Seharusnya-5
Reinya kembali sadar, dia mengamuk dan ngotot ingin bertemu dengan bayinya. Ia bahkan nekat akan turun dari brankar untuk bisa bertemu dengan bayinya. Asta didorong menjauh agar tak menyegahnya untuk turun.
Kezlin yang merasa perih melihat Asta yang terus-terusan menangis pun akhirnya berkata, "Aku akan ambil dia sebentar, jangan sakiti ragamu, tenanglah."
Barulah Reinya diam meski tangis masih menyelimutinya. Asta memeluk Reinya, dia mengusap air matanya dan meminta maaf.
"Maaf tak bisa kembalikan bayiku, astaga, bayiku. Dia satu-satunya harta Bram yang berharga, kini aku kehilangan semuanya, semuanya!" Reinya terpukul.
"Reinya, apa yang terjadi padamu, dan bayimu sudah kehendak Tuhan." Mama Kezlin berkata lembut.
"Apa Tante pernah kehilangan? Jika tidak, Tante tak berhak berkata demikian." Reinya menatap perih Mama Kezlin.
Kezlin masuk dengan menggemdong bayi yang dibalut kain kafan, pecahlah tangis Reinya, air matanya tak henti keluar menatap raga tak bernyawa bayi pertama dan kemungkinan besar yang terakhirnya.
"Bayiku, bayiku, Sayang. Ini mama, Sayang. Buka matamu, mama mau lihat matamu yang terang." Reinya menciumi bayinya, ia terisak tanpa suara karena bayi dalam gendongannya diam tak menjawab.
Semua mata yang menyaksikan itu menangis pilu, suara rengekan terdengar, Reinya seketika membuncah, berharap itu adalah suara bayinya, namun ia kecewa setengah mati, karena bayinya tetap diam namun bayi Alucio yang merengek meminta ASI. Bibir Reinya bergetar, ia terisak sangat dalam, bahkan untuk menelan salivanya saja susah, ia merengkuh bayinya erat-erat. Menangis meratapi nasib anaknya yang tak bisa kembali hidup.
Reinya sama sekali tak mau siapapun mengambil bayinya dari dekapannya. Ia menimangnya dan berbicara sendiri, sangat kalut. Asta menangis, sepupunya menjadi seperti ini karenanya, ia terus merasa bersalah.
Butuh waktu tak singkat agar Reinya bisa menerima kenyataan, apalagi bayinya harus dimakamkan, sementara ia tak mau jauh dari bayinya.
Reinya meminta pulang, ia tak mau berada di rumah sakit, maka Asta dan Kezlin pun menurutinya dengan syarat jika Reinya tak mengamuk lagi. Bayi Reinya telah meninggal, meski belum menimbulkan bau, tapi Reinya masih saja mendekapnya.
"Rei, bayimu sudah meninggal, kasihan dia jika terus kau dekap, kebumikan dia dengan layak, satukan dia bersama papanya di surga." Kezlin membujuk Reinya untuk melepas bayinya.
"Kasihan dia, Reinya. Semuanya sudah disiapkan," ujar Asta.
Reinya terisak, dia menciumi bayinya seolah merasa tak akan pernah puas menyayanginya. Peti mati kecil dengan ukiran itu siap diisi oleh jasad bayinya.
Bram, bayi kita sudah meninggal. Aku kehilangan dirimu dan dirinya kini, aku sendirian di dunia ini Bram... Reinya mengganti pakaian bayinya, air matanya jatuh di pakaiannya, merebak dalam isak tangis yang dalam.
Sayangku, bayiku, cintaku, mama sangat mencintaimu, Sayang. Mengapa kau meninggalkan mama sendirian... mama ingin lihat kamu tumbuh besar, tapi Tuhan berkata lain... Naldo... mama sangat mencintaimu. Reinya sendiri yang menaruh bayi Naldo di dalam peti mati. Pakaian bayi yang dibelinya sangat pas, yang terbaik. Ia terisak di tepian peti mati, menyentuhkan keningnya di sana.
"Sayangku, tunggu mama di surga kita bertiga akan berkumpul, mama sangat menyayangimu, Naldo." Reinya menangis.
Asta, Kezlin dan semua orang yang hadir menangis melihat kesedihan Reinya. Beberapa orang pria membawa peti mati Naldo, Asta merengkuh lengan Reinya menemani langkahnya menuju area pemakaman.
Ada banyak sekali bunga yang dibeli Asta untuk keponakannya itu, Naldo. Nama yang Reinya berikan untuk bayinya yang meninggal. Meninggalnya Naldo sudah membuatnya sedih seperti ini, apalagi nanti kuberitahu jika rahimnya diangkat, pasti dia akan semakin sedih, ini semua salahku, seandainya aku saja yang ditabrak mungkin tak akan jadi begini...
Kezlin seolah tahu apa yang dipikirkan isterinya, ia mendekap Asta dan mencium keningnya. "Semuanya akan baik-baik saja. Jangan sedih terus, Alucio akan ikut sedih nanti."
Proses pemakaman berjalan lancar, meski ada ketidakrelaan Reinya saat peti mati anaknya diturunkan, Asta memberinya bisikan bahwa ini adalah yang terbaik untuk Naldo. Reinya tak hentinya menangis, kepedihan di wajahnya tergambar jelas.
Tanah pemakaman menenggelamkan jasad puteranya, tapi cintanya tak akan pernah padam untuk Naldo. Reinya menaburkan banyak sekali bunga, mengenang setiap inci lekuk tubuh bayi mungilnya. Mengabaikan raganya yang terasa ngilu, ingin sekali ia duduk dan mencakari tanah untuk mengambil jasad anaknya, karena rindu menyesakkan dada menguasinya.
Asta membawa Reinya pergi, memberinya air mineral dan memberinya ketenangan. Matanya menangkap sosok mungil dalam dekapan mama Kezlin, Alucio Reynard yang tertidur nyaman. Satu per satu pelayat yang datang menyalami Reinya, mereka turut berduka atas kehilangannya.
Mama dan papa Kezlin mengajak Asta, Kezlin juga Reinya pulang. Sepanjang perjalanan, Reinya bungkam. Aroma bayi dari tubuh Alucio membuatnya menangis, rasanya ia ingin mendekap anaknya juga, menimangnya sepanjang hari tanpa kenal lelah. Tapi, yang ada hanya udara kosong.
Di rumah Kezlin, Reinya ke kamar dia menatap seisi kamarmya yang dipenuhi berbagai macam pernik tentang bayi lelakinya. Ada banyak pigura berisi foto anaknya, Naldo. Anakku, anakku sudah tiada secepat ini, padahal aku masih merasakan dia bergerak di dalam rahimku. Anakku sudah pergi, ya Tuhan...
Asta membiarkan Reinya sendiri, meski ia ingin sekali menemaninya. Tapi, Kezlin tak mengijinkan, karena anaknya juga butuh perhatian. Kesedihan benar menyelimuti Reinya, akan tetapi hidupnya masih terus berlanjut. Reinya merasa tubuhnya lelah sekali, seluruh jiwa dan raganya sakit dan ngilu. Dengan memeluk pigura anaknya, dia terlelap diselimuti air mata.
Kezlin merasa isterinya banyak mengeluarkan air mata kesedihan dan sedikit abai pada putera mereka, Alucio. Ia hanya menyusuinya dan mamanyalah yang menggendongnya, sementara Asta sendiri memperhatikan Reinya lebih. Maka, hari ini, Asta ingin menimang bayinya seharian, tak kuat rasanya jika ai menjadi Reinya yang harus berpisah dengan bayinya.
Mama dan papa Kezlin pun beristirahat, mereka juga ikut lelah mengikuti semua proses pemakaman Naldo. Kediaman Kezlin hening siang ini, hingga embusan angin yang menerbangkan tirai tipis bisa menenangkan raga.
Tangis bayi seketika membuat Reinya terbangun sore ini, seketika nyalang melihat seisi kamarnya, merasa itu adslah tangis bayinya yang memintanya ASI. Merasa tak melihat bayi, maka ia pun membuka pintu kamarnya.
Matanya menatapa bayi lelaki yang mungil berada dalam dekapan Asta, bayi itu menyedot puting Asta dengan kuat sambil memeganginya. Seakan tak mau jauh dari bibir mungilnya.
"Minum yang banyak ya, Sayang." Asta mengelus pipi empuk Alucio.
Reinya seketika menangis, "Bayiku tak bisa menyedot ASI milikku seperti itu, dia tak ada dekapanku..." tangis Reinya.
Asta yang melihat Reinya hanya berdiri menatapnya pun memintanya untuk mendekat. Reinya duduk di depan Asta yang sedang menyusui bayinya.
"Dia menyedot dengan kencang ya," ujar Reinya menatap Alucio yang meminum ASI.
Asta mengangguk, "Dia sangat suka menyusu."
"Kalau Naldo hidup, pasti juga akan begitu." Reinya menatap sedih pada bayi Alucio.
Asta menatap ke arah Reinya sedih. Saat Alucio melepas putingnya, Asta membolehkan Reinya menggendong Alucio, bayi Asta begitu lucu dan tampan, bayi lelaki itu memejamkan mata karena merasa kenyang dan tertidur dengan mudah. Reinya menitikkan air mata mencium Alucio, ia teringat bayinya yang tak bisa ia dekap setiap hari. Reinya tak tahan, ia memberikan Alucio pada Asta dan berjalan menjauh ke kamarnya.
Kezlin menghampiri Asta, "Aku akan beritahu Reinya soal vonis dokter, dia harus tahu semuanya."
"Bagaimana kalau dia tak bisa menerimanya? Apa yang akan kita lakukan?" Asta menatap sendu suaminya.
"Mendampinginya, dia bisa merawat Alucio bersama-sama, Alucio adalah keponakannya juga anaknya bukan?" Kezlin berkata pada isterinya.
"Kuharap." Asta berharap banyak jika Reinya bisa menerima kenyataan.
Malam ini, usai makan malam, Kezlin, Asta dan kedua orangtua Kezlin meminta bicara hal penting pada Reinya. Reinya yang merasa heran dengan sikap semua orang pun bertanya-tanya. Mama Kezlin tersenyum hangat pada Reinya.
"Reinya, kami tahu kamu baru saja kehilangan, tapi kami tak mau menyembunyikan apapun darimu."
Asta mendekap Reinya, "Rei, waktu kamu melahirkan, dokter berkata jika kamu mengalami pendarahan, karean kecekakaan itu, rahim kamu bermasalah dan... diangkat."
Reinya menoleh seketika dengan tatapan horor, "Diangkat... kenapa kamu bilang sekarang! Tanpa persetujuanku, Asta!"
"Saat itu kamu belum sadar, dan tindakan itu harus segera dilakukan, Rei." Mama Kezlin menimpali.
Reinya merasa tertohok sekali. Ia merasa lemas seketika, air matanya mengalir kembali, "Jika rahimku diangkat, bagaimana bisa aku punya anak lagi?"
Asta memeluk Reinya, namun pelukan Asta ditolaknya. "Rei, kamu bisa rawat Alucio sama-sama, dia juga keponakanmu."
"Kalian semua jahat. Kenapa kalian setuju saja rahimku diangkat! Aku... aku kecewa dengan kalian semua!" Reinya berjalan ke arah kamarnya dengan tangis, meninggalkan meja makan dan tak mempedulikan Asta maupun Kezlin memberi penjelasan.
Reinya menangis sejadi-jadinya, ia merada begitu terluka, luka satu belum sembuh timbul luka lain, disusul sayatan yang menggores hidupnya sedemikian lara.
Seandainya kecelakaan itu tak terjadi, bayiku tak akan meninggal, aku tak akan kehilangan dia, dan rahimku, ya Tuhan, aku tak akan bisa punya anak lagi... aku sudah gagal menjadi wanita, dan semua itu gara-gara Asta! Seharusnya dia yang ditabrak! Bukan aku!! Reinya menangis sendirian tak mendengarakn Asta dan Kezlin yang menggedor pintu kamarnya meminta bicara.
Flashback Off
