Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Saat Dosa Menjadi Pelukan - 1

Aku bangun lebih pagi dari biasanya. Entah karena tidurku terlalu nyenyak… atau karena tubuhku masih menyimpan sisa panas dari semalam.

Rasanya… seperti aku baru saja melakukan sesuatu yang gila. Sesuatu yang tidak seharusnya. Tapi bukan penyesalan yang kurasakan. Bukan.

Yang ada justru... dorongan untuk mengulang.

Aku duduk di tepi ranjang. Kaos tidurku lebar, longgar, dan agak terangkat saat aku membungkuk. Dingin pagi merayap dari bawah pintu, tapi yang membuatku menggigil bukan udara. Tapi bayangan wajahnya—mata itu, napas itu, dan cara dia menahanku di dinding seperti aku miliknya.

Aku berdiri. Berjalan pelan ke dapur.

Langkah kakiku pelan, nyaris tanpa suara. Tapi detak jantungku bising. Aku ingin tahu, dia bangun atau tidak. Aku ingin tahu… apa dia ingat. Dan lebih dari itu—aku ingin tahu, apakah dia menyesal?

Saat masuk dapur, kulihat dia sudah di sana.

T-shirt hitam. Rambut agak basah. Cangkir kopi di tangan. Dan mata yang langsung memaku pandanganku begitu aku muncul.

Hening.

Dan kami hanya berdiri di sana. Saling menatap. Tapi tidak ada yang bicara.

Aku tersenyum kecil. Lalu membuka lemari, mengambil gelas.

“Kamu bangun pagi banget,” ucapku ringan, seolah semalam tak terjadi apa-apa.

Dia diam sesaat. Lalu menjawab, “Nggak bisa tidur lagi.”

“Kenapa? Mimpi buruk?”

Dia meneguk kopinya. “Bisa dibilang begitu.”

Aku tertawa pelan. “Kamu mimpi kita?”

Dia menoleh. “Kamu nganggep itu cuma mimpi?”

Aku menatap matanya. “Kalau mimpi... biasanya bisa dilupain. Tapi kalau kenyataan... biasanya pengen diulang.”

Hening lagi.

Dia menyandarkan tubuh ke meja dapur. “Jangan mainin aku, Vy.”

“Aku nggak main. Justru aku serius.”

Dia menggeleng pelan. “Kita udah kelewatan semalam.”

Aku maju satu langkah.

“Dan kamu suka, kan?”

Dia menarik napas panjang, matanya terpejam sebentar.

“Vy, please…”

“Tan…” aku menatapnya tajam, “aku nggak minta kamu bertanggung jawab. Aku cuma minta satu hal…”

Dia menatapku.

“Jangan pura-pura itu nggak pernah terjadi.”

Dan tepat saat aku selesai bicara, suara dering ponsel mengganggu keheningan. Dia cepat-cepat mengambilnya. Kulihat layar ponsel itu menampilkan nama: “Mama (Bandung)”.

Dia langsung menjauh.

“Ya, Ma…” suaranya berubah. Lebih tenang. Lebih formal.

Aku berdiri di sana. Sendiri lagi. Tapi kali ini dengan rasa yang mulai mengeras.

Rasa kalau aku bukan prioritas.

Dan aku benci rasanya.

Dia bisa bilang semalam itu kesalahan.

Tapi kenapa tatapannya...

masih mengupas bajuku dari kejauhan?

POV Septian

Suaraku datar di telepon, meski jantungku masih belum turun dari tenggorokan. Suara Ibu terdengar hangat, ceria. Katanya, dia dan Ayah barunya (ayah Silvy) mau pergi ke Jogja sebentar, urusan reuni dan segala macam. Dan itu artinya… Silvy bakal lebih lama tinggal di sini.

Katanya, "Kamu jaga adikmu ya, Tan. Jangan cuekin dia."

Aku jawab sekenanya. "Iya, Ma. Tenang aja."

Lucu. Baru semalam aku “menjaga” Silvy dengan cara yang bahkan tidak bisa kusebut.

Begitu kututup telepon, aku menunduk. Wajahku tertutup tangan sendiri. Napas keluar panjang. Rasanya seperti tubuhku ingin pecah oleh sesuatu yang nggak bisa kutahan: rasa bersalah… dan ketertarikan yang nggak kunjung reda.

Aku lelaki. Tapi aku juga manusia.

Dan yang terjadi semalam... bukan cuma tubuh yang menyentuh tubuh.

Itu adalah momen di mana aku sadar bahwa aku bisa kehilangan kendali sepenuhnya hanya karena satu tatapan Silvy.

Kupikir aku masih bisa menjaganya. Kupikir aku cukup dewasa untuk bilang "tidak". Tapi ternyata... satu sentuhan di pinggangnya sudah cukup untuk mengubahku jadi monster yang diam-diam dia bangunkan.

Saat aku balik badan, dia sudah berdiri di sana. Berdiri di ambang pintu dapur, bersandar, menatapku dengan tatapan yang... aku benci, karena terlalu manis, terlalu menyihir.

Dia pakai kaos hitam panjang, entah bajuku atau miliknya sendiri. Tapi yang jelas... garis tubuhnya masih terlihat jelas.

“Telepon siapa?” tanyanya pelan.

“Mama.”

“Oh,” dia mengangguk pelan. “Udah cerita semalam?”

Aku menatapnya tajam. “Nggak lucu, Vy.”

Dia tertawa kecil, tapi tidak lepas dari sorot mataku. “Kamu kira aku bercanda?”

“Udah cukup, Vy.”

Dia berjalan masuk. Setiap langkahnya membuatku ingin mundur. Tapi aku tetap diam. Dia berhenti tepat di depanku.

Dagu kuangkat sedikit, karena dia berdiri sangat dekat.

“Kalau kamu beneran pengen semuanya berhenti...”

Dia mengambil tanganku, lalu meletakkannya di sisi pahanya.

“…kenapa kamu masih ngebayangin rasanya?”

Aku langsung menarik tanganku. Tapi tubuhku menegang.

Dia senyum kecil.

“Badan kamu jujur banget, Tan.”

“Aku serius, Vy. Jangan godain aku.”

“Aku nggak godain,” bisiknya, “aku cuma nanya... kamu nyesel?”

Aku terdiam.

Dan itu cukup untuk menjawab.

Aku melangkah cepat ke kamarku, membanting pintu. Tapi suara langkah kakinya menyusul dari belakang. Pelan. Santai. Seolah dia tahu aku tidak mungkin mengusirnya.

Dan benar saja.

Pintu kamarku terbuka.

Dia berdiri di ambang pintu, memeluk lengan, bersandar.

“Kalau kamu takut,” ucapnya tenang, “aku bisa pura-pura kita nggak pernah ngapa-ngapain.”

Mataku tertuju ke arah wajahnya. Tapi detik berikutnya… dia menurunkan pelukannya dan menarik ujung kaos panjangnya.

Pelan-pelan.

Mataku mengikuti gerakan itu. Gila. Aku laki-laki. Dan dia tahu itu.

Kaos itu terangkat cukup tinggi untuk memperlihatkan… semuanya.

Tapi sebelum aku bisa bicara, dia berhenti.

Lalu bicara pelan:

“Tapi kalau kamu tatap aku kayak gitu terus, Tan…”

“…jangan salahin aku kalau aku lupa kita cuma saudara tiri.”

POV Septian

Aku duduk di tepi ranjang. Punggungku menegang. Tangan mengusap wajah yang masih terasa panas. Dan di dalam kepala—semuanya seperti kekacauan yang nggak bisa diberesin dengan logika.

Kenapa aku nggak marah?

Kenapa aku nggak merasa bersalah seperti seharusnya?

Kenapa... justru aku menanti suara langkah kakinya lagi?

Tiba-tiba, suara ketukan halus di pintu.

Satu... dua... tiga ketukan. Lalu diam.

Dan sebelum sempat kubilang “masuk”, pintu terbuka sedikit. Wajahnya muncul di balik celah. Rambutnya sedikit acak, mata sayunya justru semakin membakar.

“Boleh masuk?” suaranya pelan.

Aku diam.

Dia masuk juga.

Dia nggak langsung bicara. Dia hanya berdiri di sana, seolah menunggu sesuatu. Tapi aku nggak kasih reaksi.

Hingga akhirnya dia bicara, “Kalau kamu tetap diam, aku bakal makin nekat.”

Aku menatapnya.

Dan sialnya… aku ingin dia nekat.

Aku tarik napas dalam. “Silvy… kita harus berhenti.”

Dia mendekat. Duduk di sebelahku.

Jarak kami... terlalu dekat untuk orang yang ingin berhenti.

“Aku udah coba,” ucapnya sambil menatap lantai. “Tapi setiap kali kamu diam, aku malah makin ngerasa... kamu lagi mikirin semalam.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel