Dini Hari-1
Tirai tipis yang tertiup angin dari celah jendela kaca tak bisa menutup sempurna. Angin dini hari bertiup kencang karena hujan datang tiba-tiba. Ruangan tak sepenuhnya redup, hanya beberapa bagian dari flat dua kamar itu menyala.
Jika dalam bayangan kalian flat itu rapi, bersih, terawat segera hapus itu dari pikiran kalian. Karena pada kenyataannya, bra yang talinya terputus bisa sampai berada di ruang tamu mini, tersampir di sofa. Atau alat rol yang berada di lantai besanding dengan spatula? Itu bisa saja kalian temui di sini.
Tak sampai di sana, bahkan sepatu hak setinggi tujuh senti bisa berada di atas meja makan, bukan piring dengan sisa makan malam, tidak, kau salah. Sungguh ada benda-benda lain yang tak lazim ada di tempat lain tak terduga sebelumnya.
Awasi langkah kalian, jangan injak benda lengket di lantai berwarna putih. Eits, jangan berpikiran jika itu semen milik pria, itu pasta gigi gel, aromanya mint. Suara dengkuran setengah keras mengisi ruangan kamar pertama, pintunya tak bisa menutup. Yeah, bukan karena rusak, tapi karena celana dalam menyumpal ujungnya. Begitu berantakan seisi rumah, yeah, itu jelas.
Dengkuran itu bukan milik seorang pria, meski terdengar seperti suara pria, dia tak berbusana dengan baik, sebagian besar kaos tipis itu naik hingga diafragma, sementara bagian bawah tubuhnya ditutup sempurna, celana pendek berwarna hitam. Kamar itu sama buruknya dengan ruangan lain, malah lebih berantakan. Bisa kalian lihat ada talenan berwarna oranye di bawah kolong tempat tidur. Apa yang dilakukan orang tidur dengan membawa talenan?
Suara lainnya memecah keheningan malam, jarum pendek jam dinding berbentuk ukiran batik itu baru lepas pukul satu, suara tangis bayi mendominasi malam. Wanita yang berbaring tengkurap di atas ranjang itu mengerang. Alisnya yang terangkat sebelah tak cukup membuat tangisan bayi itu sirna.
Ini bukanlah cerita horor jika kalian mau tahu? Author yakin, ini seratus sembilan puluh sembilan koma sembilan puluh sembilan persen cerita romantis. Wanita di atas ranjang itu bergerak, berguling ke kanan menjadi terlentang. Seketika mata pandanya terbuka lebar di bawah remang lampu kamar.
"Astaga... aku mengantuk sekali, ya Tuhaaan," keluh wanita itu menggaruk rambutnya hingga semakin kusut saja.
Matanya menyipit ke arah luar kamarnya. Di mana sumber suara terdengar. Ia melangkah gontai menuruni ranjang, tiba-tiba kakinya terpeleset oleh talenan yang ia injak, di bawahnya ada bawang putih duduk manis mengejeknya.
"Sakit banget ya Tuhan..."
Suara tangisan itu semakin kencang terdengar, maka ia pun bangkit dengan mengelus-elus pantatnya yang sakit mencium lantai, mendesis berjalan ke kamar sebelah, ia membuka pintunya dan melihat seonggok daging mungil menggeliat, mengulurkan tangannya dengan air mata membasahi mata bulatnya. Di sebelahnya tergeletak botol susu yang sudah habis.
"Ya ampuun, Dean... satu jam yang lalu kan baru dibuatkan? Itu botol susu bocor kali ya?" Wanita itu memeriksa kasur di sisi botol, tapi nyatanya kering.
Bayi berusia enam bulan itu menatap dengan mata merebak, sedikit merengek dan memasukkan ibu jarinya ke dalam bibirnya yamg mungil.
"Ini sudah botol ke empat, setelah itu kamu tidur ya, tante nagntuk sekali, Dean..." ujar wanita itu menggerutu.
Wanita berambut hitam yang dikucir kuda serampangan itu melangkah keluar dari kamar, melangkah ke dapur yang sama berantakannya. Ada sepatu Dean sebelah di atas meja dapur, bersebelahan dengan mi instan yang tersisa separuh.
"Demi celana Squidward, kapan rumahku kembali rapi? Eh, tapi, enggak pernah rapi sih sebelumnya." Arsha berbicara sendiri.
Arsha-pemilik flat dengan nomer dua puluh sembilan- membuatkan susu formula untuk bayi lelaki di kamar lain rumahnya. Tiga sendok takar susu bubuk formula untuk sembilan puluh ml air, ditambahkan air hangat, dikocoknya sebentar dan diberikan pada Dean-bayi yang ditaksirnya berusia enam bulan itu pun tak merengek lagi, dia memegangi botolnya dengan mengangkat kedua kakinya, dimainkan.
Arsha mau melanjutkan tidurnya yang tertunda, tapi Dean merengek, saat Arsha menoleh ia diam. Kaki Arsha keluar, tapi rengekan Dean kembali terdengar, seolah tak mau ditinggal sendirian.
"Hei, daging merah muda berwajah imut, aku mau tidur. Ini masih dini hari, tidurlah sendiri oke." Arsha melangkah pergi keluar.
Dean merengek di atas ranjang lebar dengan dikelilingi bantal dan guling. Rengekannya berubah jadi tangisan kembali, Arsha yang sudah ada di atas ranjangnya pun hanya bisa berbaring, tanpa sempat memejamkan mata sejenak, ia bangkit kembali karena Dean makin menangis menyayat telinga.
Saat Arsha muncul di balik kamar, tangisa Dean meredam, ia meraih-raih untuk digendong. Demi apapun di dunia ini, bayi ini mengira akulah mamanya. Arsha menjambaki rambutnya yang kusut, maka ia melangkah mendekati Dean, hanya sebentar dia diam kemudian menangis kembali.
"Dean, tante sudah di sini loh, bobok yuk."
Dean merebak, dia menangis, kakinya diangkat-angkatkan ke atas. Arsha mengendus, ada semacam bau yang asam cenderung tak sedap. Ia mencium ketiaknya, asem tapi bukan dari tubuhnya, melainkan aroma tak sedap lain.
Arsha mendekati pantat Dean, barulah dia tahu sumber mana penyebab aroma tak sedap itu berasal. Pun melepas kaus kaki Dean, membuka celana panjangnya dan seketika Arsha mengibas-kibaskan tangannya di hidung.
"Bau sekali, kamu Dean! Kayak habis makan jengkol aja kamu, mamamu makan apa sih dulu pas hamil?" omel Arsha.
Dean tak menjawab, hanya mengulum bibirnya dan wakahnya tampak merasa risih sekali. Arsha membuka celana diapers Dean, masih saja membuat Arsha mual. Bayi enam bulan itu diam saja saat dibawanya ke kamar mandi untuk dibersihkan.
Arsha memberikan bedak bayi dan memasang celana diapers, namun belum sempat direkatkan air mancur keluar mengenai wajah Arsha. Dean tertawa kencang melihat Arsha yang terpipisi.
"Bahh! Senang sekali kau, melihatku basah kena pipismu, hmm..." ujar Arsha yang gemas, tangannya bergerak menggelitiki perut Dean.
Bayi itu tertawa hingga wajahnya memerah. Arsha kembali membasuh Dean ke kamar mandi, mengulang memasang diapers serta celana panjang Dean. Wanita berusia dua puluh delapan tahun itu merebahkan dirinya di sisi Dean. Kembali bayi lelaki itu memegangi dotnya sendiri, tak hanya itu tangan Arsha yang berada di sisinya diapit kakinya yang empuk, ia berguling ke kanan.
Arsha tersenyum melihat Dean yang memeluk tangannya. Mata Arsha menutup, jam tidurnya berantakan, tak teratur. Sama berantakannya dengan rumah Arsha.
Di tempat lain, di dalam kamar yang temaram. Seorang pria berusia tiga puluh tahun baru saja terlelap, mata basahnya masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Dalam dekapannya, terdapat pigura kecil dengan foto seorang bayi mungil.
Pria tampan itu mengigau dalam tidurnya, "Alucio..."
Suara lirihnya menghilang ditelan malam. Kantuknya meraja dan menguasai dirinya. Pria tua yang menatap khawatir padanya masuk, menyelimutinya.
"Bersabarlah Tuan, pasti Alucio berada di orang yang tepat saat ini." Pria tua itu menutup pintu kamar utama majikannnya itu.
