Bab 1 Datang Tanpa Permisi - 2
Langkahku pelan menyusuri lorong. Rumah ini gelap, hanya ada cahaya redup dari lampu gantung. Aku mengendap seperti maling, padahal ini rumahku juga sekarang, setidaknya untuk sementara.
Begitu tiba di dapur, kulihat ada mug bekas kopi di meja. Masih ada uap tipis. Dia masih bangun? Mungkin di kamar. Atau...
Samar-samar terdengar suara pintu dibuka. Aku kaku. Langkah pelan terdengar mendekat. Aku nyaris tidak bergerak.
Sampai dia muncul di ambang dapur. Kaosnya hitam, celananya masih sama. Rambutnya kering tapi tetap acak-acakan. Matanya menatapku. Kaget. Tapi tidak bicara.
Dan aku… lagi-lagi hanya bisa berdiri.
"Belum tidur?" suaranya dalam, agak berat karena ngantuk.
"Eh... iya. Haus." Aku mengangkat gelas plastik transparan di tanganku, berusaha terlihat santai, padahal tubuhku tegang seperti busur.
Dia berjalan melewatiku. Wangi tubuhnya seperti sabun dan udara malam. Dan saat dia membuka kulkas, aku menangkap bentuk lengannya yang kuat dari samping. Otot itu tidak besar, tapi kencang. Pria yang tidak ke gym, tapi hidupnya keras. Mataku menelusuri garis urat di pergelangan tangannya. Dan detik itu juga aku tahu… aku lagi-lagi salah tempat.
Mataku menatapnya terlalu lama. Aku sadar. Dan saat dia menoleh sambil meminum air langsung dari botol… aku merasa bodoh karena membayangkan terlalu banyak hal hanya dari gerakan itu.
"Kamu nggak bawa jaket ya?" tanyanya tiba-tiba, tanpa menatap langsung.
Aku gelagapan. "Enggak... nggak kepikiran. Di Bandung nggak sedingin ini."
Dia mengangguk. "Besok aku cariin di lemari Ibu. Dulu banyak jaket."
Aku membalas dengan senyum canggung. "Makasih, Kak."
Dia meletakkan botol, lalu berjalan lagi. Tapi sebelum benar-benar keluar dari dapur, dia berhenti sejenak. Hanya beberapa detik.
Matanya turun lagi. Kali ini tanpa buru-buru naik. Aku tahu dia memperhatikan sesuatu. Entah lekuk dadaku, entah cara tanktop ini mulai menempel karena udara malam. Tapi dia hanya berdeham pelan, lalu menghilang ke lorong.
Dan aku berdiri sendiri, gemetar.
Bukan karena takut. Tapi karena tubuhku... terasa makin panas.
Aku berjalan kembali ke kamar. Tapi sebelum menutup pintu, aku menoleh ke arah lorong tempat dia menghilang.
Aku tahu ini salah. Aku tahu ini berbahaya. Tapi tubuhku seakan ingin terus memancing.
Dan aku belum tahu… sampai di mana aku bisa mengendalikan diriku sendiri.
Seharusnya aku tidur. Tapi nyatanya, aku hanya berguling, berganti posisi, lalu membenamkan wajah ke bantal yang sama hangatnya dengan pipiku.
Tapi bukan karena suhu kamar.
Pikiran ini... terlalu gaduh.
Tubuh ini... terlalu sadar.
Bukan tentang kota. Bukan soal kamar. Ini tentang dia. Tentang cara dia menatapku diam-diam. Tentang napasnya yang lewat begitu dekat saat di dapur. Tentang suara beratnya yang pelan tapi masuk terlalu dalam.
Dan aku mulai mempertanyakan diri sendiri—kenapa aku begitu peka dengan keberadaannya? Kenapa aku bisa merasa... geli hanya karena mengingat suara langkah kakinya di lorong?
Aku memejamkan mata, berharap gelap bisa membantu, tapi justru bayangannya muncul semakin nyata.
Kaos tipis yang menggantung di tubuhnya. Otot-otot lengannya yang tegas saat dia membuka kulkas. Mata tajam yang turun ke dadaku, dan… tidak buru-buru kembali.
Tanganku bergerak gelisah di atas perut sendiri. Perasaan aneh dari tadi belum juga reda. Seperti ada percikan kecil yang menari-nari di bawah kulit. Sentuhan yang bahkan belum terjadi, tapi tubuhku sudah bereaksi.
Gila. Apa aku sebegitu parahnya?
Apa karena aku belum pernah tinggal serumah dengan laki-laki?
Atau karena dia?
Septian. Kakak tiriku yang jelas-jelas bukan saudara darah. Lelaki yang entah kenapa… selalu diam, tapi justru itu yang bikin aku ingin tahu lebih banyak.
Aku memutar badan menghadap dinding. Tanganku menggenggam bantal. Kaki kutekuk pelan. Tapi jantungku belum juga tenang.
Aku mencoba bernapas dalam. Tapi di udara yang kuhirup, seolah masih tersisa aromanya. Dan itu bikin aku kesulitan membedakan mana yang harus dijaga... dan mana yang diam-diam sudah goyah.
Malam ini panjang. Tapi yang lebih panjang adalah pergulatan di dalam diriku sendiri.
Dan yang kutakutkan... aku tidak ingin melawannya terlalu lama.
Aku terbangun karena suara langkah. Tidak keras, tapi cukup jelas untuk membuat tubuhku refleks menegang.
Jam menunjukkan pukul dua lewat. Lampu kamarku sudah kupadamkan sejak lama. Tapi aku tahu… dia masih terjaga.
Langkah itu berhenti tepat di depan kamarku. Tak ada suara. Hanya diam yang membuat jantungku berdetak lebih cepat dari seharusnya.
Tanganku menggenggam selimut erat-erat. Aku tidak tahu kenapa. Tapi tubuhku merespons lebih dulu sebelum pikiranku sempat menyusul.
Ada jeda. Lalu suara engsel pintu kayu, entah dari kamarnya atau… entahlah. Tapi kemudian… hening lagi.
Aku menarik napas pelan, tapi dada terasa sesak. Seolah udara malam ini membawa sesuatu lebih dari sekadar dingin.
Pakaianku lengket lagi, entah karena keringat, atau karena tubuhku yang terlalu waspada. Tanktopku terangkat sedikit karena posisi tidurku yang miring. Selimut menyibak sebagian pahaku yang menggantung dari kasur. Aku sadar… tubuhku terbuka. Tapi anehnya, aku tidak buru-buru menutupnya.
Ada rasa yang sulit dijelaskan. Antara takut, malu, dan… antisipasi.
Seperti… aku berharap ada mata yang sedang melihatku dari balik celah pintu. Mata yang diam-diam menelusuri lekuk punggungku. Mata yang menahan dosa.
Aku membayangkan napasnya menyentuh leherku dari belakang. Jari-jari besarnya menggenggam pinggulku pelan. Sentuhan samar yang bahkan belum terjadi itu saja sudah membuat tubuhku menggeliat gelisah di atas kasur.
Pipiku panas. Napasku berat. Dan saat kupejamkan mata, bayangannya makin nyata.
Bahu lebarnya. Dada keras itu. Cara dia diam tapi dalam. Bahkan suara seraknya—semuanya mengendap di bawah kulitku.
Aku menggeser paha pelan, bergesekan dengan seprai. Tubuhku tersentak oleh sensasi kecil itu.
Aku membeku.
Apakah ini normal?
Apakah wajar seorang adik tiri merasa seperti ini terhadap kakak tirinya?
Aku menggigit bibir. Menahan desir aneh yang mulai melingkupi tubuhku. Tapi bukan untuk menghentikan… hanya untuk memperlambat.
Karena… aku ingin rasa ini bertahan sedikit lebih lama.
Sampai akhirnya aku tertidur. Masih dengan napas yang tak teratur. Masih dengan tubuh yang belum tenang.
Dan di luar kamar, entah kenapa… aku merasa dia pun belum tidur.
Seolah napasnya masih tersisa di lorong. Mengendap. Membekas di udara. Dan meresap perlahan ke dalam mimpiku.
Dan di dalam mimpi itu… dia menyentuhku.
Bukan sebagai kakak. Tapi sebagai laki-laki.
Dan aku… membiarkannya.
