Bab 1: Hari Pertama di Sekolah Baru
Pagi itu, sinar mentari menembus celah tirai kamar Nayla, menandai hari pertamanya menapaki koridor SMA Negeri 5 Kota Harapan. Jantungnya berdebar kencang, memacu darah ke seluruh tubuh. Tas ransel biru dongker yang baru dibelinya tergantung berat di pundaknya, seolah menambah beban keraguan yang sejak semalam tak kunjung hilang. Di hadapannya tertera nomor ruang 301, tempat ia akan mengikuti upacara penyambutan siswa baru.
Setibanya di gerbang sekolah, Nayla menahan napas. Terhampar halaman luas yang dipenuhi barisan siswa dengan seragam putih–biru rapih. Suara tepukan tangan menyambut langkahnya tak terdengar, hanya dentingan sepatu di lantai marmer yang bergema nyaring. Ia berjalan perlahan, menunduk sedikit agar tak terlalu mencuri perhatian. Setiap langkah seakan dipantau tatapan penasaran teman-teman sebaya yang sudah terbentuk lingkaran gosip sejak jauh-jauh hari.
Di ujung barisan, seorang petugas OSIS menghampirinya. “Selamat pagi, Kak,” sapa pria tinggi dengan dasi OSIS tersemat rapi. “Aku Fajar, ketua OSIS. Silakan ambil nomor absensi dan kartu peserta upacara di meja itu.”
Nayla mengangguk gugup, meraih kartu bergambar gedung sekolah, nomor punggung “0821”, dan selembar kertas berisi jadwal kegiatan adaptasi siswa baru. Dengan pasrah, ia menyelinap kembali ke barisan, mengatur posisi di antara peserta lain. Rasanya aneh: semalam ia telah menata segala sesuatunya—alat tulis, seragam rapi, sepatu yang sudah dipoles—namun kini semua terasa hampa.
Suara komandan upacara memecah kekakuan pagi. “Siswa baru nomor urut 1 sampai 50, maju satu langkah ke depan!”
Lima puluh siswa berlima memajukan satu langkah. Di antara mereka, ada tujuh lelaki berpostur atletis dan tiga puluh tiga perempuan berambut panjang hingga sebahu. Nayla terpaku. Ia melihat deretan wajah-wajah baru, berseloroh takut, saling berpandangan canggung. Tak ada yang tampak istimewa—sampai matanya bertemu sosok lelaki di barisan kedua.
Cowok itu berdiri tegap, bahunya lapang, sepatu hitamnya kinclong. Rambutnya acak-acakan, menandai kebiasaannya menunduk terlalu sering saat belajar atau bermain basket. Sekilas, ia tersenyum tipis saat melihat ke arah Nayla—seperti menyapa, tapi ragu. Sepotong kata terlintas di benaknya: “Raka.”
Tak ada kebetulan bahwa sosok itulah satu-satunya yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang daripada takutnya terhadap hari pertama. Ia enggan mengalihkan pandangan, tapi saat komandan upacara memerintahkan semua siswa kembali ke tempat, ia tersentak, hampir menabrak teman di depannya.
Upacara selesai tanpa insiden berarti. Siswa baru dipandu berkeliling aula, perkenalan antar komite sekolah, lalu foto bersama. Ketika rombongan mendekati tribune kehormatan, Nayla mendengar bisikan di kanan dan kiri:
“Lihat nomor 17, itu tuh—anak baru yang mau ditaruh taruhan sama kita.”
“Siapa sih dia? Rambutnya kayak model majalah…”
Nayla merapatkan bibir, menahan marah yang tak jelas harus dialamatkan ke mana. Ia memilih diam dan tersenyum sopan saat disapa oleh dua senior OSIS, meski hatinya berdebar seribu kali lipat.
Setelah foto bersama, kegiatan berikutnya adalah pembagian kelas dan pengenal lingkungan sekolah. Nayla mendapatkan ruang kelas X IPA 3. Perasaan campur aduk—antusias belajar dan takut bergaul—mengusik pikirannya. Di ruang kelas, ia lihat Raka duduk di bangku kedua, dekat jendela. Cahaya matahari menerobos tirai, menciptakan siluet yang membuatnya seperti menonjol di antara tumpukan wajah polos.
Saat bel masuk berbunyi, ibu wali kelas, Bu Melati, perempuan paruh baya berwajah ramah, menyapa, “Selamat datang, anak-anak. Nama saya Bu Melati, wali kalian selama setahun ke depan. Kita akan saling mengenal lebih jauh melalui sesi ice breaking.”
Ice breaking pun dimulai. Bu Melati membagi kelompok lima siswa. Fate sudah membawa mereka duduk melingkar di karpet hijau polos. Nayla menarik nafas panjang, berusaha tersenyum natural, namun suara batinnya berbisik, “Jangan simpulkan dulu, tenang…”
“Perkenalkan, namaku Nayla,” suaranya gemetar. “Aku… pindahan dari Kota Senja.” Seketika ia terdiam, menyesal membuka mulut karena merasakan sorot ingin tahu.
Salah satu teman sekelompoknya, seorang cewek berkacamata bernama Dinda, menyahut ramah, “Wah, Kota Senja? Keren! Pasti banyak tempat wisatanya, ya?”
“Katanya sih, di sana banyak pantai,” timpal Nayla, mencoba mencairkan suasana.
Raka yang duduk di samping Dinda menoleh, menatapnya sekilas, lalu menyunggingkan senyum sinis kecil—seolah mengundang tantangan untuk lebih berkenalan.
Sesi ice breaking berlanjut dengan permainan “Barang Aneh di Tas.” Setiap siswa harus mengeluarkan satu barang unik. Dinda mengeluarkan boneka gajah kecil, lalu disambung teman lain dengan pulpen berbentuk sushi, handuk mini, dan stiker lucu. Gilirannya tiba pada Nayla.
Ia menguak resleting tas, ragu—barang unik apa yang pantas dipamerkan? Akhirnya, ia meraih sebuah pena bertangkai bunga, pemberian ibunya sebagai simbol semangat. “Ini… pemberian mama,” katanya pelan. “Semoga aku bisa menebarkan semangat seperti bunga ini di tempat baru.”
Anggota kelompok bertepuk tangan kecil. Raka berdecak kagum pelan, suaranya cukup didengar Nayla, “Bagus… kreatif.” Tawa kecilnya membuat hati Nayla ikut bergetar—untuk pertama kalinya ia merasa diterima.
Setelah jam pelajaran usai, siswa baru dipersilakan mengikuti tur keliling sekolah: perpustakaan, laboratorium, lapangan basket, dan kantin. Tur ini dipandu kakak-kakak OSIS. Saat rombongan melewati lapangan basket, Nayla menoleh. Ia melihat Raka mendaratkan tembakan tiga angka dengan mulus, bola memantul pelan melewati jaring, menciptakan tepuk sorai dari teman-temannya. Ketegangan pagi berubah menjadi kagum—siapa sangka, di balik wajah dingin, ia ternyata pemain handal.
Kang Fajar, pemandu tur, berseru, “Itulah Raka, kapten tim basket sekolah ini. Siapa tahu kalian punya teman baru yang jago basket, ya?” Para siswa berbisik, saling menanggapi. Nayla hanya tersenyum malu-malu, menahan getaran hati yang tiba-tiba makin cepat berdetak.
Tur berlanjut ke kantin. Di sana, antrian panjang mengular. Bukannya membeli makanan, Nayla memilih membawa bekal dari rumah—nasi goreng kesukaannya. Ia duduk di pojok meja, membuka kotak makan, dan menyendok penuh nasi. Suara “clink” sendok dan aroma harum membuatnya sedikit tenang. Saat wajahnya tertunduk, ia mendengar gumaman:
“Makan sendiri lagi? Anak baru itu, ya…”
Ia menoleh, mendapati seorang cewek berdandan modis menyeringai. Sebelum Nayla sempat merespon, ranjau lain muncul: sosok cowok populer—Farel—menepuk bahu cewek itu, tertawa kecil, lalu tengok ke arah Nayla. “Hei, cewek, tempat kosong di sini banyak. Mau gabung?”
Farel tersenyum ramah. Bukannya takut, Nayla justru merasa lega. Ia mengangguk halus, menepuk kursi di hadapannya. Farel dan ceweknya duduk, melepas lelah. Setelah menyapa, Farel bertanya, “Kamu murid baru, ya? Nama kamu?”
“Saya Nayla,” jawabnya sopan. “Senang kenal.”
Percakapan singkat itu membuat lengkungan bibirnya melebar. Meski masih grogi, ia mulai yakin: meski banyak taruhan soal kapan ia “jatuh cinta,” mungkin hari ini ia hanya perlu jatuh cinta pada suasana baru, teman-teman baru, dan—jangan-jangan—pada potensi baru yang tak pernah ia duga.
Tiba-tiba, ponsel di saku Nayla bergetar. Pesan masuk: dari ibunya. “Semangat ya, Nak! Ingat, jadilah dirimu sendiri.” Hatinya terenyuh. Ia menatap ke langit-langit kantin, menelan ludah, lalu membalas, “Iya, Ma. Love you.”
Di luar kantin, suara bel tanda pulang sekolah menggema. Suasana sore menebar bayang lembayung jingga. Nayla mengemasi bekalnya, bersiap kembali ke rumah singgah orang tuanya. Saat melangkah, ia berpapasan dengan Raka. Tatap mereka bertemu—mata hitamnya yang teduh sedikit menerka, bibirnya mengerucut tipis. Raka mengangguk hormat, “Sampai besok, Nayla.”
Ucapan sederhana itu membuat pipi Nayla memanas. “Sampai besok, Raka,” jawabnya lirih.
Langkahnya ringan saat menuruni tangga utama sekolah. Deretan pohon beringin di halaman mengibaskan daunnya, seolah memberi selamat pada murid baru. Di tasnya, kartu peserta upacara masih terselip. Di dalam hati, namanya tercatat di antara daftar tantangan yang menanti—tetapi juga daftar harapan baru.
Hari pertama telah berlalu dengan segala kekakuan, ketakutan, dan juga kehangatan muncul entah bagaimana. Di malam harinya, Nayla menulis di buku hariannya:
> *Hari ini aku bertemu Raka. Awalnya kupikir dia hanya sekadar “gebetan sejuta umat,” tapi setelah melihat caranya melayangkan senyum tipis, aku merasa… aku tak keberatan untuk menjadi satu dari sekian banyak yang naksir. Ini mungkin awal kisah yang tak akan ku lupakan.*
Dengan pena bunga di tangannya, ia menutup buku, mematikan lampu, dan menandai hari pertamanya dengan satu kalimat: **“Aku siap menjalani hari-hari di sini.”**
Begitulah, hari pertama di sekolah baru bukan sekadar lembar kosong. Ia adalah bab pembuka di novel kehidupan Nayla, menantinya dengan tawa baru, tantangan baru, dan—tanpa ia sadari—benih cinta yang perlahan mulai tumbuh.
