Pustaka
Bahasa Indonesia

Gadis yang Ternoda

81.0K · Tamat
Li Na
61
Bab
4.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

“Bu, percaya Sekar, Bu. Sekar nggak sadar-“ Plak! Plakk!! Tamparan keras Ibu layangkan ke pipi, membuat pandanganku mengabur. Panas. Nyeri. Namun, lebih pedih sayatan luka di hati ....

RomansaTeenfictionDesainerKeluargaSweetMenyedihkanBaperSuspenseWanita CantikSalah Paham

Bab 1 Fitnah

“Bu, percaya Sekar, Bu. Sekar nggak sadar-“

Plak! Plakk!!

Tamparan keras Ibu layangkan ke pipi, membuat pandanganku mengabur.

Panas.

Nyeri.

Namun, lebih pedih sayatan luka di hati.

Aku nggak salah, Bu …!

.

.

.

Beberapa bulan sebelumnya ....

“Sekar, sini!” desis seorang di depan pintu kamar membuatku langsung terduduk.

Ya ampun, aku lupa kunci pintu!

“Mau apa, Bang?!” Gerak cepat kupasang kembali kerudung sekolah yang sudah kulepas tadi.

Dia maju, menarik tanganku.

“Ayo, sini!”

“Bang, jangan, Bang!” Berontak, aku berusaha melepaskan tangannya.

“Jangan apa? Ish, kamu ini, abang cuma mau dipijat. Perut kembung ini masuk angin.”

Kok maksa jadi orang!

 “Gak mau, Bang! Sekar juga capek.”

Kutahan badan di ambang pintu kamarnya, tangan kanan berpegangan kuat pada kusen pintu. Rumah ini lagi sepi. Ibu, dua kakak dan juga ipar baru akan pulang kerja setengah limaan nanti.

“Ayo!!” Bahuku kini ditarik. Badan terseret ke dalam.

“Bang, Sekar gak mau, Bang!” teriak bercampur tangisku mulai pecah. Melihat lelaki itu melepas bajunya pikiranku sudah mengira yang tidak-tidak. Apalagi kakak ipar ini cuma menyisakan boxer super pendek.

“Cih! Kamu pikir aku mau apa, hah?! Aku cuma mau minta tolong!”

Lelaki itu melempar sembarang bajunya, menyambar bantal, lalu baring tengkurap di karpet sisi ranjang.

“Tolong pijat. Tuh, minyaknya ada di meja!”

Masih terpaku di tempatku berdiri, kulirik pintu yang ditutup tapi tidak dikunci. Tak ingin buang waktu segera aku lari keluar.

“Hei! Sekar! Sekar!!”

Tak mau menoleh ke belakang aku terus lari ke luar, menuju rumah tetangga, jarak dua dari rumah kami.

“Kenapa lari, Sekar? Ada hantu kah?”

“Nggak, Kak.” Kuatur napas yang ngos-ngosan. Mengusap sisa air mata sebab ketakutan. 

Setelah sedikit tenang aku bertanya, “Mana Yandi, Kak?”

“Tuh!” Pakai mulut gadis pemilik rambut sebahu itu menunjuk.

Kudatangi cowok tinggi kurus, lagi memeluk gitar sambil sesekali menulis di kertas. Dia ini suka membuat lagu dadakan, katanya hanya buat menghibur diri sendiri, tapi lagu yang jadi menurutku bagus, mana suaranya juga khas ala-ala Afgan, Yandi sukses bikin banyak hawa jatuh hati.

“Yan, ke rumah, yuk.” Dia mendongak dengan kedua alis terangkat, lalu matanya seketika berbinar.

“Ke rumahmu?” Aku ditunjuknya dengan polpen di ujung jari.

“Iya, kayak biasa. Itu rumah pada sepi, ada Bang Jordi aja.”

“Ya udah, yuk!”

“Sekar, apa Bang Jordi ganggu kamu?” Riri, kakaknya Yandi bertanya. Mungkin curiga lihat aku lari sambil nangis tadi.

“Ng, nggak kok, Kak. Kurang nyaman aja cuma berdua di rumah.”

"Ohh."

Kami pun pamit.

Aku dan Yandi baru masuk depan pintu sudah ditegur lelaki bertato di lengan itu.

 “Ngapain ke sini?” Wajahnya tidak suka melihat Yandi bawa gitar ke rumah.

“Diundang Sekar, Bang.”

Aku langsung ke belakang lihat mata Bang Jordi mendelik.

“Awas kalau gojrang gojreng berisik. Aku lagi sakit kepala!” Pintu kamar sedikit dibanting, terdengar dariku yang lagi buatkan minuman dingin untuk Yandi.

Katanya tadi masuk angin, sekarang sakit kepala? Orang itu terasa menakutkan.

Kutaruh gelas minum di atas meja, depan Yandi.

“Yan. Kamu tetap di sini ya sampai Ibu pulang, aku mau masak dulu.”

“Yoi, santai aja. Duduk di sini aku kayaknya langsung dapat inspirasi.”

“Mantap tuh, aku doain lagunya terkenal.”

“Terkenal kalau kamu yang nyanyi.”

“Suaraku ancur, tau! Bagusan suaramu.”

“Di telingaku merdu, Sekar. Kamu aja yang nggak pede.”

“Ih, udah ah. Nanti Ibu marah kalau makanan buat malam belum mateng.”

Aku berganti pakaian rumah sebelum ke dapur.

Ya, dapur, tempat di rumah ini yang diatur Ibu sebagai tanggung jawabku. Tugas siapkan makan buat 6 orang penghuni rumah.

Ibu itu melarang anak-anak yang sudah nikah pindah dari rumah ini. Padahal mertua dua kakak perempuanku itu tinggal dalam satu kota. Ya gitulah, Ibu bilang belum puas hidup sama anak-anaknya. Mereka semua juga kelihatannya betah sih, mungkin karena Ibu suka isi celengan untuk menyambut cucu-cucunya kelak.

Kakak pertama sudah nikah tiga tahun lalu, kakak kedua baru setahun. Mereka semua bekerja, berangkat pagi, pulang menjelang gelap. Sedangkan Ibu jual kain di pasar.

Yang paling buat aku mau cepat lulus dan keluar dari rumah ini ya iparku yang di kamar itu. Bang Jordi!

Sejak berhenti dari kantornya dia kerja serabutan, lebih banyak waktu tidur-tiduran di rumah. Belum lagi sikapnya lama-lama jadi genit padaku. Sudah kuadukan itu pada kakak, malah diomeli. Ibu juga ikut marah. Mereka bilang aku mengada-ada.

"Pikiranmu aja yang kotor, Sekar. Bang Jordi itu anggap kamu adik!" Begitu sahut Kak Rana sambil mendorong kepalaku, saat aku mengadu perbuatan suaminya itu.

Untung ada tetangga juga teman kayak Yandi. Dia rela duduk di ruang tamu menjagaku kalau ada Bang Jordi di rumah. Sedikit kuceritakan padanya kalau aku takut pada iparku itu.

Yandi seumuran denganku, masih kelas 3 SMA juga, hanya beda sekolah. Dia di SMA Negeri, aku SMK ambil jurusan Tata Busana.

*

Waktu berjalan, aku mulai merasa aman karena menganggap itu mungkin hanya pikiran negatifku saja. Hingga apa yang pernah kutakutkan itu benar-benar terjadi tadi ....

Aku pulang cepat dari sekolah karena ini hari Jumat. Sempat ke rumah Yandi tapi dia sepulang sekolah akan antar kakaknya belanja. Melihat di teras tidak ada motor Bang Jordi aku merasa aman pulang sendiri, pasti rumah dalam keadaan kosong.

Usai membersihkan badan aku ke dapur, seperti biasa tugas masak biasa aku yang kerjakan.

“Ih, kenapa sih nggak mau nyala?”

Jongkok lagi aku di bawah kitchen set. Lepas, lalu pasang lagi regulator ke mulut tabung gas.

Lagi goreng ikan gas habis, ini baru dipasang tapi nggak mau nyala ….

 “Ada apa?” Tiba-tiba suara lirih ada di dekat telinga, membuatku refleks menoleh, terperanjat diri melihat wajah siapa tepat di depan muka. Hampir bersentuhan dengan mukaku!

Ouggh!!

Aku sontak berdiri, lupa kalau sedang di kolong meja tembok, atas kepalaku pun terantuk keras. Langsung berdenyut membuat mata berkunang-kunang. 

Tertunduk sejenak kuusap kepala yang berdenyut keras. Sakit!

Ya Allah … sejak kapan Bang Jordi pulang? Bukannya tadi dia keluar rumah ...?

Melihatnya masih di dekat, seperti mengendus bau tubuhku, perlahan aku mundur, beranjak bergerak terhuyung ke meja makan. 

Langkah ini tak seimbang sebab menahan sakit di pucuk kepala, kuusap-usap berharap lekas hilang sakitnya. Kurapikan letak kerudung, kain yang selalu siaga kupakai di rumah untuk menjaga pandangan ipar. Ya, itu kulakukan sejak mata Bang Jordi terlihat beda saat menatapku.

“Makanya hati-hati, gitu aja kaget. Duduk sini.”

Tak mampu tolak, dia membantuku duduk di kursi makan. Tertunduk, masih kuusap-usap kepala, berharap sakit ini cepat reda. Terasa keluar titik keringat di dahi saking sakitnya. 

 “Minum dulu, nanti juga hilang. Cuma kejedut dikit kok manja sekali.”

Ini terbentur, Bang! Bukan sekadar kejedot!

Disodorkan segelas air putih untukku. Aku menolak, tapi tangan ini digenggamkannya pada gelas.

Kutarik tangan. Mau marah, menghindar, tapi tenaga ini kalah sama rasa sakit di pucuk kepala.

 “Minum, Sekar. Nanti ada apa-apa sama kamu aku yang disalahin. Ayo minum, aku lihat dulu gasnya. Ibu pulang siang lho, kalau lambat masak kamu bisa dipukul Ibu lagi.”

Ibu memang begitu, aku salah sedikit tangannya mudah melayang. Ini tinggal goreng ikan yang sudah dibumbui, aku nambahin lauk untuk makan siang nanti. Kalau hari Jumat Ibu dan kak Rana pulang cepat, makan siang di rumah.

Tanpa sadar, karena merasai sakit campur kesal tanganku meraih gelas, menenggak minuman yang diberi Bang Jordi.

Rasanya kok aneh?

 “Nah, lihat, sudah bisa dipakai,” ujarnya sambil menyalakan kompor. 

Menoleh padanya, aku mengerjapkan mata, merasa aneh melihat lelaki itu seperti berbayang lebih dari satu.

Kenapa juga api biru itu terlihat bergoyang?

Kepala terasa ringan, tapi mata ini berat mau menutup, denyut kepala tadi pun terasa lenyap.

“Sekar ... kamu kenapa? Sini aku bantu ….” Suara Bang Jordi terdengar aneh.

 Aku menggeleng, berusaha membuka mata yang makin terasa lengket.

“Tidur aja, Sekar. Ampuh, 'kan, dikit aja ketelan kamu bakal terbang.”

Apa maksudmu, Bang?!

Tidak!

Aku harus bangun!

Tapi yang terlihat kemudian cuma gelap … mata ini tak mau membuka.

Entah berapa lama aku tertidur. Begitu bangun ada suara ramai di telinga, tubuhku juga terasa jadi rebutan.

 “Kurang aj** kamu, Sekar! Kurang aj**!!” teriak seseorang keras sambil memukulku.

“Anak tidak tahu diri!”

Tubuhku ditarik sana-sini, terasa nyeri menghujani semua bagian tubuh.

Itu suara Ibu juga kakakku ….

Ada apa …?

“Sayang, Sekar ini masuk kamarku. Kamu tau kan aku lagi gak enak badan, dia malah masuk kamar kita.”

Ucapan Bang Jordi belum kumengerti.

Rasanya aku bermimpi, tapi pukulan ini sakit ….

Sampai aku sadar kemudian, melihat diri dan pakaianku ....

Ya, Allah …!

*

“Bu, Sekar nggak salah ….” Aku terus memohon dan membela diri agar Ibu percaya. Namun, tetap saja tubuhku didorongnya. Kak Rana menyepak keras kakiku yang meringkuk di depan Ibu.

 “Sayang, sudah. Kasihan.” Lelaki bej*t itu menegur istrinya.

“Kasihan kata Abang?! Apa Abang juga suka ya, sampai mau-mau aja!”

“Kak … ini fitnah. Sekar-”

“Diam kamu!”

“Sayang, abang ini laki-laki, mana sanggup abang tolak.” Lelaki itu lagi-lagi membela diri.

“Abang sama aja! Gatal! Aku benci!” Mengentakkan kaki kakakku itu keluar kamar, sempat lempar hairdryer mengenai lenganku saat dia melewati meja rias.

Ibu masih bergeming dengan tatapan mata berkilat ke sini.

Kuusap mulut yang berdarah. Rambut panjang yang kututup selama ini sudah terurai berantakan.

“Bu ….”

 “Jangan panggil aku ibu! Kamu bukan anakku! Bukan anakku!! Perbuatanmu sangat memalukan, Sekar!!” 

Tangan yang mau menyentuh kakinya ditendang Ibu keras.

Ibu lalu keluar kamar membawa amarahnya padaku.

“Bu … percaya Sekar, Bu … tolong ....”

Sama sekali tidak disangka, setelah gagal berkali-kali menggangguku lelaki itu tega berbuat begini.

Dia bahkan menuduhku yang menggodanya ...!

Dasar manusia lak**t!!