Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Saat Dosa Menjadi Pelukan - 2

Aku nggak jawab.

“Kamu nggak ngerasa berdosa?”

“Tiap detik.”

“Terus kenapa kamu masih diem di sini?”

Aku menatapnya. “Karena kalau aku pergi, aku takut... kamu ngikutin.”

Dia tertawa kecil. “Berarti kamu tau, ya, aku udah gila.”

“Bukan gila. Tapi... berbahaya.”

Dia menoleh. Wajah kami nyaris sejajar.

“Aku lebih berbahaya kalau dicuekin.”

Tangannya menyentuh ujung jemariku.

“Kalau kamu nggak bisa sentuh aku lagi... tolong jangan lihat aku seperti barusan. Seperti kamu pengen aku.”

Aku ingin menepis tangannya. Tapi jemariku justru menggenggam balik.

Refleks.

Aku sudah kalah. Bahkan sebelum pertarungan dimulai.

“Silvy,” bisikku. “Kamu tahu nggak... kamu bukan gadis yang bisa disentuh tanpa konsekuensi.”

Dia mendekat. Sangat dekat.

“Kalau gitu...”

“Jangan setengah-setengah.”

Dalam satu gerakan, dia duduk di pangkuanku. Kedua kakinya menekuk di sisi tubuhku. Kedua tangannya melingkari leherku. Dan matanya... persis seperti malam itu:

Lapar.

Aku ingin mendorongnya. Ingin bersikap seperti lelaki waras yang tahu batas. Tapi tubuhku mengkhianatiku.

Dia menyentuh wajahku. Bibirnya nyaris menyentuh bibirku.

“Jangan lupa napas, Tan.”

Dan saat bibir kami akhirnya bersentuhan lagi, aku tahu...

Tidak ada jalan kembali.

Kami bisa pura-pura baik.

Kami bisa pakai nama ‘saudara’ sebagai tameng.

Tapi saat tubuh bertemu tubuh...

…identitas pun ikut luntur.

Aku berdiri.

Tegak. Tegang. Dan tanpa sadar sudah melangkah ke arahnya.

Tapi sebelum aku bisa mengucapkan sepatah kata pun, dia menutup pintu dari luar.

“Pikirin baik-baik,” katanya dari balik pintu.

“Sebelum aku yang nggak bisa berhenti.”

Dia tidak pernah minta aku jatuh cinta.

Dia hanya… membuka pintu, dan menunggu aku masuk sendiri.

Dan bodohnya…

kakiku sudah berdiri di ambang.

POV Silvy

Duduk di pangkuannya seperti ini, aku bisa rasakan betul… bagaimana tubuhnya menolak, tapi jiwanya nyaris menyerah. Tangannya masih ragu, tapi matanya sudah kehilangan arah. Dan aku menikmatinya.

Aku bukan perempuan yang sok polos.

Aku tahu tubuhku bisa membuat laki-laki bingung. Tapi baru kali ini aku pakai itu untuk menuntut sesuatu—bukan sekadar perhatian, tapi pengakuan. Bahwa aku bukan cuma adik tiri yang menumpang di rumah ini.

Aku ingin dia tahu, bahwa malam itu bukan kecelakaan.

Ini… adalah kelanjutannya.

Bibirmu, Tan… masih terasa sama. Pelan tapi berat. Lembut tapi membakar. Dan saat kamu akhirnya membalas, aku tahu: kamu nggak benar-benar menolak. Kamu cuma takut.

Dan aku nggak akan berhenti… sampai ketakutan itu tak lagi jadi alasan.

Tangannya akhirnya bergerak. Naik ke pinggangku, lalu menarik tubuhku lebih dekat. Napasnya berat, menabrak kulit leherku, membuatku menggigil dari dalam. Tapi aku tetap tenang.

“Aku... harusnya nolak,” gumamnya di sela ciuman.

“Tapi kamu nggak,” bisikku.

Tangan kirinya naik ke punggungku, meraba tulang belikat, lalu menarikku seakan takut aku hilang. Tubuh kami menempel tanpa sisa. Dan saat lidahnya mulai menyapu garis rahangku, aku tahu: dia sudah masuk ke dalam ruang yang dia pikir tak akan pernah dimasuki.

Tanganku turun, menyentuh dadanya. Kurasakan detaknya—cepat, liar, kacau. Sama seperti pikiranku sekarang.

“Vy…” suaranya serak. “Kita nggak boleh…”

“Diam.”

Aku menatap matanya.

“Kamu udah ngelewatin garis itu sejak pertama kali megang pinggangku malam itu. Jadi jangan munafik.”

Dia menggigit bibir bawah. Matanya sayu. Tapi yang terpancar dari sana bukan rasa bersalah.

Itu candu.

Saat ciuman kami makin dalam, tubuh kami makin melebur dalam kebisuan yang panas.

Kaosku terangkat. Tapi aku tak malu.

Justru aku bangga. Karena kini dia melihatku bukan lagi sebagai Silvy si anak SMA yang sok ceria.

Dia melihatku... sebagai perempuan.

Dan waktu akhirnya tangannya menyentuh bagian tubuh yang dulu dia hindari, aku menggenggam jari-jarinya.

“Jangan setengah-setengah, Tan,” bisikku.

“Kalau kamu udah nyentuh... kamu harus siap nerima rasa.”

Dia mengangguk pelan. Lalu menciumku lebih dalam, lebih panas, lebih... rusak.

Aku pasrah. Bukan karena lemah, tapi karena aku mau.

Dan di dalam pelukannya, aku berkata dalam hati:

“Biar dosa ini milikku. Aku yang mulai... dan aku yang bakal habis karena itu.”

Kami bukan kekasih.

Kami bukan saudara.

Kami hanya… dua orang yang kehabisan alasan untuk saling menjauh.

Dan malam berikutnya…

tak lagi butuh izin.

POV Septian

Aku berdiri di depan jendela. Matahari mulai naik. Langit Jakarta memerah samar, seperti wajah seseorang yang menahan malu… atau dosa.

Silvy tertidur di tempat tidurku. Selimut separuh terbuka. Bahunya telanjang. Rambutnya terurai.

Dan aku tidak tahu... bagaimana caranya menatapnya tanpa ingin menyentuhnya lagi.

Tubuhku sudah mendingin. Tapi pikiranku?

Masih terbakar.

Tiap detik yang kulewati tanpa menyentuhnya… justru membuat jari-jari ini gemetar.

Yang lebih menyakitkan adalah: aku tahu ini salah, tapi aku juga tahu—aku akan melakukannya lagi, jika dia minta.

Bukan karena dia memaksaku.

Tapi karena aku lemah.

Dan di matanya… kelemahanku justru membuatnya merasa dicintai.

Dia menggeliat pelan. Matanya membuka setengah.

Aku tidak bergerak.

Dia memandangi punggungku. Suaranya lirih.

“Kamu nyesel?”

Aku menutup mata. Menelan napas yang rasanya berat seperti batu.

“Bukan nyesel,” jawabku pelan.

“Tapi takut.”

“Takut apa?”

“Takut kamu makin suka…”

Dia tertawa kecil, lalu duduk sambil membetulkan selimut.

“Kamu kira aku belum suka?”

Aku menoleh. Tatapanku menabrak tatapannya. Dan saat itu aku tahu:

Kami sedang bermain dengan api… tapi tidak satu pun dari kami ingin memadamkannya.

Sarapan pagi itu kami lalui dalam diam.

Tidak ada pelukan. Tidak ada ciuman. Hanya dua orang yang duduk di meja makan dengan tubuh yang pernah menyatu, tapi kini saling menjaga jarak.

Sesekali dia melirikku. Dan setiap kali aku tertangkap sedang memandangi lehernya yang terbuka... aku cepat-cepat menunduk.

Tapi yang tak bisa kusembunyikan adalah:

Hatiku sudah terlalu dalam.

Dan rasa yang dulu kupikir hanya nafsu…

…ternyata jauh lebih rumit dari itu.

Kami selesai makan.

Dia berdiri.

“Aku mau mandi,” katanya sambil berjalan pelan.

Aku tidak menjawab.

Tapi saat dia tiba di depan kamar mandi, dia menoleh. Tatapannya seperti bisikan di ujung telinga.

“Kalau kamu masih mau aku jadi adik tirimu, Tan…”

“...jangan datang ke kamar mandi.”

Dia tersenyum—lalu masuk.

Dan sebelum pintu itu tertutup sepenuhnya, aku sudah berdiri.

Bukan untuk melarangnya.

Tapi untuk memastikan... aku tak akan bisa menolak undangan seperti itu untuk selamanya.

Kami sedang membangun neraka kecil di dalam rumah peninggalan ayahku.

Dan anehnya,

kami menikmatinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel