “Aku akan bicara sama mereka.” Ia menepuk bahu Nayla. “Tenang saja. Kamu gak perlu ikut taruhan bodoh mereka.”

Keesokan harinya, rumor taruhan itu tersebar lebih luas: siswa lain mendengar bahwa Raka memprotes dan melarang teman-temannya bertaruh. Kabar ini sampai ke pendengaran Dinda dan beberapa sahabat Nayla. Mereka berkumpul di kantin sore itu untuk menenangkan hati Nayla.

“Wah, Raka keren, ya,” celetuk Dinda sambil menyeruput es kopi pelanginya. “Bisa-bisanya dia tolak taruhan.”

“Dia serius banget,” timpal Anggi, cewek lain yang duduk di seberang. “Memandang taruhan itu sebagai hal serius—padahal bagi banyak orang cuma sekadar bercanda.”

Nayla menunduk, lalu tersenyum tipis. “Aku senang dia tanya langsung ke aku,” ucapnya. “Bukan rumor yang dia susul.”

Percakapan sore itu membuat Nayla sadar: meski teman-temannya Raka—Farel, Galih, Reza—sering mengundang tawa melalui taruhan, namun sebenarnya Raka punya prinsip. Prinsip untuk menjaga harga diri dan perasaannya sendiri, serta—yang terpenting—untuk menghargai orang yang ia pedulikan.

Malam hari, di kamarnya, Nayla menulis lagi di buku hariannya:

> *Mereka bertaruh soal aku dan Raka, namun dia menolak ikut. Aku tak pernah berpikir taruhan bisa membuatku merasa… tersentuh.*

Di sudut benaknya, muncul keinginan untuk mengenal lebih jauh: bukan sekadar Raka si pemain basket, tapi Raka yang punya hati.

Keesokan paginya, bel masuk bergema di lorong sekolah. Saat ia melangkah menuju ruang X IPA 3, semenit sebelum bel kedua berbunyi, Farel menyetopnya.

“Hei, Nayla!” sapa Farel, menahan napas. “Mau minta maaf nih.”

Nayla terkejut, menatap pria itu. “Maaf?”

Farel menggaruk tengkuk. “Iya, tentang taruhan kemarin. Aku… aku salah. Taruhan itu terkesan merendahkan perasaanmu.” Suaranya tulus. “Maafkan kami. Gak akan diulang lagi.”

Nayla menimbang sejenak, lalu tersenyum. “Terima kasih, Farel. Aku hargai permintaan maafmu.”

Farel legawa, lantas berlalu mengenakan jaket OSIS-nya. Di belakangnya, Galih dan Reza menatap canggung. Galih menunduk, lalu melirik ke arah bangku kosong Raka. “Semoga Raka gak marah berat,” gumamnya.

Beberapa menit kemudian, Raka datang dengan pelan menutup pintu kelas. Ia menatap seisi kelas, pandangannya terhenti pada Farel, Galih, dan Reza—ketiganya menunduk malu. Lalu Raka memberi anggukan kecil. Sangat kecil, tapi cukup bagi mereka untuk mengerti: langkah pertama sudah dilakukan, dan hubungan mereka akan kembali ke jalur normal.

Di bangku yang sama, Nayla mengamati seluruh pemandangan itu sambil menata buku tulis. Sejenak pandangannya melintas ke meja sebelah—bangku Raka. Ia tersenyum kecil. Taruhan teman-temannya tak lagi menjadi beban—melainkan cambuk agar ia terus belajar berani bicara, berani menegakkan harga diri, dan berani memahami makna “hargai perasaan orang lain.”

Pelajaran selanjutnya dimulai, dan kisah baru terajut: kisah seorang gadis yang mulai menyadari bahwa bukan waktu yang mematangkan perasaan, melainkan keberanian untuk melindunginya. Di sudut kelas, selembar kertas taruhan—nomor “0821”—dilepas dan dibuang ke tempat sampah, seakan menandai bab kelam yang sudah ditutup terlebih dahulu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel