Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Tersipu Malu-2

Matahari pagi barulah menyembul dari balik kabut, awan tipis itu memudar perlahan dan mengagumkan. Jalanan ibukota perlahan menggeliat seperti polah Dean pagi ini, dia berpindah posisi. Kaki mungil berkaus kaki itu tak lagi memeluk tangan kiri Arsha, melainkan sudah berpindah terbalik.

Tangan mungilnya memeluk paha Arsha yang hanya berlapis kulit. Mata bulat Dean sudah terbuka sejak tadi, hanya saja dia mengerjab memainkan tangannya sambil berceloteh bahasa planet yang hanya sebagian besar ibu paham artinya.

Dean memekik ketika kipas angin kecil di sudut ruangan menerbangkan tirai tipis yang menutupi jendela. Kedua kakinya diangkat dan berguling, tengkurap dan bergerak ke tubuh Arsha. Wanita cantik yang maaih terlelap itu tentu saja masih tidur, jam tidurnya terganggu selama beberapa bulan belakangan dikarenakan bayi lelaki mungil berbibir imut itu, Dean.

Bibir mungilnya tertarik ke samping kala Arsha bergumam sambil menggerakkan bibirnya, dimonyong-monyongkan seolah mengomeli seseorang. Dean tertawa kecil, baginya itu seperti godaan untuknya. Dean semakin mendekati Arsha dan menaiki sebagian bahunya, tangan kirinya menepuk pipi Arsha, hanya dibalas dengan mengerang.

Dean memekik lagi, dia tersenyum kembali, merasa gemas pada Arsha maka ia pun melakukan hal yang tak terduga, dia menghisap ujung hidung Arsha, air liurnya perlahan merembes masuk ke dalam hidung saat itulah Arsha bangun bersamaan dengan alarm berbunyi setiap dua jam sebelum Arsha berangkat bekerja.

Arsha mundur dan bangkit, meniupkan udara dari dalam hidungnya keluar, seketika dia menoleh pada Si Pelaku yang justru tertawa kecil melihat ketidaknyamanan Arsha.

"Oh, seneng banget ya kamu sudah sedot-sedot hidungku, hmm," ujar Arsha yang kemudian menggulingkan bayi berusia enam bulan itu dan menggelitikinya.

Arsha menciumi perut Dean dengan ujung hidungnya, dia merasa kegelian dan tertawa lepas, tak lama dia berhenti tertawa dan menyedot ujung jempolnya sambil merengek itu sebagai artian jika dia mau Arsha membuatkannya susu kesukaannya, susu formula rasa madu yang disukainya.

"Tidak, nanti habis mandi, oke." Arsha bangkit dan membiarkan Dean masih dalam benteng-jajaran bantal dan guling besar mengelilingi Dean.

Dean tentu saja merengek, dia merasa perutnya lapar, Arsha tahu itu secepat kilat ia meraih apa yang ditemui di depan jalannya menaruh ke tempat yang seharusnya sambil menunggu air panas untuk mandi Dean usai, sementara tungku satunya memasak air matang untuk membuatkan susu formula Dean nanti.

Arsha dengar ocehan Dean, sesekali ia merengek untuk diperhatikan tapi hanya sahutan "Sebentar, Dean, aku tahu." disahuti dari dapur, meski begitu Dean di dalam kamar masih saja melakukan protes. Tangan Arsha menyambar roti dan selai buah, memakannya sambil tetap menjawab demo yang Dean lakukan. Sekaligus memblender buah naga dengan minim air sampai lembut untuk sarapan Dean nanti usai mandi.

Air mandi Dean sudah siap, barulah Arsha menghampiri Dean yang ada di kamar, melepas bajunya dan segala hal yang menempel padanya. Saat diapersnya dibuka, Dean diam, wajahnya bersemu merah.

"Euh, pakai memerah segala wajahmu, Dean. Kenapa? Aku cantik ya?" tanya Arsha yang menggodanya.

Dean mengoceh, bibirnya yang mungil itu dimonyongkan seolah mau berkata sesuatu. Arsha membawanya ke kamar mandi, demi Dean Arsha membeli semua perlengkapan bayi yang tak ada dalam daftar belanjaan bulanannya selama ini. Sampo, sabun, minyak telon, minyak rambut, parfum, bedak, dan terakhir diapers bayi yang dalam jumlah banyak langsung memangkas uang tabungan Arsha di bulan pertama saat merawatnya.

"Siapa orangtuamu, Dean? Mengapa mereka membuangmu di dalam kardus, hmm? Bayi setampan kamu, kenapa ada di terminal itu? Apa mereka tak mencarimu? Orangtua jaman now yang enak saja ber-ah-oh ria begitu lahir kamu dibuang! Kau itu bukan adonan kue, donat atau bakso yang bisa dibuang seenaknya." Arsha berkata dengan dilagukan, Dean yang mengira itu adalah lagu yang enak pun meresponnya dengan menggerakkan kedua kakinya dalam air yang hangat itu.

Dean sangat suka tubuhnya direndam air hangat, dengan sabun mandi yang beraroma wangi nun lembut. Ia menghela napas dan bergumam ketika rambut hitamnya dikeramasi lembut oleh Arsha. Tentu saja itu berkat les darurat dalam merawat bayi yang dilakukan Arsha pada Bu Anti, Ibu pemilik flat tiga puluh pintu itu.

Dialah yang memberikan bimbingan dengan segala kecerewetannya pada Arsha beberapa bulan lalu, diaah orang yang menjaga Dean jika Arsha bekerja. Kini, Dean sudah wangi, berbalut handuk dan berada di atas ranjang besar kedua milik Arsha-yang tadinya milik temannya yang tinggal satu atap dengannya-pakaian bayi dan perlengkapannya tersedia di sana.

Arsha memberikan bedak pada tubuh Dean dengan lembut, wajah bayi lelaki itu merona kembali ditambahi dengan celoteh ketika Arsha membungkus pantatnya dengan diapers.

"Halah! Kamu pake malu segala, Dean! Tak gigit kamu nanti, gigit gini, mau ya, mau!" Arsha menciumi leher Dean yang berlipat itu. Seketika Dean tertawa karena geli dan mendorong wajah Arsha menjauhinya.

Di mata Dean, Arsha adalah wanita yang mengagumkan. Sentuhannya hangat dan membuatnya nyaman, dalam benaknya ia menyebut Arsha, Mama.

Hal terkahir yang dilakukan Arsha pada Dean adalah menyuapinya, pure buah yang ia buat khusus untuk Dean yang mulai menerima makanan pendamping ASI namun karena ASI tak keluar dari payudara seorang gadis, maka digantikan dengan susu formula rasa madu yang disukai Dean.

"Ayo, buka mulutmu, baby boy! Aaa," pinta Arsha menyuakan sesendok kecil buah naga smoothie itu pada Dean.

Dean membuka bibirnya kecil, mencecap rasa buah yang manis alami tanpa tambahan gula, segar dan lembut itu yang dirasakan Dean. Barulah dia membuka lebar bibir mungilnya.

"Huh, enak ya? Suka ya? Ayo habiskan dan minum susumu, nanti kuantarkan pada Bu Anti kamu jangan nakal ya, aku mau bekerja dulu cari uang buat beli susumu." Arsha berkata pada Dean.

Dean masih membuka mulutnya ketika suapan terakhir, "Dean, jangan nakal. Itu tadi banyak loh. Perutmu masih kecil, belum susu formulamu nanti. Jangan nakal, aku mau mandi dulu oke."

Arsha menaruh Dean di atas matras kecil di lantai. Tangannya meraih barang-barang yang tak lazim ada di ruang tamu mini, dapur, maupun kamar utama. Katakan saja Arsha gadis pemalas, yeah, ditambah lagi ia sedikit jorok, kalian pasti tak akan mau mengetahui betapa joroknya ia jika tak ada Dean.

Ya, semuanya berubah ketika Dean datang, membawa banyak pengaruh baik pada Arsha. Dia jadi keibuan, feminim dan satu lagi, rajin. Rajin membuatkan Dean susu, memandikannya, menidurkannya dan rajin mengabsen saat janji temu dengan Satya nantinya, hingga membuat hubungannya kandas di tepi jalan seperti bunga layu.

Arsha mandi dengan cepat, tak ada luluran atau berendam dalam list acara mandinya. Semuanya dilakukan dengan cepat. Dean yang menonton kartun di televisi kecil Arsha mengoceh, terdengar sampai di kamar Arsha. Saat ia usai memakai seragam, ia menengok Dean yang tak bersuara, botol susunya kosong dan ujung dot keluar dari bibir mungilnya. Dia tertidur karena kenyang.

Arsha tersenyum tipis, "Dia benar-benar lucu. Orangtuamu tak menyesalkah telah kehilanganmu?"

Arsha menyambar tasnya dan tas bayi milik Dean, tanpa make up yang menor ia berangkat kerja. Meraih tubuh empuk Dean dan menggendongnya ke luar rumah. Ia menuruni tangga dan sampai di bangunan toko samping flat persis, disambut senyuman oleh wanita paruh baya yang bersedia dititipi Dean saat Arsha bekerja.

"Aduh, sudah tidur saja dia. Sudah makan 'kan? Minum susu? Aduh, wangi sekali dia. Anak ganteng, anak imut," puji Bu Anti pada Dean yang terlelap dalam dekapannya.

"Sudah semuanya, wangi, bersih, dan kenyang. Bu, aku berangkat kerja dulu ya. Jangan nakal ya, Dean." Arsha melapor.

"Dadah, hati-hati, jangan ceroboh ya, Mama Arsha." Bu Anti berkata dengan suara dimanjakan.

Arsha tertawa kecil, "Bahh, sindirannya ngena, Bu."

Arsha menaiki sepeda motor matic bekasnya dan melenggang ke tempat kerjanya.

Pagi di kediaman Arsha tentu berbeda dengan keadan di rumah besar dan lengang itu. Hanya ada kegiatan dapur yang tak seberapa sibuk, hanya untuk menyiapkan sarapan satu orang saja, pembantu rumah tangga tak perlu mengeluarkan tenaga esktra.

Pria yang selalu dirundung kesedihan itu berbali telentang, di dalam dekapannya masih saja terdapat pigura bayinya.

"Kamu sedang apa, Al, papa kangen kamu sekali..." sedih Kezlin mengelus pelan pigura anaknya.

Bayi kita hilang Asta, belum ditemukan. Maafkan aku yang tak bisa jadi papa yang baik untuk anak kita. Lindungi dia dari surga, tunjukkan jalan menemukannya, Asta, aku merindukan Alucio kita...

Suara ketukan di pintu kamarnya tak serta merta menghentikan tangis Kezlin, dia adalah pria tua yang menjadi pelayan tertuanya. Di sisinya berdiri pria yang lebih muda, tak jauh beda dengan usia Kezlin, Albin-asisten pribadi Kezlin-tersenyum tipis seraya mengangguk.

"Pak, sarapan sudah siap." Pak Finn memberitahu.

Kezlin mendesah, "Sebentar lagi aku turun."

Pak Finn berlalu, sementara Albin masuk ke dalam kamar Kezlin. "Sudah ada perkembangan?"

"Belum, Pak. Anda akan sibuk hari ini, ada janji temu dengan Pak Abiram soal proyek bersama Pak Silas di Kalimantan," ujar Albin memberitahu.

"Aku tahu. Tetap cari Alucio sampai ketemu. Jika tertangkap siapa pelakunya, tak segan jebloskan dia ke penjara." Kezlin bangkit, meninggalkan Albin yang mengangguk mengiyakan.

Albin melihat foto putera tunggal majikannya, begitu tampan dan mungil. Alucio Reynard yang hilang empat bulan lalu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel