Bab 3 Ciuman yang Membakar Batas
Aku pikir… perasaan ini akan reda. Bahwa waktu akan mengendapkan semuanya. Bahwa setelah semalam—dengan semua ketegangan tak kasat mata di antara kami—aku bisa bangun pagi dengan dada ringan.
Ternyata tidak.
Yang terjadi justru sebaliknya. Saat aku membuka mata, rasanya seperti ada sesak yang tak bisa kuludahi. Jantungku berdegup seperti baru selesai lari, padahal aku belum turun dari tempat tidur.
Kupeluk bantal erat-erat. Masih hangat. Tapi bukan itu yang kurindukan.
Yang kurindukan adalah… tatapan itu. Tatapan yang semalam sempat jatuh ke arah pahaku. Tatapan yang diam-diam mengupas seluruh pakaian yang kukenakan.
Bukan tatapan kakak.
Bukan tatapan keluarga.
Tapi... tatapan laki-laki.
Dan aku menyukainya.
---
Suara air mengalir dari kamar mandi. Suaranya keras, tapi justru itu yang membuatku lebih awas. Di sanalah dia, hanya beberapa meter dari kamarku. Basah. Mungkin hanya memakai handuk. Mungkin tidak menyadari bahwa bayangannya menari di balik kaca buram.
Aku membuka pintu kamarku sedikit. Hanya sedikit.
Dan dari situ, aku bisa melihat kain putih transparan yang menutupi dinding kaca kamar mandi. Uap mengepul. Bayangannya samar. Tapi jelas itu dia.
Tulang bahu yang kekar.
Tangan yang besar.
Dan punggung... yang membuat perutku seperti dikerat dari dalam.
Aku seharusnya menutup pintu. Tapi justru aku berdiri lebih dekat.
Tubuhku panas.
Dan saat kulirik tanganku yang gemetar... aku tahu, ini bukan sekadar kagum.
Ini bukan rasa ingin tahu.
Ini hasrat.
---
Setelah dia keluar dari kamar mandi, aku berpura-pura duduk santai di ruang makan. T-shirt putih longgar dan celana pendek denim. Kaki kutumpangkan ke kursi sebelah. Seolah biasa. Padahal tidak.
Dia berjalan melewatiku.
Wangi sabun bercampur udara pagi langsung menampar wajahku. Aku berpura-pura tak peduli, tapi mataku sempat melirik. Betisnya kuat. Handuk kecil menggantung di bahu. Kaosnya menempel sempurna di dadanya yang masih sedikit basah.
Dan saat dia sadar aku memperhatikan, dia berhenti.
“Kamu bangun pagi juga?” tanyanya.
Aku tersenyum tipis. “Kamu lama banget mandinya. Aku kebangun.”
Dia nyaris menjawab, tapi matanya sempat jatuh ke arah pahaku. Sedetik. Lalu kembali ke mataku.
Dan aku tahu dia tak lagi bisa berpura-pura.
“Aku buat kopi, ya?” katanya cepat-cepat, lalu mengalihkan diri ke dapur.
Aku mengangguk.
Tapi dalam hati, aku berkata:
Kamu bisa lari, Tan... tapi aku nggak lagi sembunyi.
Dia takut menatapku terlalu lama.
Tapi aku mulai berharap… dia tidak berpaling lagi.
Setelah kopi itu diseduh, dia duduk di seberang meja. Jarak kami lebih dari satu meter, tapi rasanya seperti hanya sejengkal. Uap dari cangkir menyelimuti wajahnya samar-samar. Tapi tak mampu menyamarkan mata yang terus menghindar itu.
Aku mendongak.
“Kopi hitam? Masih sama kayak dulu?”
Dia mengangguk. “Nggak pernah berubah.”
Aku mengaduk sendiriku pelan. “Banyak hal yang berubah... selain kopi.”
Dia menatapku. Lama. Tapi kali ini tidak menghindar.
“Aku tau kamu marah waktu tahu aku tiba-tiba nginep di sini. Aku juga sebenernya… nggak nyaman awalnya,” ucapku pelan.
Dia tidak menjawab. Tapi gerakan jarinya yang menggenggam cangkir mengencang.
Aku lanjut, suaraku masih pelan. “Tapi sekarang... aku malah takut pulang ke Bandung.”
“Kenapa?”
“Karena di sini... aku bisa jadi diri sendiri.”
Tatapan itu datang lagi. Kali ini tajam, dalam, dan... basah.
“Dan... siapa ‘diri kamu’ itu, Silvy?”
Aku menahan napas. Tubuhku otomatis menegang. Tapi aku tidak mundur. Justru aku mencondongkan tubuh ke depan sedikit.
“Perempuan... yang tahu persis cara membuatmu gugup.”
Dan itu membuatnya membeku.
Jari-jarinya yang semula masih sibuk dengan cangkir, kini terdiam di atas meja. Pandangannya tetap menempel di wajahku. Tapi bukan lagi penuh pertahanan. Justru seperti temboknya retak.
Sangat pelan, aku berdiri.
Berjalan memutar meja, lalu berdiri di belakang kursinya.
Tanganku menyentuh pundaknya. Bahunya mengeras.
“Tapi kamu nggak perlu takut,” bisikku dari belakang. Nafasku nyaris menyentuh telinganya. “Aku nggak bakal ganggu kamu... kalau kamu benar-benar nggak mau.”
Tanganku turun sedikit, ke sisi lehernya.
Tapi dia tidak menarik diri.
Dan dalam hening yang panas itu, aku bisa mendengar suara detak jantungnya. Bukan dari dada. Tapi dari kulit yang kutyanyai langsung.
“Apa kamu mau aku berhenti?” tanyaku.
Dia menelan ludah. “Aku... nggak tahu.”
Aku mendekat lagi. Sekarang bibirku hanya beberapa senti dari kulit lehernya.
“Berarti... masih ada kemungkinan?”
Dia berdiri tiba-tiba. Kursinya bergeser.
Tapi yang mengejutkan... dia tidak pergi.
Dia justru membalikkan tubuh, dan kini berdiri sangat dekat. Sangat dekat, hingga aku harus mendongak sedikit.
Matanya merah. Tapi bukan karena sedih. Tapi karena penuh… rasa yang dia simpan terlalu lama.
“Kamu pikir kamu bisa main api, Silvy?”
Aku tersenyum. “Mungkin.”
Dia menghela napas berat, menunduk, mendekat—dan aku hampir tidak bisa bernapas.
“Tapi aku bukan api biasa,” bisiknya. “Aku bisa membakar... sampai kamu lupa jalan pulang.”
Dan di detik itu, aku justru ingin hilang.
Asal yang membakar itu...
adalah dia.
Setelah ucapannya itu, suasana jadi sunyi. Tapi bukan sunyi biasa. Ini sunyi yang berat—yang membuat napas terasa terlalu keras, terlalu jujur, terlalu telanjang.
Aku berdiri di hadapannya.
Dan dia... masih menatapku seperti aku bukan adik tirinya, tapi sesuatu yang sudah lama ditahan, disangkal, dan kini muncul di depan mata dalam wujud paling berbahaya.
Aku mundur setengah langkah.
Tapi dia maju satu langkah.
Tangannya menyentuh pinggangku, tak sengaja, tapi tak juga ditarik.
Aku tidak bicara. Bibirku kering. Tapi mataku tidak berpaling. Nafasnya turun naik, dan dada kami hampir bersentuhan karena jarak ini terlalu pendek.
“Silvy,” suaranya rendah. Pelan. Tapi seperti gemuruh di dada.
“Hmm?”
“Kamu harus berhenti sebelum aku...”
“Sebelum kamu apa?”
Mataku menantang. Tapi tubuhku... gemetar.
“Sebelum aku kehilangan semua alasan untuk nggak nyentuh kamu.”
Jantungku langsung memukul rusuk dari dalam.
Dan aku... justru tersenyum kecil.
Aku pegang tangannya. Lalu kutaruh di pinggulku.
Dia membeku.
“Kalau kamu kehilangan alasan,” bisikku, “aku juga kehilangan logika.”
Tangan itu menggenggamku kuat. Tidak kasar. Tapi penuh pengakuan. Seolah selama ini dia menahan, dan sekarang... pertahanan itu tak lagi punya arti.
Dan saat dia menarikku pelan ke pelukannya, tubuhku menempel sempurna ke tubuhnya. Tidak ada jarak.
Tangannya naik ke punggungku. Bibirnya nyaris menyentuh pelipisku.
Napas kami menyatu. Aku bisa mencium wangi sabun dan kopi di tubuhnya. Dan jantungku... rasanya seperti diledakkan dari dalam.
“Aku takut nyakitin kamu,” bisiknya.
“Kenapa?”
“Karena aku bukan cowok baik. Aku bukan yang bisa nahan hasrat kalau udah kayak gini.”
Aku menarik wajahku ke arah wajahnya. Hanya sedetik. Hanya untuk menatap langsung ke matanya yang terbakar.
“Kamu pikir aku gadis kecil?”
Dia diam.
Aku lebih dekat lagi. Bibir kami nyaris bersentuhan.
“Terserah kamu mau jadi baik atau nggak, Tan. Yang penting... jangan jadi pengecut.”
Dan dalam detik itu, dia menyerah.
Saat dia menciumku, dunia berhenti bicara.
Yang bersuara cuma tubuh.
Dan malam... belum siap menghakimi.
Ciumannya tidak langsung liar. Justru sebaliknya. Pelan. Terlalu pelan… sampai tubuhku bergetar karena harapan yang menggantung terlalu lama.
Bibirmu menyentuhku seperti menyentuh rahasia yang selama ini disembunyikan dalam doa. Ragu, tapi mendalam. Hangat, tapi mengiris. Ciuman itu terasa... seperti pertama kali aku diinginkan bukan sebagai anak, bukan sebagai adik. Tapi sebagai perempuan.
Dan aku menerima semuanya.
Tangannya naik ke sisi wajahku. Jempolnya mengusap pelipisku. Tubuh kami masih saling menempel. Dan waktu seperti melar… menjadi genangan hasrat yang tak bisa dihindari.
Aku tidak ingin ciuman itu berhenti. Tapi lebih dari itu, aku tidak ingin jadi satu-satunya yang terbakar.
Tanganku bergerak ke belakang lehernya, menariknya lebih dekat. Nafasnya berubah. Lebih berat. Lebih terdengar.
Dia menempelkan keningnya ke keningku.
“Kamu nggak sadar, kan... betapa kamu bikin aku kehilangan kontrol?”
Aku menggeleng. Tapi senyumku mengembang. “Kamu juga nggak sadar... aku sengaja bikin kamu kayak gitu.”
Dia menatapku, heran. Lalu tertawa kecil. Tapi tawanya gelap. Serius.
“Brengsek kamu, Vy.”
“Tau.”
Tangan kami mulai bergerak sendiri. Bahu. Leher. Pinggang. Setiap inci yang disentuh… menyalakan api kecil yang sulit dipadamkan.
Dan saat dia membawaku mundur, menyentuh dinding ruang makan yang dingin, aku tak melawan. Justru aku merapat.
Kening kami masih saling bersentuhan.
Tangan kanannya menempel di tembok, menjepit tubuhku. Tangan kirinya ada di pinggangku. Nafasnya membasahi pipiku. Lalu turun ke leher.
“Aku masih bisa berhenti sekarang,” katanya, hampir tak terdengar.
Aku menjawab tanpa suara. Hanya menarik pinggulnya sedikit lebih dekat dengan ujung jariku.
Dan dia mengerti jawabannya.
Leherku disentuh. Disium. Dihirup. Dicicip pelan-pelan seperti dia takut membuatku hancur… tapi terlalu ingin membuatku meleleh.
Tubuhku merespons. Tidak dengan jerit. Tapi dengan lengkungan punggung. Dengan embusan napas tertahan.
Dan saat ujung jarinya menyusup di bawah kausku…
Aku tidak menghentikan.
Tidak sedikit pun.
Aku bukan gadis yang polos.
Aku bukan perempuan baik-baik.
Aku hanya... adik tirimu.
Yang malam ini, rela terbakar... asal bersamamu.
Kami tidak bicara.
Hanya suara napas yang saling bersahutan. Peluh kami menyatu di udara yang makin pengap. Tubuh kami belum sepenuhnya menjauh. Tapi dunia seakan sudah berubah dari yang barusan terjadi.
Tangannya masih di pinggangku. Sementara tanganku masih menggenggam sisi bajunya.
Tapi kali ini, kami saling memandangi… bukan dengan nafsu, tapi semacam kekagetan. Antara, “benarkah barusan terjadi?” dan “kenapa... terasa terlalu mudah?”
Aku mundur satu langkah. Perlahan. Tapi mataku masih terkunci di matanya.
Dia juga diam.
Sesekali, dia mencoba mengatur napas. Tapi tidak berhasil. Matanya merah, bukan karena marah… tapi karena ketakutan yang datang terlambat.
Aku menyentuh dadaku. Jantungku belum normal.
Dan jujur saja... aku tidak ingin ia normal.
“Maaf,” katanya pelan.
Aku mengangkat alis. “Kenapa harus minta maaf?”
Dia tidak menjawab.
Lalu aku mendekat lagi. Tidak menempel, hanya cukup untuk bicara pelan.
“Kamu pikir aku nyesel?”
Dia menggeleng.
“Justru itu yang aku takutin.”
Aku menggigit bibir. “Tan... kamu takut, aku ketagihan?”
Dia menatapku—panik, serius, dan bingung sekaligus.
Aku tersenyum kecil.
“Telat,” bisikku. “Aku udah ketagihan dari kamu belum nyentuh aku.”
Dia tertawa kecil. Tapi pahit.
“Aku nggak tahu... harus bagaimana mulai besok.”
“Apa kamu pengen pura-pura nggak terjadi?”
Dia tak menjawab.
“Kalau iya... aku bisa bantu. Tapi aku nggak janji bakal sepenuhnya berhenti jadi perempuan yang menggoda kamu.”
Dia menatapku. Lama.
Lalu tanpa berkata apa pun, dia melangkah ke kamarnya. Meninggalkanku berdiri sendiri, dengan napas yang masih panas dan kaki yang masih gemetar.
Aku tidak mengejarnya.
Aku juga tidak menyesal.
Aku hanya... mulai paham satu hal:
Kami baru saja membuka pintu yang tak bisa ditutup lagi.
Malam ini, aku bukan adik tirinya.
Dan dia... bukan laki-laki yang bisa lari selamanya.
Entah besok kami saling membenci...
atau saling ketagihan.
