Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Sisi Lain Elya

Hari senin Elya benar-benar libur dan berkencan ria dengan Didi, nama kasurnya. Elya sama sekali tidak peduli bila chef Bariqi akan ngamuk karena dia jadi libur, toh ini memang waktunya dia libur. Tubuh Elya juga sudah remuk setiap hari hanya kerja, kerja dan kerja. Elya terkadang heran dengan dirinya sendiri, kerja terus tapi gak kaya-kaya. Biasanya saat libur akhir bulan, Elya akan pulang ke Tulungagung. Namun kali ini Elya tidak akan pulang, ia belum gajian dan sudah pasti saat dia pulang tanpa membawa uang akan terkesan tidak enak.

Elya gadis pekerja keras, di balik sikap dingin dan cueknya, terselip diri Elya yang sangat rapuh. Saat tidak ada orang lain di sampingnya, Elya lebih sering menangis.

Elya merasa jalan hidupnya tidak pernah mulus. Elya tidak apa-apa bila sekadar lahir dari keluarga yang kurang mampu. Elya selalu bersyukur lahir dari rahim ibunya dan dibesarkan di lingkungannya. Anugerah terbesar Elya saat memiliki ibu sebaik ibunya. Namun menginjak bangku sekolah, Elya selalu menjadi anak yang tidak pernah beruntung. Elya pintar dalam bidang menggambar, tapi di setiap ikut perlombaan, Elya harus tersisihkan karena masalah biaya pendaftaran yang sangat mahal. Saat semua teman Elya mencetak banyak prestasi, hanya Elya lah yang seolah tidak punya prestasi apa-apa.

Sejak sekolah dasar, Elya sudah harus berjualan untuk menambah uang sakunya. Berjualan kue basah yang dijajakan ke ruang guru. Hingga saat dia menginjak sekolah menengah atas kejuruan, Elya bekerja paruh waktu untuk membantu biaya pendidikan adiknya yang hanya terpaut umur empat tahun. Segalanya akan Elya lakukan untuk adik laki-lakinya agar adik laki-lakinya tidak merasa kekurangan seperti dirinya.

Elya sangat ingin meneruskan pendidikannya di salah satu universitas seni di kotanya. Uang dan persiapan sudah ada, tapi tidak dengan restu orangtua. Ibu Elya menentang Elya yang akan kuliah, bagi ibu Elya yang mempunyai pikiran kuno, kuliah hanya akan menghabiskan uang. Elya memilih mundur, tapi ia menaruh harapan besar pada adiknya agar adiknya mau meneruskan pendidikan menggantikannya. Elya yakin salah satu anak akan mengangkat derajat orang tuanya.

Elya mengusap air matanya yang tanpa dia sadari menetes. Elya tertawa sendiri saat menyadari kalau dirinya sangat cengeng. Sebenarnya Elya iri dengan teman-temannya yang pernah bercerita kalau pulang ke rumah, ibunya akan bertanya ‘bagaimana kabar kamu? Baik-baik kan di kota orang?’

Namun Elya tidak pernah mendapatkan pertanyaan itu, yang selalu ditanyakan ibunya “Berapa gaji kamu? Untuk ibu mana? Untuk kebutuhan dapur mana?”

Elya sampai harus memblokir semua kontak teman-temannya yang selalu menceritakan kehidupannya yang mulus, tidak dengannya yang harus bekerja keras untuk membuat orang di sekitarnya berkecukupan. Terkadang Elya merasa lebay dengan dirinya sendiri karena sudah sepatutnya seorang anak membahagiakan orang tuanya, tapi namanya hati tidak bisa berbohong. Terkadang Elya sangatlah lelah, ingin diperhatikan dan ingin dicintai seperti yang lainnya.

Elya menenggelamkan kepalanya ke guling yang tengah dia peluk. Ia selalu berdoa semoga akan ada hari baik ke depannya. Semakin menenggelamkan kepalanya makin membuat Elya terlarut dalam kesedihannya. Elya menangis terisak-isak sembari menggigit gulingnya. Elya hanya perempuan pada umumnya, yang bisa menangis meski di luar ia tampak cuek dengan segalanya.

Sedangkan di dapur, Bariqi sama sekali tidak semangat dalam menjalani harinya. Dari pagi sampai siang, sudah terhitung tiga chef yang kena semprotan pedas darinya. Bariqi mudah mengamuk kalau tidak ada Elya, sampai-sampai para koki menyebut Elya adalah pawang Bariqi. Sungguh berlebihan, tapi memang itu adanya.

“Itu ngaduknya salah!” interupsi Bariqi pada koki juniornya yang tengah memegang spatula untuk mengaduk susuu.

Chef Vino pun segera mengganti cara mengaduknya seperti yang diajarkan oleh Bariqi. Bariqi menang selalu perfectionis dan tidak menerima kesalahan apapun meski itu hanya kecil sekali pun.

Setelah pukul tiga sore, semua koki beristirahat. Istirahat seorang koki selalu kondisional mengikuti jam sepinya orderan. Bariqi tidak mood makan karena masih teringat kencan yang diucapkan Elya kemarin. Mendengar kenyataan Elya akan kencan membuat Bariqi panas, ia tidak suka saat Elya berdekatan dengan pria lain.

“Gak ada Elya dapur rasanya sepi,” ucap Chef Edo sembari menatap langit-langit ruang istirahat. Chef Edo lah yang sangat sayang dengan Elya, karena anaknya juga seumuran Elya.

“Iya, Chef. Biasa kalau libur Elya kan akan kencan,” timpal Vino, chef yang terkadang dekat dengan Elya.

“Kencan?” tanya Bariqi dengan spontan yang membuat koki lain menolehkan kepalanya ke arahnya.

“Lah chef Bariqi gak tahu kalau setiap minggu Elya kencan?” tanya Vino balik.

“Memangnya kalian semua tahu Elya kencan?” tanya Bariqi yang makin lama makin ngegas.

“Tahu, dia kencan sama Didi,” jawab Liam, koki yang dari Bali.

“Sialann!” maki Bariqi yang dengan spontan berdiri. Bariqi menarik apronnya dan membuangnya dengan asal. Semua koki menatap Bariqi yang tampak tergesa-gesa dengan bingung.

Napas Bariqi sudah naik turun, mendengar Elya kencan dengan Didi membuat Bariqi tidak suka. Bariqi bersumpah akan mematahkan tulang kaki Didi agar tidak bisa kencan lagi dengan Elya. Bariqi juga akan memberi pelajaran pada Elya yang sudah sembarangan kencan tanpa memberitahukannya.

Bariqi tanpa sadar melanggar sumpahnya sendiri. Dia bilang kalau di dunia ini hanya tersisa Elya, Bariqi tidak akan mau menikah dengan Elya. Namun kenyataannya tanpa Bariqi sadari dia sudah terikat dengan Elya.

Bariqi menuju parkiran mobilnya, pria itu menuju ke mobilnya dan mengeluarkan dari tempat parkir dengan tergesa-gesa. Siapa yang akan memarahinya saat dia keluar masuk dapur seenaknya, karena dia mempunyai wewenang khusus dari ayahnya.

Bariqi adalah anak tunggal Prasetyo, pemilik Hotel Crown Sunflower. Prasetyo sudah memberikan mandat pada Bariqi untuk mengambil kepemimpinan, tapi Bariqi menolak dan masih ingin menjadi chef yang berkutat dengan makanan. Semua orang tahu kalau Bariqi adalah anak Pak Prasetyo, tapi tidak dengan Elya. Elya sama sekali tidak peduli dengan lingkungannya, yang ia butuhkan hanya datang, kerja, pulang dan gajian.

Bariqi menjalankan mobilnya dengan kencang setelah terbebas dari parkiran. Di sepanjang perjalanan hanya sumpah serapah yang Bariqi ucapkan. Hingga pria itu menghentikan mobilnya di depan gerbang mess Elya. Bariqi dengan cepat turun dan berlari menuju ke kamar nomor sebelas di mana itu adalah kamar Elya.

Bak penagih hutang, Bariqi mengetuk pintu kamar Elya dengan membabi buta. Bariqi menggedor sampai menendang tidak peduli kalau pintu itu akan rusak.

“Elya, keluar kamu!” teriak Bariqi dengan kencang. Untungnya semua penghuni mess tidak ada di tempatnya karena mereka bekerja. Seluruh karyawan Sunflower yang di luar kota diberikan tempat tinggal khusus yaitu mess. Satu kamar dua orang, tapi beda dengan Elya yang tidak mau ada temannya, dan atas bantuan Bariqi tempo lalu Elya boleh menggunakan kamar untuk dirinya sendiri.

Elya yang sempat tertidur pun sayup-sayup terbangun. Suara orang mengetuk pintu mengganggu ketenangan Elya. Dengan perlahan Elya bangun dari tidurnya dan segera menuju pintu untuk membukakan sang tamu.

Cklek!

Suara pintu terbuka membuat Bariqi menurunkan tangannya yang akan mengetuk lagi. Mata Elya membulat sempurna saat melihat Bariqi, sedangkan Bariqi menatap Elya dengan tajam.

“Sudah pulang kencannya?” tanya Bariqi dengan sinis.

“Kencan?” tanya Elya bingung.

“Jangan berlagak bodooh. Kamu bilang kemarin kencan, dan hari ini semua orang tahu kalau kamu kencan. Siapa Didi dan di mana dia?” oceh Bariqi bertubi-tubi.

“Oh Didi? Dia ada di dalam,” jawab Elya dengan enteng membuat Bariqi mengepalkan tangannya dengan kuat.

Tanpa permisi Bariqi segera menerobos masuk ke kamar Elya. Bariqi tidak menemukan siapa-siapa, kamar Elya kosong. Bariqi dengan cepat menuju ke kamar mandi, saat membukanya juga tidak ada siapa-siapa.

“Di mana kamu menyembunyikan Didi? Ingat ya, Elya. Ini Mess khusus karyawan, tidak boleh orang asing masuk,” ucap Bariqi dengan tegas.

“Itu Didi. Kasurku namanya Didi,” ucap Elya menunjuk kasurnya. Bariqi tercengang, pria itu menatap kasur Elya. di bawahnya tertulis nama Didi.

Pipi Bariqi terasa memanas, Bariqi sudah salah mengira. Ia kira yang namanya Didi adalah seorang pria, ternyata Didi hanya kasur. Bariqi mengepalkan tangannya erat tanda dia malu.

“Kenapa, Chef?” tanya Elya.

“Tidak apa-apa,” jawab Bariqi yang segera melenggang pergi begitu saja. Bariqi berjalan tergesa-gesa meninggalkan Elya yang kini menatap Bariqi dengan bingung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel