Bab 2: Sebangku dengan Sang Pemain Basket
Pagi berikutnya, sinar matahari menerobos celah tirai kamar kos Nayla lebih lembut daripada hari kemarin. Namun, jantungnya tetap bergemuruh—lebih keras daripada dentuman bola basket di lapangan sekolah. Ia mengayun langkah ringan menuju meja belajar, menarik napas panjang sebelum meraih tas ransel birunya. Di dalam ada seragam putih–biru, buku catatan, dan bekal sederhana: sepotong roti tawar isi selai stroberi.
Sebelum berangkat, ia menatap cermin kecil di samping pintu. “Yuk, Nayla,” gumamnya pada bayangan dirinya sendiri. “Jangan terlalu tegang. Sekolah ini tempat kita bertumbuh.” Ia mengedip, lalu merapikan pita biru di kerah seragam.
Di koridor kos, aroma sarapan sederhana menyambut dari dapur bersama. Dua penghuni kos lainnya sibuk menyiapkan sarapan; salah satu menoleh, tersenyum ramah. “Nay, kamu buru-buru?”
“Enggak juga,” jawab Nayla sambil melambaikan tangan. “Cuma… nggak mau telat lagi hari ini.”
Setelah tiba di sekolah, suasana pagi lebih ceria. Lagu kebangsaan telah selesai dikumandangkan, siswa sibuk berbaris menuju kelas masing-masing. Sambil menyapa teman lama yang baru ia kenal kemarin, Nayla menyelusup ke pintu ruang X IPA 3—tempat ia akan duduk sebangku dengan Raka.
Ketika membuka pintu, ia disambut pemandangan dinding papan tulis penuh catatan sisa pelajaran kemarin, dan meja guru di sudut dengan tumpukan buku besar. Namun matanya langsung tertuju ke bangku kedua, di sisi kanan, dekat jendela. Di situ, Raka duduk menunduk, kedua tangan meremas ujung pensil—seolah baru saja mengerjakan latihan matematika hingga lelah. Rambutnya tetap acak-acakan, tapi kali ini sedikit berantakan jatuh menutupi alis.
Nayla menghela napas, berusaha menenangkan getar di dadanya. Ia berjalan pelan, menyeberangi barisan bangku, lalu mengangkat kursi di samping Raka. Suara gesekan kaki kursi di lantai ubin putih memecah kesunyian. Raka menoleh, alisnya terangkat tipis, mata hitamnya menatap kosong—cuek, tapi penuh perhatian yang tersembunyi.
“Nayla?” sapa suara lembut. Nada suaranya datar, tapi jelas memanggil.
“Iya, Raka,” jawabnya sedikit bergetar. “Mau… mau duduk di sini?”
Raka mengangguk singkat, lalu menoleh kembali ke buku catatan di mejanya. Gerakannya sigap, seolah rutinitas. “Silakan.”
Nayla tersenyum tipis, lalu menata buku tulis dan alat tulis di meja. Ia mengeluarkan bekal roti, menata di kotak makan. Namun pikirannya terus melayang ke Raka, membayangkan betapa tenangnya sikapnya padahal banyak mata memandangnya sebagai primadona basket.
Bel pelajaran pertama berbunyi—Pelajaran Matematika oleh Pak Bram, guru muda yang ceria. Suasana kelas riuh rendah, siswa saling bersahutan ingin ditunjuk menjawab soal. Pak Bram kemudian mengatur kelas. “Oke, anak-anak, tolong buka buku Matematika hal. 42, soal nomor 3. Sebelum itu, aku ingin dua sukarelawan menjawab pertanyaan teori bilangan.”
Tangan siswa pun terangkat. Raka tetap tenang, tak ikut-ikutan mengangkat tangan. Di sisi lain, seorang siswa di barisan depan langsung maju. Setelah selesai menjawab penjelasan, Pak Bram beralih: “Siapa lagi? …Raka?” Ia menunjuk bangku kedua.
Raka terkejut sebentar, lalu menegakkan badan, meraih buku, dan berdiri. “Nomor tiga, pencarian faktor persekutuan terbesar…,” ia memulai dengan suara rendah tapi jelas. Setiap kata diucapkannya tanpa keraguan, meski jarang sekali ia ingin menarik perhatian guru. Setelah ia menjabarkan langkah-langkahnya, tepuk tangan kecil terdengar di sudut kelas.
Saat Raka kembali duduk, Nayla memberi acungan jempol pelan. Raka menoleh, mata mereka bertemu sekejap, lalu ia menunduk, menyeringai tipis. Hati Nayla terasa hangat. “Ternyata bukan hanya jago basket,” pikirnya.
Sesi matematika berlanjut dengan soal-soal lain, sampai bel tanda istirahat berbunyi. Siswa berdiri dan berkerumun di depan kelas. Nayla menutup bukunya dan menoleh ke Raka. “Kamu hebat,” ucapnya ringan.
Raka mengangkat alis, sedikit terkejut mendengar pujian darinya. “Biasa saja,” jawabnya datar sambil mengemasi bukunya. Ia menyodorkan tangan kecil, “Tidak apa-apa bantuin menjelaskan lagi kalau kamu butuh.”
Nayla menatap tangan itu, lalu menggenggamnya singkat. “Terima kasih.” Genggaman itu memberinya kepercayaan diri—betapa sederhana perhatian bisa membuat hati mekar.
Saat keluar kelas, rombongan mengarah ke lapangan tengah untuk jajan kecil. Kantin belum buka, jadi mereka membeli snack keliling lewat pedagang keliling: bakso bakar, mie ayam gelas, dan es krim goreng. Di antara gelak tawa teman-temannya, Nayla dan Raka berjalan berdampingan—mungkin hanya satu langkah jaraknya.
“Biasanya kamu beli apa?” tanya Raka, menatap kotak bekal roti di tangan Nayla.
“Ini bekal,” jawab Nayla malu-malu. “Enggak terlalu suka jajan banyak.”
Raka mengangguk, lalu menepuk bahu Nayla. “Biar aku traktir es krim goreng ya nanti.”
“Ah, nggak perlu…,” balas Nayla cepat. Namun Raka sudah melangkah cepat ke penjual es krim.
Sepotong es krim genit berbalut adonan goreng disodorkan ke Nayla, sementara Raka memilih cincau hitam manis. Mereka berjalan kembali ke bawah pepohonan, menikmati dinginnya es krim yang mencair pelan.
“Enak ya,” gumam Nayla sambil mengecup sendok es krim terakhir.
Raka tersenyum tipis, “Lumayan.”
Hening sesaat. Suara burung kutilang terdengar bersahutan di pohon trembesi. Daun-daun bergoyang ringan. Mereka duduk di bangku beton, berbagi cerita ringan—dari hobi hingga lagu favorit.
Ternyata Raka suka menggambar sketsa, sedangkan Nayla gemar menulis puisi. Mereka saling bertukar secarik kertas berisi coretan sederhana: sebuah sketsa wajah wanita muda dengan senyum malu-malu, dan sebuah puisi singkat tentang rindu yang tumbuh diam-diam.
Ketika bel masuk kedua berbunyi, mereka kembali ke kelas Bahasa Indonesia bersama. Di dalam kelas, Bu Ratna mengumumkan tugas menulis karangan bebas. Para siswa tampak antusias. “Karangan kalian akan dipajang di papan pengumuman perpustakaan,” ujar Bu Ratna. “Tema bebas, tapi usahakan cerita yang menyentuh.”
Nayla teringat coretan puisinya tadi. Ia menatap kertas putih bersih dan mulai menulis judul: “Senja dan Senyummu.” Di sebelahnya, Raka menulis judul “Langkah di Antara Titik Nol” dengan gaya kaligrafi sederhana. Sekali-kali mereka saling bertukar pandang, memberi komentar ringan pada pilihan kata.
Sore menjelang siang, di ruang ekstra: Praktikum Kimia. Mereka diminta melakukan titrasi sederhana. Saat Nayla menuang larutan indikator, cairan memunculkan warna ungu muda. Raka mengamati sambil menulis data di labu ukur. Mereka saling bahu membahu menjaga takaran. Ketelitian Raka dalam mengukur meneteskan senyuman bangga di wajah Nayla—lebih bangga daripada saat ia mencetak poin tiga angka di basket.
Tugas praktikum usai, dan bel pulang akhirnya menggema. Di luar kelas, siswa berpamitan.
“Besok kita ulang praktikum, jadi jangan lupa bawa alat,” pesan Raka sambil mengangkat tas ranselnya.
“Iya, Raka,” jawab Nayla ceria. “Kamu juga ingatkan aku aja kalau aku lupa.”
Mereka tertawa ringan, langkah kaki mereka seirama menuju gerbang sekolah. Saat melewati lapangan basket, Raka berhenti. “Mau lihat latihanku sebentar?” tanyanya singkat.
“Boleh,” jawab Nayla tanpa ragu.
Di bawah ring, Raka berlari dengan gesit, memantulkan bola, lalu melepaskan tembakan satu per satu. Nayla menonton, terpesona oleh kelincahan dan ketepatan tangannya. Sesekali ia menyemangati dengan tepuk tangan kecil. Setelah puluhan kali tembakan, Raka mendekat, napasnya terengah.
“Capek?” tanya Nayla.
“Sedikit,” jawab Raka sambil tersenyum. “Latihan setiap hari, tapi lihat kamu di sini bikin makin semangat.”
Hati Nayla meledak bahagia. “Aku senang bisa nonton,” katanya lirih.
Mata mereka bertemu, dan entah siapa yang memulai, tiba-tiba mereka tertawa bersamaan—tawa ringan yang menular, menyingkirkan letih dan kekakuan. Rasanya seperti berada di dalam gelembung waktu kecil, di mana hanya ada dua orang yang saling memahami.
Akhirnya, matahari condong di barat, menandakan matahari hendak pulang ke peraduannya. Suasana sore menyejuk. Raka meraih handuk kecil dan mengelap keringat di dahinya. Ia menoleh ke Nayla. “Sampai di sini dulu,” katanya.
“Nanti malam kita ketemu lagi di kelas ekstra, ya?” pinta Nayla, berharap besok bisa kembali duduk di sampingnya.
Raka menepuk punggungnya pelan, “Tentu. Sampai besok, Nayla.”
Dengan langkah ringan, Raka berlari ke lapangan lain. Nayla menatap punggungnya hingga akhirnya tak terlihat lagi.
Di meja bangku, tertinggal sebuah kertas kecil: coretan sketsa bola basket yang mengalir menjadi hati. Ia meraih kertas, membaca garis-garis tipis itu, lalu tersenyum sembari menguncinya dalam buku catatan.
Perjalanan pulang terasa lebih ringan. Pikiran Nayla dipenuhi bayangan sore cerah dan tawa riang. Begitu banyak kejutan manis dalam satu hari: pujian di pelajaran, senyum tipis di bangku, coretan pesan rahasia, bahkan undangan menonton latihan basket.
Malamnya, saat lampu kamarnya redup, Nayla menuliskan pengalamannya di buku harian. Ia menuliskan satu per satu momen berharga:
* Duduk sebangku dengan Raka, merasakan ketenangan aneh.
* Es krim goreng bersama di bawah pohon trembesi.
* Menukar puisi dan sketsa sederhana.
* Latihan basket yang membuat hati berdebar.
Ia menutup buku, meletakkan pena bunganya di samping. Dalam hati, ia sudah tak sabar menanti bab selanjutnya besok: duduk lagi sebangku dengan sang pemain basket yang cuek, namun mengundang ribuan rasa baru di dada Nayla.
**“Besok aku siap lagi,”** bisiknya lirih.
Dan di balik tirai kos kecilnya, malam menjemput dengan harapan—harapan bahwa kursi di sebelah Raka bukan sekadar bangku kosong, melainkan awal kisah yang akan terus berlanjut dengan warna yang tak pernah ia duga.
