Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Celah Yang Kubuka Sendiri

Pagi itu, aku duduk di meja makan yang sepi. Piring kosong, roti tawar dua lembar, dan selai kacang yang sudah mengering di pinggiran toples. Aku menggigit tanpa selera. Perutku kosong, tapi pikiranku lebih lapar dari sebelumnya.

Langkah kaki terdengar dari lorong. Aku tidak menoleh, tapi telingaku berdiri.

Dia lewat. Diam. Kaos putih tipis, celana pendek rumah, rambut masih basah setelah mandi. Wangi sabunnya seperti menampar dari jauh. Aku tahu, tanpa perlu menoleh, dia pasti tidak sadar… tubuhnya segarang itu di pagi hari.

Aku mencuri pandang. Dia membuka kulkas, mengangkat botol air, meneguk langsung.

Lehernya menegang saat menelan, dan aku bisa melihat urat halus bergerak di tenggorokannya. Mataku tak mau berpaling. Tanganku masih di atas meja, jari-jari mengusap permukaan gelas kosong.

Tubuhku panas.

Dia menoleh. “Sarapan cuma itu?”

Aku tersentak pelan, lalu mengangguk. “Lagi nggak lapar.”

Dia tidak bicara lagi. Hanya membuka lemari, mengambil kopi instan, dan menuang air panas ke dalam cangkir. Gerakannya lambat, biasa saja. Tapi entah kenapa... di mataku, itu seperti adegan film slow-motion yang terlalu vulgar untuk jam segini.

Lalu dia duduk. Di seberangku. Cangkirnya mengepul. Matanya menatap lurus ke arahku.

Aku mencoba menghindar. Tapi… aku terlalu sadar sedang dinilai. Bukan sebagai adik. Tapi sebagai perempuan.

“Ada yang aneh sama kamu sejak tadi malam,” katanya tiba-tiba.

Aku terdiam. Napas tercekat. “A-aneh gimana?”

Dia mengangkat bahu, menyesap kopi. “Entah. Rasanya... kamu beda. Dulu nggak kayak gini.”

Aku tertawa hambar, mencoba ringan. “Kita juga dulu jarang ketemu.”

“Iya. Tapi tetap kerasa beda. Kamu sekarang lebih... dewasa.”

Mataku menatapnya. Dan detik itu juga, aku merasa kalimat itu bukan pujian. Tapi juga bukan tuduhan. Sesuatu yang menggantung. Menggoda.

Aku berdiri. Tanganku reflek mengambil toples selai kacang, dan saat aku menyodorkannya ke arahnya, jari kami bersentuhan.

Ringan. Tapi cukup untuk menyetrum. Dia menatapku. Aku menatap balik.

Udara menebal.

Dan sialnya... aku tidak menarik tanganku.

Jarinya kaku di bawah tanganku yang masih menggenggam tutup toples. Tapi dia tidak bergerak. Tidak menolak. Hanya diam. Mata kami masih terkunci. Nafasku tak lagi pelan.

Tanganku gemetar. Tapi tetap menahan posisinya.

Lalu aku sadar.

Ini aku yang memulai.

Aku yang menantang.

Dia hanya duduk, tapi tubuhku sudah menyodorkan godaan.

Aku buru-buru menarik tangan, mundur satu langkah. “Maaf,” kataku pelan.

Dia hanya mengangguk, pelan, tapi matanya belum sepenuhnya lepas dariku. Bahkan saat aku berpura-pura kembali duduk, sisa panas dari sentuhan itu masih menempel di kulitku.

Dalam kepalaku, ribuan alarm berbunyi. Tapi tubuhku… masih menunggu kesempatan berikutnya.

Dan aku tidak tahu, apakah itu artinya aku gila.

Atau… memang sejak awal aku yang haus, dan hanya butuh seseorang untuk menampungnya.

Aku pikir aku aman karena dia diam. Tapi ternyata, diamnya lebih berbahaya dari seribu godaan.

Kamar ini terlalu sempit untuk menenangkan pikiranku. Dindingnya diam, tapi setiap pantulan bayangan di cermin seakan menggoda: aku yang duduk bersandar, kaki naik ke ranjang, tanktop tipis menempel sempurna di lekuk tubuhku. Ini bukan tentang baju. Ini tentang aku yang mulai melihat diriku... dengan mata dia.

Dan itu yang menakutkan.

Tanganku naik ke leher, lalu turun pelan ke dada. Nafasku tidak stabil. Udara siang mulai masuk dari jendela yang sedikit terbuka, dan aku bisa mencium wangi sisa sabun dari kamar mandi tadi. Sabun yang dipakai dia.

Aroma itu seperti sisa napas yang tidak selesai. Mengambang. Menyerbu masuk ke pori-pori. Dan aku... tidak mengusirnya.

Kupikir ini hanya fase. Tapi tubuhku membuktikan sebaliknya. Payudaraku mulai mengeras, dan setiap kali kain menyentuhnya, ada sensasi geli yang menyusup ke bawah perut. Sensasi yang asing. Tapi aku tidak bisa menolak.

Aku terdiam cukup lama. Lalu bangkit perlahan dari kasur. Langkahku pelan ke arah meja rias kecil yang berdiri di sudut ruangan. Aku duduk, memperhatikan bayanganku sendiri. Kulitku sedikit berkeringat. Pipi merah. Bibirku menggigit bibir bawah. Dan mataku... bukan mata gadis polos yang baru lulus SMA.

Mataku... mulai berani.

Tanganku meraih sisir, lalu mulai menyisir pelan rambut yang masih sedikit basah. Tapi gerakanku bukan sekadar merapikan. Aku sedang... menata cara pandang. Menyesuaikan diri dengan sesuatu yang lebih liar dari yang kupikirkan sebelumnya.

Dari luar, samar terdengar suara pintu kamar terbuka. Aku menahan napas. Lalu langkah kaki berat bergerak ke dapur. Denting gelas. Gemericik air. Dia pasti sedang minum.

Dan untuk alasan yang tidak masuk akal... aku berdiri, lalu membuka pintu kamar sedikit. Hanya sedikit. Cukup agar cahaya dari lorong masuk, dan cukup agar... siapa pun yang lewat bisa melihat ke dalam.

Tanktopku sudah kupasang ulang. Tapi celana pendekku sengaja tidak kuperbaiki posisinya yang sedikit naik, memperlihatkan pangkal paha. Rambutku kubiarkan jatuh ke satu sisi leher.

Aku berdiri dekat meja kecil, seolah sedang mencari sesuatu. Tapi gerakanku lambat. Mataku sesekali melirik ke luar. Jantungku memukul tulang rusuk, tapi aku tidak mundur.

Langkah kaki mendekat.

Aku menahan napas.

Dan saat dia lewat, matanya menangkapku sekilas. Dia berhenti. Sedetik. Mungkin dua.

Aku tidak bicara. Dia pun tidak. Tapi sorot itu... aku bisa rasakan seperti sentuhan. Ujung jari mata yang menyisir kulitku perlahan. Dan mungkin... dia sadar.

Aku sedang memancing.

Tapi bukan dengan kata. Bukan dengan aksi frontal. Aku memancing dengan gerak pelan. Dengan celah pintu yang kubuka sendiri.

Lalu dia berjalan lagi. Tidak berkata apa-apa.

Tapi saat aku kembali duduk di kasur, napasku masih belum tenang. Ujung jariku gemetar, dan aku bisa merasakan panas menjalar dari leher ke paha.

Sial. Aku suka ini. Aku suka sensasi menunggu. Suka sensasi hampir ketahuan. Suka sensasi jadi perempuan yang... dilihat.

Dan aku tahu, sebentar lagi aku pasti kelewatan batas.

Tapi aku belum ingin berhenti.

Kadang yang paling menggoda bukanlah yang disentuh. Tapi yang hanya dilihat... dari celah pintu yang kubuka sendiri.

Siang mulai condong ke sore. Udara Jakarta perlahan berubah lembap. Di luar, suara motor dan tukang sayur bersahutan. Tapi di dalam rumah ini, semuanya tenang. Terlalu tenang.

Aku sedang duduk di sofa ruang tengah, nonton acara random di TV, padahal pikiranku nggak fokus ke layar. Mataku sesekali melirik jam. Tanganku mainan rambut. Celana pendekku makin naik karena aku duduk melipat kaki.

Sampai akhirnya dia muncul, dengan T-shirt gelap yang menggantung longgar dan celana pendek kasual.

“Kamu nggak keluar-keluar dari tadi?” tanyanya sambil berjalan ke arah kulkas kecil di pojok ruangan.

Aku mengangkat bahu. “Mager. Lagi males aja.”

“Tumben kamu diem.” Dia mengambil sebotol air dan duduk di ujung sofa. Masih di sofa yang sama. Masih satu ruangan. Dan jarak kami sekarang... hanya satu guling.

“Kamu kayak lagi mikirin sesuatu,” lanjutnya.

Aku menoleh pelan. “Emang kelihatan?”

Dia menyesap air, lalu menatapku sebentar. “Keliatan dari cara kamu mainin rambut. Kamu cuma ngelakuin itu kalau lagi bingung atau ada yang ditahan.”

Aku diam. Dia... memperhatikanku sejauh itu?

“Gitu ya?” Aku tertawa kecil, agak canggung. “Padahal aku kira udah jago nyembunyiin ekspresi.”

“Belum cukup jago,” katanya ringan.

Hening sebentar. Aku menatap TV, dia menatap lantai. Tapi udara di antara kami seperti magnet. Tarik-menarik tanpa suara.

“Aku belum tanya,” dia membuka lagi obrolan, “kenapa kamu bisa betah di sini? Rumah ini kan tua, sepi. Bandingkan sama rumah di Bandung…”

Aku berpikir sebentar. “Karena di sini… rasanya beda. Mungkin karena ini rumah Papa kamu yang dulu… dan sekarang jadi tempat persinggahan sementara buat aku juga.”

“Rumah ini udah lama kosong,” ujarnya. “Aku juga baru mulai sering ke sini lagi beberapa bulan terakhir. Banyak kenangan sih…”

Matanya menerawang. Dan aku terdiam, membiarkannya melanjutkan.

“…dulu, waktu kecil, aku suka main layangan sama Papa di halaman belakang. Ibu sering masak sore-sore. Tapi semua berubah sejak beliau nikah lagi. Aku nggak pernah benar-benar cocok sama suaminya. Makanya aku pisah, hidup sendiri.”

Aku menggigit bibir. “Terus… waktu tahu Ibu kamu nikah sama Papa aku… kamu marah?”

Dia menoleh. “Nggak marah. Cuma… nggak ngerti aja. Dunia mereka nyatu, tapi kita—anak-anaknya—nggak saling kenal.”

Aku tersenyum kecil. “Dan sekarang kita serumah.”

“Dan kamu...” Matanya turun sebentar ke arah kakiku yang masih terlipat. “…nggak kayak adik kecil yang dulu aku bayangin.”

Tubuhku langsung panas. “Maksudnya?”

Dia memalingkan pandangan. “Udah, lupakan.”

Aku duduk tegak, lalu mencondongkan badan sedikit ke arahnya. “Nggak. Aku pengen tahu.”

Dia menatapku sekarang. Mata itu dalam. Sedikit gelisah.

“Kamu tahu sendiri. Kamu bukan anak kecil. Dan kamu… terlalu nyaman pakai baju seenaknya.”

Aku terdiam. Nafasku sempat tercekat.

“Bukan berarti aku ngelarang,” lanjutnya. “Cuma… kamu harus sadar. Di rumah ini cuma ada kita berdua. Dan… aku laki-laki.”

Perutku seperti diremas. Bukan karena takut. Tapi karena degupnya terlalu kencang.

“Kamu terganggu?” tanyaku, pelan.

Dia menjawab setelah jeda. “Harusnya nggak. Tapi kadang... iya.”

Aku tersenyum kecil. Bukan sinis. Tapi semacam... rasa puas yang pelan-pelan tumbuh dari dalam.

Aku mengganti posisi duduk. Kaki kuturunkan, lalu bersandar ke sofa, menatapnya lebih langsung.

“Maaf,” kataku akhirnya. “Kadang aku nggak sadar.”

Dia menatapku sebentar. “Justru itu masalahnya, Silvy. Kamu nggak sadar... dan itu yang paling bahaya.”

Kata-katanya nyangkut di kepalaku. Bukan karena ancaman… tapi karena dia belum tahu: aku juga belum sadar, sampai tubuhku terus menuntun lebih dulu dari pikiranku.

Setelah percakapan tadi, rumah ini seperti punya suara baru. Bukan dari TV, bukan dari luar jendela. Tapi dari dalam kepala. Suara-suara itu berisik. Teriakan halus yang menuntut aku memilih: berhenti atau terus melangkah dalam arah yang bahkan belum bisa kujelaskan ke diriku sendiri.

Aku berbaring di kasur, tapi tidak tidur. Pintu kamarku tidak kututup rapat. Sedikit terbuka, seolah menunggu angin... atau seseorang. Dan seperti dugaan, langkah kaki itu datang lagi. Berat, pelan, mendekat.

Aku tahu dia belum tidur.

Aku tahu dia sedang berpikir.

Dan mungkin... sedang mengingat bentuk tubuhku seperti yang kulihat di matanya siang tadi.

Pintu kamarnya menutup. Tapi sebelumnya—aku yakin—dia menoleh ke celah pintu kamarku. Pandangannya mungkin sebentar. Tapi cukup untuk menyalakan ulang api di dalam diriku.

Sialnya, aku tidak merasa bersalah.

Tanganku naik ke dada, lalu turun ke perut. Nafasku mulai tak beraturan. Dalam diam, aku membayangkan… bagaimana jika dia membuka pintu ini pelan, lalu masuk, dan berdiri di ujung tempat tidurku?

Bahkan membayangkan saja sudah membuat tubuhku mengejang pelan.

Aku menggigit bibir. Ujung jari menyentuh kulit sendiri, lembut dan hati-hati. Tapi bukan kelembutan yang kutunggu. Aku ingin sentuhan yang nyata. Yang berat. Yang membuktikan bahwa aku memang bisa menggoda.

Bahwa aku cukup perempuan untuk membuatnya... kehilangan kendali.

Kupeluk bantal erat-erat, kaki kutekuk, dan dalam gelap aku bergumam, lirih tapi jelas:

“Aku nggak sadar, katanya…”

Tapi itu bohong.

Aku sadar. Dan aku melakukannya dengan sengaja.

Aku tidak lagi mencari batas.

Aku mulai menikmati saat-saat ketika batas itu… perlahan kupatahkan sendiri.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel