
Ringkasan
"Ini bukan tentang melarikan diri dari rumah atau dari ayahku. Ini tentang melarikan diri dari diriku sendiri. Selama dua puluh empat tahun, aku, Gavin, hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Anak yang selalu dibandingkan, anak yang tidak pernah punya pilihan. Hari itu, saat pertengkaran konyol tentang hal sepele meledak menjadi perang mulut, aku akhirnya sadar: aku tidak bisa terus begini. Aku perlu tempat baru. Aku perlu udara baru. Dan yang paling penting, aku perlu menjadi orang baru. Aku tidak peduli ke mana, yang penting jauh. Jakarta, kota yang tidak pernah mengundang, kini menjadi satu-satunya tujuan."
1
"Aku enggak tahu apa mau Papa! Aku enggak peduli Papa hidup atau mati!" teriakku lantang pada laki-laki itu.
"Heh, diam kamu! Dasar bocah enggak tahu diri!" Dia membalas dengan gertakan. "Dari kecil sudah Papa yang urus, sekarang bukannya terima kasih malah makin songong!"
Aku yang tidak mau kalah, membalas lagi, "Alaaah, Papa aja yang jadi bapak anjing!" Ya, aku sedang bertengkar dengan ayahku sendiri, yang entah sejak kapan sudah jadi rekan berantemku.
"Sudah capek Papa lihat muka kamu, enek, najis!" kata ayahku.
Lah, padahal muka kami enggak beda jauh. Berarti dia enek dong kalau ngaca? batinku.
"Sama! Aku juga capek ladenin Papa. Enggak usah khawatir, aku bakal pergi jauh dari orang belagu kayak Papa!" balasku.
"Bagus kalau kamu sadar."
Pagi itu juga, aku langsung mengepak barang dan bersiap meninggalkan rumah penuh kenangan ini. Aku menelepon taksi.
"Halo, Mas. Saya pesan taksi satu untuk ke bandara. Cepat, ya Mas, saya sudah enggak betah!"
"Baik, Pak, tapi..."
"Enggak pakai tapi-tapian!" Emosiku meledak dan aku memotong omongan si operator.
"Iya, Pak, baik, karena itu..."
"APALAGI HAH?" Aku membentaknya.
"SAYA BUTUH ALAMAT RUMAH BAPAK!"
Hee... oh iya. Aku melupakan prosedur terpenting dalam pemesanan taksi.
"Oh, oke, Mas. Ngomong dong dari tadi, enggak usah marah!" ucapku dengan polos.
Selesai memesan taksi dan menyiapkan kebutuhanku untuk pindah ke ibu kota, aku mengecek ulang. Rencanaku, sih, hanya sedikit barang yang akan kubawa. Tapi 'sedikit' bagiku artinya ini:
Laptop? Siap. PS4? Siap. 3DS? Siap. PSVita? Siap. Game-game? Yos. VR? Siap. Koleksi DVD? Siap. Koleksi komik? Dari western sampai manga, lengkap. Koleksi jersey? Penuh. Koleksi sepatu? OKE. Tabungan? Ajip. Ijazah? Aman. Pakaian? Siap! (Hampir setengah lemari kubawa).
Hmm, kayaknya ada yang kurang. Apa ya?
OH IYA! Harta berharga dalam hidupku, koleksi bacol! Ini adalah god tier dari sedikit barang yang akan kubawa. Wahahahaha.
Oke, barang yang kubawa memang tidak sedikit, tapi berlebih. Entah berapa kilo ini. Taksi pun datang, dan semua barangku ditaruh di bagasi. Aku sudah masa bodoh dengan ayahku, jadi aku pergi begitu saja tanpa pamit.
Selamat tinggal, rumahku.
Namaku Gavin Tedjakoesoema, tapi biasa dipanggil Gege. Aku adalah laki-laki muda yang masih mencari jati diri. Tinggiku 186 cm, berat 77 kg, dan memiliki 124.532 helai rambut. Penampilanku selalu kasual tapi rapi, dengan rambut mohawk pendek, mirip foto KTP-ku. Aku baru lulus kuliah dua tahun lalu. Namaku memang masih menggunakan ejaan lama, tapi aku bangga karena penulisannya jadi sedikit langka, walaupun penyebutannya pasaran (maaf kalau ada yang bernama sama, tidak bermaksud meledek).
Itu sebabnya aku lebih memilih dipanggil Gege. Sejak dulu di sekolah, rumah, dan kampus, selalu ada dua Gavin. Terpaksa aku harus mengalah, jadilah panggilanku Gege. Selama ini aku tinggal di Surabaya, dan sekarang, aku dalam perjalanan menuju Jakarta, untuk pelarian yang berkedok mengadu nasib. Sebenarnya, aku pulang kampung, karena aku lahir dan besar di Jakarta.
Tapi saat aku umur lima tahun, ibuku meninggal. Enam bulan setelahnya, ayahku memilih pindah ke Surabaya. Ayahku sebenarnya sudah menikah lagi, dan ibu tiriku orangnya baik, cukup bisa menjadi sosok ibu bagiku. Namun, mereka ternyata tidak cocok dan akhirnya pisah rumah, meski sampai sekarang belum bercerai. Aku tidak tahu alasannya. Aku anak tunggal, kalau dengan ayahku, kami berantem terus. Tapi dengan ibu tiriku, aku sangat dimanja.
Saat tiba di bandara, aku merasa ada yang kurang. Aku mencoba berpikir. Apa, ya? Kok, rasanya ada yang sangat jauh dari hidupku? pikirku. Tiket? Sudah. Maskapai singa udara. Koper-koper? Sudah. Dana? Sudah.
Aku terus berpikir, sampai sudah berada di dalam pesawat. Coba aku pikir, apa yang kubutuhkan di Jakarta nanti? Oh iya, aku belum mengabari temanku yang menawarkan kos di Jakarta.
"Yah, tapi sudah di pesawat." Ya sudahlah, nanti saja di Jakarta aku kabari. Tinggal kubayar, pasti dapat kamar.
Namun tidak lama kelegaan itu. Entah kenapa, hatiku masih terasa kosong. Apaan, ya?
Ketika pesawat sudah mencapai kilometer 69 (eh buset, kau kira ini tol?), aku pun ingat.
"ASTAGA!" Aku tersentak dari kursiku, dan beberapa penumpang kaget. Untung kursi di sebelahku kosong, karena penumpangnya mengamuk di bandara akibat delay.
Kok aku bisa lupa bawa charger, ya? batinku.
Tapi enggak apalah, toh aku juga enggak bawa hape. Lagian, mereka kutinggalkan masih dalam keadaan menyatu. Mereka masih bisa saling menyayangi meski tanpa aku. Aku berpikir sambil memejamkan mata.
"DUARRRRR!" Petir menyambar di awan yang cerah.
"Sialan lo, sumpah Ge, sialan banget! Pantes bokap lo jijik ama lo!" Kenapa hapenya kutinggal, ahhh, kacau! Ini semua gara-gara si operator taksi. Mana aku diteriaki lagi sama dia. (Padahal salahku sendiri dia sampai teriak).
Memang sehabis menelepon taksi, baterai hapeku habis, jadi aku cas hapeku. Dan makin kuingat, ternyata yang dari tadi mengganjal hati adalah aku belum mencolokkan chargernya.
"Ah, Goblok lo, Ge!"
Aku lalu mengumpat ke si operator taksi, walau dia tidak salah apa-apa.
Akhirnya, dengan keadaan tidak bisa berkomunikasi, sampailah aku di Jakarta, kota pengadu nasib. Aku resmi menjadi satu dari sekian banyak orang yang mau mencoba peruntungan di sini.
Saat itu, hari masih sore. Tadinya kupikir aku akan sampai malam, karena pesawat sempat delay. Tapi walaupun hari belum malam, masalah tetap belum selesai. Aku mencoba berpikir cara menuju ke tempat kos temanku, tapi aku bingung. Tabunganku cukup untuk kubelikan hape, tapi kalau kubeli, takutnya aku tidak bisa bayar kos untuk bulan berikutnya... Putus asa aku.
Akhirnya aku berpikir untuk mencari warnet, supaya bisa mengirim email ke dia. Singkat cerita, sampailah aku di warnet, dan dari mas-mas penjaga, aku baru tahu kalau aku ada di Tangerang. Padahal selama ini kupikir bandara tercinta ibu kota Jakarta ini ada di tengah kota. Tidak tahunya, Jakarta dan Tangerang sama-sama berbagi. Aku sudah seperti turis nyasar dengan bawaan yang berlebih (tapi aku tidak menyesal sih, daripada nanti kutinggal dan dijual ayahku).