3. Ulah Bariqi
Bariqi kembali ke dapur dengan napas yang terus memburu. Pria itu masih mengingat jelas bagaimana marahnya ia saat mendengar Elya berkencan. Namun siapa sangka kalau Elya berkencan dengan kasur. Bariqi berdiri di pembatas dapur panas dan dapur dingin, pria itu meneguk air mineral yang ada di botolnya. Satu botol air mineral tandas dalam sekejap, pria itu kembali mengambil air dan meneguknya lagi. Wajah Bariqi memerah dan pipinya terasa panas. Bahkan pria itu sudah menepuk-nepuk pipinya agar tidak lagi terasa panas, tapi mengingat kebodohannya tadi tetap saja membuat wajahnya bak berada di bara api. Malunya sampai di ujung ubun-ubun.
Plak!
Plak!
Bariqi memukul-mukul pipinya sendiri. “Kenapa aku heboh sekali,” umpat Bariqi merutuki dirinya sendiri.
Beberapa chef tampak mencuri-curi pandang ke arah Bariqi. Sejak Bariqi pamit ke mess Elya dan kembali lagi ke dapur, pria itu sudah terlihat tidak baik-baik saja, seolah ada yang tidak beres yang sudah terjadi. Namun di antara koki lainnya tidak ada yang mau membuka bibirnya sekadar bertanya, takut kalau terkena semprotan maut dari Bariqi.
Napas Bariqi naik turun, pria itu melempar botolnya ke meja dengan asal. Bariqi berkacak pinggang, pria itu salah tingkah dan bingung dengan apa yang akan dia lakukan. Hanya mendengar kata ‘kencan’ sudah membuatnya menggila.
Chef Vino mencuri-curi pandang ke arah Bariqi, pria seumuran Elya itu tampak penasaran dengan apa yang terjadi. Bibir Vino sudah terbuka, pria itu bersiap bertanya. Bertepatan dengan itu, Bariqi juga menatap Vino.
“Ada apa?” tanya Bariqi yang sudah ngegas. Vino tersentak kecil.
“Eh itu, tadi bagaimana keadaan Elya?” tanya Vino.
“Kenapa kamu nanyain dia? Dan kenapa kamu tidak memberitahuku kalau Didi yang dimaksud itu kasur?” sentak Bariqi yang membuat para koki mendongakkan kepalanya pada Bariqi. Bariqi balik menatap mereka.
“Lah Chef tidak tahu?” tanya Chef Edo.
“Tidak,” jawab Bariqi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Didi itu nama kasur, Elya cinta sama Didi,” kata Vino.
“Dasar si bodoh itu. Apa gunanya mencintai kasur,” maki Bariqi mengambil botolnya lagi yang tadi sempat ia lempar.
“Kalian semua juga salah, kenapa tadi tidak memberitahu soal Didi. Kalian hanya bilang kalau Elya kencan,” oceh Bariqi lagi.
“Buat apa Chef bertanya soal Elya? Chef tidak lagi jatuh cinta sama Elya, kan?” tanya Chef Edo.
“Uhuk uhuk ….” Bariqi terbatuk-batuk mendengar ucapan Chef Edo, pria itu menatap sinis chef yang lebih tua darinya.
“Aku jatuh cinta sama Elya? Chef Edo bercanda, ya? Di hotel ini sembilan puluh persen wanitanya cantik semua, yang tidak cantik hanya Elya. Di dunia ini banyak wanita cantik, bisa gila kalau aku jatuh cinta sama dia,” oceh Bariqi dengan menggebu-gebu.
“Kalau tidak jatuh cinta ya tidak perlu heboh dan salah tingkah,” ucap Chef Edo. Di antara yang lain, yang paling berani dengan Bariqi hanya Chef Edo.
“Siapa yang salah tingkah? Aku biasa saja.”
“Ya ya … baiklah kalau biasa,” jawab Chef Edo.
Bariqi segera menarik appron yang ada di bawah meja, pria itu kembali bekerja meski tidak fokus. Fokusnya hanya pada Elya, gadis yang sejak pertama kali ia lihat sudah mengusik dirinya. Sebenarnya Elya hanya diam, hanya saja Bariqi yang terlalu terbawa perasaan dengan gadis itu.
Pukul tujuh malam, Bariqi sudah mandi dan nangkring di motor bebek miliknya. Bariqi menata rambutnya di depan spion, pria itu juga membawa parfum di tangannya dan menyemprotkan ke tubuhnya. Pria dua puluh tujuh tahun itu mencium harum tubuhnya sendiri. Dirasa belum harum, Bariqi kembali menyemprotkan parfum ke tubuhnya. Mulai dari dada, ketiak, sampai resleting celananya.
Bariqi membuang parfumnya dengan asal saat dirasa isinya sudah habis, pria itu kembali melihat dirinya di kaca spion, melihat penampilannya sendiri apakah sudah menarik atau belum. Bariqi menegakkan tubuhnya, pria itu memutar kunci motor dan bergegas menjalankan keluar dari pekarangan rumahnya.
Bariqi menjalankan motornya membelah kawasan kecamatan Bumiaji, pria itu menuju ke tempat penjual nasi goreng yang tidak jauh dari mess Elya. Nasi goreng di warung Pak Dadang selalu menjadi langganannya juga langganan Elya.
Pria yang kini tengah memakai baju hitam dan tampak tampan saat mengenakan pakaian casual pun menghentikan motornya saat sampai di warung Pak Dadang. Pria itu bergegas turun dan mendekati Pak Dadang.
“Pak, nasi goreng dua bungkus,” ucap Bariqi.
“Siap, Mas. Ditunggu sebentar ya,” kata Pak Dadang. Bariqi menganggukkan kepalanya.
“Em, Pak. Tadi ada cewek rambut pendek, jelek dan hitam yang beli nasi, gak?” tanya Bariqi berbisik.
“Elya?” tanya Pak Dadang yang tepat sasaran. Pasalnya Pak Dadang pun sudah hapal siapa yang sering dicari Bariqi. Bariqi selalu menyebut Elya dengan ciri-ciri pendek, jelek dan hitam.
“Belum kesini, Mas. Mungkin sebentar lagi,” jawab Pak Dadang.
“Pak, ini. Nanti kalau dia beli, bilang saja nasinya habis,” bisik Bariqi menyerahkan satu lembar uang seratus ribu pada Pak Dadang.
“Apa maksudnya, Mas?”
“Bilang saja begitu,” bisik Bariqi lagi. Dengan lancang Bariqi memasukkan uang seratus ribuan di kotak uang milik Pak Dadang.
Bariqi segera menjauhkan tubuhnya dari Pak Dadang, pria itu berdiri di pinggir jalan. Raganya boleh berdiri dengan tegak, tapi matanya terus jelalatan ke arah kiri untuk melihat apakah ada Elya di sana. Bariqi mulai tidak sabar, pria itu menggerakkan kakinya dengan gelisah. Tujuannya ke sini untuk menanti Elya, tapi yang dinanti tidak kunjung datang. Di trotoar pinggir jalan hanya ada pemuda yang tengah nongkrong. Bariqi sudah menyorot tajam ke arah sana, kalau sampai ia melihat Elya genit saat lewat di sana, ia akan menghajar Elya habis-habisan.
“Mas, ini nasinya,” ucap Pak Dadang mendekati Bariqi dan membawa satu kantong kresek berwarna hitam.
“Makasih, Pak,” kata Bariqi menerima pesanannya.
Bariqi masih berusaha menyetok kesabarannya, melihat ke pergelangan tangannya, jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan, tapi si bodoh Elya belum juga menampakkan batang hidungnya. Tidak bertemu Elya beberapa jam saja sudah membuat Bariqi kalang kabut.
Dari kejauhan, Elya berjalan seorang diri sembari bersenandung pelan. Di telinganya ada headset yang tersambung dengan hp yang ada di jaketnya. Elya tampak menggerakkan kepalanya mengikuti irama lagu yang menjadi kesukaannya.
Setiap malam, Elya selalu membeli makanan di luar karena malas memasak. Nasi goreng Pak Dadang selalu menjadi langganannya, sudah murah dan enak lagi. Gadis itu melewati tempat tongkrongan pria dengan santai, beberapa pria yang sedang duduk di trotoar tampak melemparkan godaaan padanya, tapi sekali pun Elya tidak menolehkan kepalanya.
“Cantik, noleh, dong!” ujar seorang pria seumuran Elya. Di samping mess Elya saat malam selalu diisi pemuda yang nongkrong sembari membeli kopi keliling.
“Elya, noleh dong!” teriak seorang pria dengan kencang.
Bukannya Elya yang menoleh, melainkan Bariqi. Bariqi menatap ke arah kiri, pria itu menatap bengis ke arah para pemuda yang ada di trotoar yang mencoba menggoda Elya. Elya mendongakkan kepalanya, matanya bersih tubruk dengan mata Bariqi.
“Oh tidak, ada orang itu,” umpat Elya membalikkan tubuhnya. Elya ancang-ancang lari, tapi Bariqi lebih cepat berlari menghampiri Elya.
Belum sempat Elya lari, kerah baju belakangnya sudah ditarik pria di belakangnya.
“Mau kemana?” tanya Bariqi dengan tajam.
“Aku mau pergi, salah jalan,” jawab Elya mencoba berlari, tapi tarikan tangan Bariqi sangat kuat membuatnya tidak bisa berkutik.
“Kamu gak salah jalan, itu Pak Dadang ada di sana,” kata Bariqi.
“Aku gak beli nasi goreng, lepasin!” ujar Elya. Bariqi tidak melepasnya, melainkan pria itu menarik Elya untuk mengikutinya.
“Eh eh … aku mau dibawa kemana?” pekik Elya. Elya mencebikkan bibirnya dengan kesal. Hari ini ia sudah kesal dengan Bariqi yang mengganggu tidur siangnya, dan malam ini harusnya ia bisa makan nasi goreng dengan tenang, tapi ia malah bertemu dengan Bariqi. Dan saat ini Bariqi malah menyeretnya dengan semena-mena.
“Sepertinya aku harus belajar lari jarak jauh, biar saat bertemu Bariqi bisa kabur,” cicit Elya dengan kesal.
“Semakin kamu kabur, semakin semangat aku mengejar,” jawab Bariqi dengan senyum devil yang tersungging di bibirnya.
“Lepasin, aku mau beli nasi,” ucap Elya memaksa Bariqi melepas cekalan tangannya.
“Aku beli kebanyakan, nih yang satu buat kamu,” ujar Bariqi menyerahkan nasi pada Elya. Elya menatap nasi yang disodorkan Bariqi.
“Gak, aku bisa beli sendiri,” jawab Elya yang kini berlari mendekati Pak Dadang saat tangan Bariqi tidak lagi memegang kerah leher belakangnya.
“Elya, aku sudah baik hati memberi kamu nasi,” kata Bariqi.
“Aku masih punya uang untuk beli sendiri. Lagi pula kamu kenapa sih dimana-mana ada? Sehari saja aku pengen gak lihat kamu di mataku,” oceh Elya mendorong Bariqi.
“Sudah ditolong malah mendorong, orang paling gak tahu diri itu kamu,” semprot Bariqi menunjuk-nunjuk kening Elya dengan tangannya.
“Neng Elya, nasi gorengnya habis,” ucap Pak Dadang.
“Hah? Kok cepet banget? Biasanya jam dua belas masih ada,” ujar Elya.
“Iya, hari ini laris manis,” jawab Pak Dadang.
“Mie aja kalau gitu, Pak. Mie rebus,” ujar Elya.
“Eh … anu … itu ….” Pak Dadang menjawab dengan terbata-bata. Bariqi menatap Pak Dadang, mengisyaratkan agar Pak Dadang bilang habis. Namun Pak Dadang malah bilang a u a u.
“Mienya juga habis. Makanya makan saja punyaku,” ucap Bariqi menarik Elya menjauh.
“Eh tapi mienya itu masih ada. Tuh di ember masih banyak,” pekik Elya nyaring seraya menunjuk tempat mie milik Pak Dadang. Bariqi menatap Pak Dadang dengan tajam. Pak Dadang langsung menyembunyikan mienya.
“Mienya sudah pesanan orang,” jawab Pak Dadang.
“Hah, tidak mungkin. Masak aku gak kebagian satu porsi pun?” teriak Elya. Pak Dadang menggelengkan kepalanya, sedang Bariqi terus menarik Elya agar menjauh.
Orang-orang yang tengah beli di sana pun menatap Bariqi dan Elya yang terlibat percekcokan.
“Pak, mienya habis?” tanya salah satu pelanggan.
“Tidak, Mbak. Masih bisa pesan. Tadi urusan anak muda yang lagi pacaran,” jawab Pak Dadang yang merasa tidak enak hati. Kalau dia tidak diberi uang seratus ribuan, ia tidak akan sudi menuruti ucapan Bariqi.
Bariqi menghempaskan tubuh Elya saat sudah jauh dari Pak Dadang. Pria itu juga memaksa Elya untuk duduk di atas trotoar.
“Makanya nurut dengan ucapanku. Aku sudah baik hati memberimu nasi,” ucap Bariqi memberikan kantong kresek pada Elya.
“Aku tahu pasti Pak Dadang tadi bohong. Masak jam segini semua sudah habis. Terus orang-orang yang antri di sana itu apa?” teriak Elya.
“Sudah jangan berteriak, berisik,” kata Bariqi.
Bariqi mengambil duduk di samping Elya, pria itu mengalah membukakan nasi untuk Elya.
“Nih makan!” titah Bariqi menyerahkan nasi dan sendok plastik pada Elya. Eya menatap Bariqi dengan pandangan penuh selidik.
“Jangan-jangan kamu memasukkan racun di sini?” tanya Elya.
Bariqi mengambil sendok satu lagi dan menyendokkan nasi milik Elya ke mulutnya. “Kalau ini aku beri racun, kita akan mati bareng,” jawab Bariqi.
Melihat Bariqi yang berani memakan, Elya pun dengan pelan mulai menyendokkan nasi ke bibirnya. Ia sudah lapar sejak tadi, tapi baru keluar dari mess sekarang. Dan ia malah bertemu Bariqi yang bertingkah aneh memberinya nasi. Hidung Elya terasa tertusuk saat mencium parfum Bariqi yang kelewat wangi. Saking wanginya membuat hidung Elya terasa sangat gatal.
Elya melirik-lirik ke arah Bariqi yang saat ini membuka nasinya sendiri. Merasa dilirik oleh Elya membuat Bariqi tersenyum penuh kemenangan. Dengan penuh percaya diri ia menggeser tubuhnya untuk lebih dekat dengan Elya. Elya juga menggeser tubuhnya agar tidak terlalu dekat dengan atasannya. Namun, semakin Elya menjauh, semakin pula Bariqi bergeser agar dekat dengan gadis itu.
“Chef apaan sih dekat-dekat aku,” pekik Elya yang kesal saat Bariqi terus mendekatinya.
“Siapa yang dekat dengan kamu? Pede banget jadi orang,” sentak Bariqi.
“Lah itu terus geser ke aku.”
“Aku geser ke kamu agar kamu ketularan wangi tubuhku.”
“Bau parfum kamu bikin aku mual. Lagian kamu kenapa pakai parfum sampai baunya menyengat gini. Kamu mau beli nasi goreng atau mau pergi cari sesajen, wanginya kayak orang mau cari pesugihan,” omel Elya.
Bariqi tercekat mendengar ucapan Elya. Ia berdandan lama dan menyemprot dirinya dengan parfum yang banyak agar Elya meliriknya. Parfum yang digunakan Bariqi pun bukan parfum kaleng-kaleng, parfum dengan merk ternama dengan aroma jeruk mandarin yang dipadukan dengan ice tonic yang membuat harum lebih elegan. Bariqi juga sengaja memakai kaos casual hitam dan menata rambutnya rapi agar terlihat lebih menawan, tapi Elya benar-benar tidak mau meliriknya.
