Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 Datang Tanpa Permisi - 1

Jakarta. Panasnya selalu berlebihan, bahkan ketika matahari belum benar-benar naik tinggi. Aku turun dari mobil travel dengan napas menggantung, keringat sudah mulai membasahi punggung meski baru beberapa langkah.

Tas besar kuangkat ke pundak, lalu pandanganku jatuh pada rumah tua itu—catnya kusam, pekarangannya dipenuhi tanaman liar, dan satu hal yang langsung membuat jantungku berdebar… rumah itu terlalu sepi.

Di situlah dia tinggal. Septian. Kakak tiriku. Lelaki yang katanya suka menyendiri, jarang keluar rumah, dan—dalam kata Mama—“sedikit keras kepala.”

Aku belum pernah tinggal satu atap dengannya. Bahkan nyaris tidak kenal. Kami baru bersinggungan lima tahun lalu, saat Mama menikah dengan ayahnya, dan setelah itu... nihil. Tapi sekarang aku akan tinggal di sini. Sementara. Sampai dapat tempat kos.

Kupencet bel. Satu detik. Dua detik. Tidak ada sahutan. Aku menggigit bibir bawah, menimbang untuk mengetuk saja. Dan saat ujung jariku menyentuh kayu pintu, suara kunci berputar dari dalam membuatku refleks mundur selangkah.

Lalu pintu terbuka.

Mataku langsung membeku. Dia berdiri di ambang pintu dengan handuk putih tergantung asal di leher. Rambutnya basah, air masih menetes di dada bidang yang terbuka lebar. Kulitnya kecokelatan, perutnya… oh, Tuhan… perutnya kencang dan jelas terlihat. Celana training yang ia kenakan longgar, tapi menggantung rendah di pinggul. Sangat rendah.

"Silvy?" suaranya serak, agak berat. Dia tampak kebingungan. Matanya menelusuri wajahku, lalu turun sekilas sebelum buru-buru kembali naik.

Aku menelan ludah. "Iya, Kak... Aku... disuruh Mama tinggal di sini dulu. Numpang sebentar. Katanya belum dapat kosan."

Dia diam sebentar, lalu mengangguk pelan. "Masuk aja."

Langkahku terasa canggung saat melewati ambang pintu. Bau sabun dari tubuhnya masih segar di udara, bercampur dengan aroma kopi basi dari dapur. Ruangan itu gelap, hanya cahaya samar dari jendela yang mengisi lorong.

Rumah ini punya suasana aneh. Dingin. Tapi juga sunyi dengan cara yang membuat tubuhku waspada. Setiap langkah terasa seperti terlalu keras, terlalu nyata.

"Kamar di ujung. Sebelah kanan. Dulu gudang, tapi udah dibersihin." katanya singkat, sebelum kembali melangkah ke dalam, membiarkan pintu terbuka setengah.

Aku mengangguk dan mengikuti arah yang ia tunjuk. Kakiku sempat tersandung karpet, dan tanganku refleks memegang kusen pintu. Di ujung lorong, sebuah kamar kecil dengan kasur single dan satu jendela terbuka menungguku.

Aku menaruh tas di lantai dan duduk di pinggir kasur, menarik napas panjang. Pakaian di tubuhku sudah mulai lengket. Tanktop putih yang tadi terasa nyaman, kini mulai transparan terkena peluh. Celana pendekku naik ketika aku duduk, memperlihatkan sebagian paha. Aku menatap ke arah jendela, mencoba fokus ke angin yang masuk, bukan pada bayangan tubuh laki-laki bertelanjang dada yang masih terpatri di kepala.

Dia kakak tiriku. Kami tak terikat darah, tapi tetap saja… ini tidak seharusnya. Aku tahu itu.

Tapi kenapa jantungku berdetak seperti ini? Kenapa pipiku panas, padahal AC di kamar ini menyala pelan? Kenapa, saat aku memejamkan mata, bayangan dada dan suara seraknya tadi masih berputar di kepala?

Aku mengerjapkan mata dan mengacak rambut. Bukan. Ini cuma karena kaget. Belum pernah tinggal serumah dengan pria. Lagipula, aku juga belum sepenuhnya nyaman. Mungkin butuh waktu.

Tapi waktu tak bisa menyelamatkanku malam itu.

Setelah mandi dan mengganti pakaian, aku keluar kamar untuk mengambil air putih di dapur. Tanktop tipisku belum sempat kupakai ulang bra—karena kupikir, ini rumah. Sepi. Harusnya bebas.

Tapi langkahku terhenti saat kulihat dia duduk di depan laptop di ruang tengah. Cahaya dari layar menyorot wajahnya yang serius, dengan rambut masih sedikit berantakan. Dia tidak sadar aku datang—sampai matanya perlahan menengadah, dan tepat menatapku.

Detik itu, udara jadi hening. Matanya seperti menarikku dalam ruang hampa, dan aku… mati kutu.

Aku tahu dia melihatnya. Tanktop tipis. Putingku yang mungkin mulai tampak karena udara dingin. Paha terbuka. Rambutku masih sedikit basah.

Dia menoleh cepat, kembali ke layar. Tapi ada jeda kecil sebelum itu terjadi. Satu detik. Mungkin dua. Tapi cukup untuk membuat napasku tercekat.

Aku pura-pura tenang saat mengambil air di dispenser. Tapi tangan kiriku gemetar ringan. Saat aku membalikkan badan untuk kembali ke kamar, mataku sempat menangkap gerakan kecil: dia masih menatapku dari balik sudut pandang layar.

Langkahku cepat. Jantungku lebih cepat lagi. Saat kututup pintu kamar dan menyandarkan tubuh ke belakang, aku sadar satu hal…

Aku baru datang beberapa jam. Dan rumah ini… sudah mulai mengubahku.

Dan dia…

Mungkin dia pun sama terguncangnya sepertiku. Tapi kami berdua masih pura-pura tak sadar.

Tapi… sampai kapan?

Aku pikir aku bakal bisa tidur cepat malam itu. Tapi tubuhku terasa asing. Terlalu hangat, terlalu peka. Bahkan setelah berguling beberapa kali di kasur sempit ini, napasku masih belum teratur.

Tanganku menyentuh perut, mengelus pelan bagian bawah pusar yang terasa geli entah kenapa. Tanktopku naik sedikit karena gerakan itu. Udara dari jendela berhembus pelan menyapu kulitku. Dan aku gemetar. Bukan kedinginan. Tapi sesuatu yang lain.

Aku menarik selimut. Tapi tetap saja. Di balik kelopak mata, aku masih bisa melihat dada basah itu. Leher kuat itu. Tatapan mata yang sempat turun… lalu buru-buru naik. Seolah dia baru sadar kalau yang berdiri di depannya bukan sekadar adik tiri—tapi perempuan yang sudah bukan anak kecil.

Dan bodohnya, itu membuatku... senang.

Kupikir aku cuma lelah karena perjalanan. Tapi ternyata, ini jauh lebih parah.

Setiap gerakan tubuhku malam itu terasa lebih jelas. Sensitif. Bahkan saat paha kiriku menyentuh seprai, aku menggigit bibir.

Gila. Apa aku selalu seperti ini?

Atau karena tubuhku tahu… dia hanya beberapa meter dari kamarku?

Kupeluk bantal erat-erat. Satu sisi tubuhku bergesekan dengan kasur, dan aku tahu, aku tidak akan bisa tidur. Bukan karena suara, bukan karena tempat asing… tapi karena dia. Karena Septian.

Dan aku benci mengakuinya, tapi pikiranku mulai membayangkan hal-hal aneh.

Bayangan tangannya yang kasar menyentuh pinggangku. Cara dia mungkin memeluk dari belakang kalau aku berdiri di dapur terlalu lama. Napasnya yang berat menyentuh leherku. Satu tarikan tangan, dan—

Aku bangkit. Duduk di tepi kasur, menarik napas keras. Aku harus minum. Mungkin kepalaku cuma terlalu panas. Mungkin hormonku lagi nggak stabil.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel