3
Pada hari Selasa, aku diantar Pak Yono sampai terminal, dan dia menjelaskan sebaiknya aku naik angkutan apa serta lewat mana saja.
"Nanti, Mas, kalau mau pulang, bilang saya saja, nanti saya jemput. Kalau naik ojek, takutnya harganya ngegetok," kata Pak Yono.
"Enggak usah, Pak, saya balik sendiri aja," aku menolak tawarannya.
"Sudah, enggak apa-apa, Mas, santai aja, toh kita satu kampung," kata Pak Yono lagi.
"Enggak, Pak, enggak usah, saya sendiri aja," aku tidak mau kalah, harus tetap pada pendirian.
"Sudah, Mas, enggak usah sungkan, saya enggak ribet kok." Dia memperkuat penawarannya, seakan mengeluarkan Blue Eyes White Dragon.
"Tapi jadi saya yang ribet, Pak." Aku memperkokoh pertahananku, dan Pak Yono agak tersinggung dengan omonganku.
"Yah elah, Mas, kok ribet sih? Yang jemput juga saya," dia mengeluarkan jurus mulut setajam pisau.
"Bukan begitu, Pak. Masalahnya gimana saya mau hubungi Bapak?" Aku mengeluarkan kartu trap.
"Oh iya, lupa saya, Mas." Akhirnya aku memenangkan percakapan itu, dengan lifepoint sisa setengah.
"Makasih ya, Pak," sambil aku memberikan uang sepuluh ribu, dan Pak Yono balik ke kos-kosan.
Pak Yono juga dari Surabaya. Waktu tahu aku dari Surabaya, Pak Yono langsung mengajakku ngobrol pakai bahasa Jawa. Padahal, walaupun aku bertahun-tahun di Surabaya, aku tidak pernah mengerti bahasa Jawa. Aku memang agak terbelakang dalam urusan bahasa. Bahasa Inggris saja baru lancar SMA kelas 2, semester 2, bulan terakhir. Aku enggak tahu deh, waktu kecil umur berapa aku sudah bisa ngomong. Kayaknya sih terlambat. Tapi sudahlah, yang penting sekarang sudah lancar ngomong.
Tibalah aku di gedung yang punya desain modern minimalis yang terkesan mengusung tema go green. Aku lalu menuju meja resepsionis.
"Mbak, saya sudah janji dengan Pak Taufan untuk wawancara kerja."
"Oh, baik, Mas. Bisa ditunggu." Mbaknya lalu menelepon seseorang, mungkin ke bagian HRD.
"Silakan, Mas, nanti Mas naik ke lantai dua, belok kiri lurus sampai ketemu resepsionis lagi, nah, Mas bisa konfirmasi di situ."
"Oke deh, Mbak, makasih ya." Aku sedikit memperhatikan, cewek tersebut agak genit kepadaku. Dasar gadis genit. Tapi masih gadis enggak, ya? Ah, sudahlah.
Aku menuju resepsionis yang kata mbaknya tadi. Setelah mengisi beberapa hal, aku disuruh tunggu sebentar. Ketika sedang menunggu, ada seorang cewek yang keluar dari sebuah ruangan. Cantik, kulit putih, rambut panjang kecokelatan, matanya agak belo tapi terlihat sayu, mungkin tingginya sepundakku. Aku lalu melempar senyum ke dia dan dibalas dengan senyuman pula.
Wih, ada penyemangat, batinku.
Lumayan biar diterima kerja terus beli hape. Semangatku langsung terpacu berkat senyuman cewek itu. Memang rencanaku akan membeli hape kalau aku diterima kerja. Walaupun uangku berkurang, tapi setidaknya aku sudah ada pemasukan nantinya.
Tidak lama dari ruangan itu, keluarlah seorang laki-laki.
"Gavin Tedjakoesoema?" tanyanya padaku.
"Iya, Pak."
"Silakan masuk." Lalu aku masuk ke ruangan itu dan duduk di bangku.
"Nama kamu boleh Gavin, tapi masa belakangnya masih pakai ejaan lama?" Dia terkesan aneh dengan pemilihan namaku.
"Hehe, iya, Pak," kataku sambil memberi sedikit senyum.
"Saya Taufan, yang sudah menghubungi kamu. Kira-kira ada nama panggilan lain enggak buat kamu? Soalnya di kantor ini sudah ada tiga Gavin."
Hah, sudah ada tiga? Eh buset! Jangan-jangan itu kutukan kali ya. Tapi itu membuatku percaya diri bakal diterima.
"Ada, Pak. Bapak bisa panggil saya Gege."
"Oh, oke. Jadi Gege. Bisa kita mulai?"
"Bisa, Pak."
Wawancara selesai. Ketika aku mau keluar, Pak Taufan bilang, "Ge, kamu jangan balik dulu, tunggu aja sebentar!"
"Iya, baik, Pak."
Aku lalu menunggu di sofa di depan ruangan tadi. Cewek itu sudah tidak ada.
Yah, enggak bisa kenalan.
Tidak lama, cewek itu datang lagi dan duduk di dekatku. Senyumku langsung menyeruak.
Padahal aku belum berdoa, tapi doa sudah dikabulkan, ucapku pelan.
Cukup lama berdiam, akhirnya aku memberanikan diri memulai perbincangan, "Halo, Gege." Sambil menjulurkan tanganku.
"Dewi," sambil dia menyambut tanganku.
Eh buset, tangannya halus banget, jarinya lentik banget lagi. Memang sesuai dengan namanya, kayak Dewi. Itu yang ada di benakku, apalagi ditimpali senyumnya, huh, greget, pengen kugigit.
"Ngelamar kerja juga?" tanyaku.
"Iya nih, lumayan buat pengalaman," jawabnya.
"Memang baru pertama kali?" tanyaku lagi.
"Biasa, anak baru lulus kuliah," katanya.
"Oh, oke."
Sedikit berbincang, sekitar 30 menit, dan belum sempat minta nomor telepon (ngapain lagi minta nomor telepon, hape saja enggak ada).
"Dewi, bisa masuk ke ruangan saya?" Pak Taufan tiba-tiba datang.
"Oh, baik, Pak." Dia pun masuk ke ruangan Pak Taufan dan meninggalkanku.
Huh... sepi lagi.
Sekitar lima menit, Dewi keluar dari ruangan dan pamit kepadaku, "Balik duluan, ya."
"Iya, mari silakan."
Tidak berapa lama, giliran aku disuruh masuk ruangan.
"Jadi begini, Ge. Perusahaan kami tidak bisa menerima kamu." Buset, cepat banget jawabannya!
"Karena satu, gaji yang kamu minta melebihi budget kami." Yah elah, begitu doang?
"Untuk masalah gaji, masih bisa dinego, kok, Pak," kataku, memberikan sedikit perlawanan.
"Bukan hanya itu. Perusahaan kami lebih mengutamakan penerimaan karyawan perempuan, sedangkan perempuan yang ngobrol sama kamu tadi lebih pas dan gajinya enggak perlu kami negosiasi lagi." Kalau alasannya gini, mana bisa aku berargumen sama dia. Ah, sialan lo, dasar mata keranjang.
Kalau mau ditolak, mendingan tidak usah menyuruhku menunggu. Atau paling tidak basa-basi, kek, dengan kata ajaib "Nanti kami hubungi lagi." Sumpah, ini yang paling tega.
"Ya sudah, terima kasih, Pak, atas waktu dan kerja samanya." Aku menyopankan diri supaya ada penyesalan nantinya. Rasakan kau, Taufan! HaHaHaHaHa! (Lah, kok jadi gini?)
Gw keluar dari gedung, tempat gw interview dengan termenung. Apalagi dengan cuaca panas, membuat gw patah semangat.
Gw berjalan di parkiran dengan kepala menunduk, sambil menuju gerbang.
"Hah......, masa gw ngabisin telor lagi, mana subsidi pangan lagi tersendat".
Gw berjalan di parkiran tanpa memperhatikan jalan, dan tanpa sengaja gw menabrak sebuah mobil Alphard hitam yang tiba-tiba berhenti di depan gw.
'BRUKKK'
"wadaaw" gw kaget dan sambil memegang pala gw. Perih kepala gw.
Lalu pintu mobilnya kebuka.
"aduh, Sorry mas, masnya nggak apa-apa?"
'Ta-da' Muncullah seorang perempuan matang cantik yang berpenampilan ala wanita karir.
"Eh, iya nggak apa-apa bu" padahal perih kepala gw.
"Aduh mas, sini mas masuk dulu" sambil menyuruh gw masuk ke mobilnya.
"nggak usah bu, saya nggak kenapa-kenapa kok" kata gw menolak
"ih..., kamu itu ,kepala kamu itu berdarah, nggak kenapa-kenapa gimana, sini saya obati dulu"
heee??? gw lalu memegang kepala gw dan bener kepala gw berdarah, pantesan perih. Demi mendapat pengobatan, gw mengiyakan paksaan perempuan cantik dan matang tersebut.
"Maafin supir saya ya mas, tadi dia berhenti tiba-tiba, gara-gara, kucing" sambil dia duduk di sebelah gw dan mengobati gw.
Dan ini perempuan kayaknya teliti banget, soalnya gw perhatikan semua kebutuhan tersedia di mobilnya, P3Knya ajah komplit.
"Nggak apa-apa kok bu, saya juga yang salah jalannya meleng, jadi nggak sadar deh ada mobil"
Kalo gw perhatikan, cantik juga ini orang.
Dengan tank top hitam dilapisi blazer hitam, rok hitam sedengkul plus stocking dan heels hitam, serta rambut hitam panjang bergelombang yang terurai, pokoknya hitam semua, kecuali kulitnya. Kulitnya putih, walau nggak Seputih si Dewi tadi.