Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2

Untungnya, emailku cepat dibalas oleh dia. Dia kaget aku tiba-tiba ada di Jakarta dan bilang akan menjemputku. Memang salut aku sama Jakarta, baru mendarat saja nasibku sudah diadu. Apalagi kalau berteduh di bawah payung kota ini, gila dah.

Kami janjian di salah satu mal di daerah Tangerang. Agak ribet dengan bawaanku, jadi aku harus naik taksi lagi. "Ah, duit lagi-duit lagi."

Aku menunggu di food court seperti sales yang mau berjualan di mal. Orang-orang pada melihatiku berkat bawaan yang kubawa. Kayaknya satpamnya juga curiga. Tapi biarlah, aku sudah capek. Tidak lama, datanglah seorang lelaki gondrong, slengean, berkulit gelap, dengan dandanan seadanya. Mirip Yayan Ruhiyan, tapi lebih muda.

"Woy, anak setan! Ke mana aja lo, Tong?" Cowok itu berteriak ke arahku.

Yah, makin jadi perhatian orang aja aku.

"Anak setan-anak setan, lo tuh makin mirip jenglot!" balasku.

"Hehe, tahu aja lo, gue lagi cosplay jadi jenglot!"

"Eh?" Padahal niatku mau mengejek.

Inilah dia, Sakti. Sesuai dengan namanya, dia juga berpenampilan seperti orang sakti. Temanku yang satu ini memang agak-agak gila dan stres. Dia ini temanku kalau lagi main game sejak zaman SMA. Aku di Surabaya, dia di Jakarta, alias kami online. Dari game komputer sampai PS. Dan aku punya rekor bagus melawannya. Sedikit mengobrol, lalu aku menceritakan alasan kenapa aku mendadak ke Jakarta.

"Hahaha, gila hidup lo kacau banget, Bro. Gue pikir hidup seorang Gege Tedjakoesoema damai-damai aja," kata Sakti mengomentari hidupku, dan aku hanya membalas dengan cengiran tengil.

Kami memutuskan untuk segera pulang karena aku sudah capek banget. Kami balik menggunakan mobil B-U-J-E-R-O keluaran barunya (tahu kan maksudnya?).

Sampailah kami di depan rumah dua tingkat yang menurutku cukup mewah untuk ukuran kos-kosan. Ini membuatku agak khawatir soal budget.

"Bro, masalah budget, gimana nih?" tanyaku pada Sakti.

"Sudah, santai aja. Sama lo harga khusus, kok. Ini tempat punya emak gue. Cuma ya lo harus tetap cari kerja, biar bisa bayar," dia menekankan kata terakhir padaku.

"Iya, aku bakal kerja. Tapi namanya cari kerja kan enggak gampang, apalagi di Jakarta," kataku padanya.

"Ya sudah, nanti juga ada yang nawarin kerja. Ayo, gue antar ke kamar lo."

Sampailah aku di depan kamarku.

"Ini kamar lo. Di sini aturannya enggak ribet, kok, yang penting jaga kesopanan aja," kata Sakti padaku.

Cukup lumayan sih fasilitasnya. Sudah lengkap perabotan, AC, ada TV juga, kamar mandi dalam, WiFi, dan dapur umum yang bersih beserta kebutuhan pangannya. Ada tamannya pula, kolam renang, dan rencananya mau ada gym. Ah, ini mah lebih dari lumayan.

Memang si Satria ini orang borjuis dan tajir gila, walaupun penampilannya tidak menolong dan tidak mencerminkan orang berduit, yang malah membuat kita iba dan mau memberikan setengah nasi yang sedang kita makan. Dan dia ini, sosok yang loyal, royal, setia kawan, tidak sok, baik budi, dan tidak sombong. Jagoan lagi pula pintar.

Oh, Boy... cermin anak muda. (Yaa elaaah, kok jadi lagu).

Aku lalu memberi bayaran untuk dua bulan, takut nanti uangnya terpakai. Awalnya dia menolak, dengan sedikit kupaksa akhirnya dia menerima.

"Sudah ya, Ge, gue tinggal, gue ada urusan lagi nih."

"Oh, oke deh, Sat," timpalku.

"Yang jaga kos-kosan lagi keluar, paling besok baru balik, tapi gue sudah bilang kok soal elo."

"SIAP!"

Sudah sekitar dua minggu aku di Jakarta. Dan ternyata kos-kosan ini campur, lumayanlah buat pemandangan. Terima kasih banget, Sat, aku berutang sama lo.

"Iya, lo berutang sama gue. Wahahaha,"

"Eh," suara siapa tuh? Memang horor tuh anak.

Di minggu pertama, aku menghabiskan telur di kulkas untuk diriku sendiri, dengan alasan berhemat. Kayaknya ada, deh, anak kos yang kesal. Ya, maklumlah namanya juga pengangguran. Jadi di minggu seterusnya aku perlu mengeluarkan uang lagi untuk beli makan di luar. Hah, pusing, mana belum ada pemasukan.

Aku sudah mengirim CV ke beberapa perusahaan. Cuma ada dua yang memanggilku. Dan dua-duanya memberikan jawaban yang sama, "Nanti kami hubungi lagi, Mas."

Padahal aku tidak mencantumkan nomor telepon. Hape saja enggak ada.

Saat aku lagi santai di ruang kumpul anak kos sambil menonton TV (aku lebih suka nonton di sini karena ini TV berbayar, jadi lebih banyak pilihan, dibanding di kamar cuma pakai antena. Lumayan siaran gratis) Pak Yono datang, menghampiriku.

"Mas Gavin, tadi Mas Satria pesan, katanya ada lowongan kerja di perusahaan ini," sambil dia memberikan secarik kertas. Dia ini adalah orang yang menjaga kos-kosanku.

"Oh iya, Pak, terima kasih." Aku mengambil kertasnya dan Pak Yono pun pergi.

Hmm, kayaknya boleh nih dicoba. Coba aku email CV-ku dulu, deh, pikirku. Aku lalu mengambil laptop dan mengirim CV.

Sebenarnya, aku sudah punya pengalaman kerja, walaupun di perusahaan ayahku. Jadi aku cukup percaya diri. Kinerjaku juga cukup bagus. Tapi setengah tahun yang lalu, aku dipecat oleh ayahku sendiri, akibat urusan pribadi. Memang sialan tuh si Rudy.

"Eh, ada Mas ganteng. Sendirian aja, Mas?" kata Mbak Lastri. Dia ini adalah Kapolda dari Pak Yono, alias istri. Dan memang agak genit orangnya.

"Iya, Mbak. Lagi kirim email sambil nonton. Tumben belum pulang, Mbak?" Mbak Lastri ini kerja harian, biasanya jam satu juga sudah pulang. Sementara Pak Yono baru pulang setiap Jumat malam dan balik lagi Minggu malam. Karena memang rumah mereka tidak jauh dari kos.

"Iya, Mas ganteng. Nanti pulangnya bareng Mas Yono. Mau pacaran lagi," katanya sambil mengedipkan mata ke aku. Wink. Karena merinding, aku hanya membalas dengan senyuman.

Perawakanku memang di atas standar, jadi wajar aku dibilang Mas ganteng. Buktinya banyak kok cewek yang nyantol sama aku dan aku sudah pacaran berkali-kali. Dan berkali-kali itu juga kisah cintaku berakhir dengan aku yang selalu menjadi korban.

Dengan alasan sebagai berikut:

* "Kalau aku terus bersama kamu, aku enggak akan bisa jaga kesucian aku!"

   Padahal aku sudah enggak perjaka, tapi yang selalu berpakaian seksi dan menggoda aku kan dia.

* "Kamu terlalu baik buat aku."

   Padahal aku ngeselin dia terus.

* "Aku terlalu baik buat kamu."

   Songong lo!

* "Kamu enggak bisa nerima kekurangan aku."

   Ya, aku enggak bisa nerima kekurangan dia yang selalu menuntut aku.

* "Si ****** lebih ganteng dan tajir dari lo."

   Kalau lo tahu tuh cowok gay, mampus lo. Aku saja digodain.

* "Sorry, Ge, lo terlalu perkasa buat gue, bisa mati gue nanti kalau sampai nikah sama elo."

   Yah, cuma ini sih yang bisa kubanggain.

* "Laki-laki kok, enggak bisa berenang."

   Oke, yang ini aku no comment.

* Dan seterusnya.

   Nasib-nasib.

Keesokannya, sekitar jam sepuluh aku mengecek email dan ternyata sudah direspons. Cukup cepat sih untuk sebuah lowongan, tapi baguslah. Aku lihat, dan ternyata aku akan diwawancara pada hari Selasa.

"YOOOOT, MANTAP!" teriakku di kamar. Kayaknya kencang banget, sampai pintu kamarku digedor.
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel