Kepulangan-6
Menjadi ikut bagian dari rapat besar sungguh melelahkan. Bagaimana tidak, Arsha sendirian berada di sana dan mengurusi segala apa yang dibutuhkan para anggota rapat yang berjumlah belasan orang. Tapi, Arsha tak sabar untuk bisa bicara dengan salah satu orang penting tamu Pak Kezlin, ialah pria berwajah teduh dan mempunyai senyum ramah.
Berbeda dengan Kezlin yang bersuara lantang dan jarang tersenyum, arogan dan tak acuh pada orang lain. Kontras sekali dengan Pak Latif dan Pak Albin, bawahannya, meski mereka tegas tapi senyum mereka bisa melelehkan hati para pegawai wanita Karasi. Termasuk Arfina.
Kezlin sudah mengakhiri rapatnya pagi ini dengan kesepakatan luar biasa. Para anggota rapat puas dengan kerjasama mereka, tak terkecuali Silas. Saat Silas memanggilnya untul bertanya di mana arah toilet, Arsha pikir itu adalah kesempatan bagus. Apalagi pria muda di sebelahnya tadi, Svan (adik kandung Shailene : Take Me With You) tak mengikutinya juga.
Silas hanya tersenyum, melihat gelagat Arsha yang resah sedikit aneh seperti ayam hendal bertelur tapi bingung mencari tempat. Benar saja, saat Silas keluar dari toilet, Arsha masih di sana, mondar-mandir.
"Aku rasa lantainya sudah rata, tak perlu kau setrika dengan kakimu." Silas membuka suara.
Arsha merada cèngo dengan sikapnya, "E, anu, Pak. Saya Arsha masih ingatkah Bapak soal perkataan Bapak pada saya dulu yang berkata-"
"Masih. Kau tidak paham perkataanku? Bagian mana yang tak paham?" Silas tersemyum mendekati Arsha.
"Semuanya." Arsha seolah tersihir dengan senyuman Silas.
Silas tersenyum, "Kurasa perkataanku tak sulit. Apapu yang sudah kau genggam, jaga ia baik-baik."
Arsha melihat kedua tangannya dan menunjukkannya pada Silas, "Tangan saya kosong loh, Pak. Anda melihat ada apa? Kok jadi serem ya, Pak?"
Silas tertawa kembali, "Polos sekali, aku khawatir padanya yang akan memberimu motif, dalam tanda kutib. Sampai jumpa."
Arsha mendengarkan baik-baik gumaman Silas yang sambil berjalan. Ia semakin tak mengerti dan mempunyai tanda tanya besar. Tapi, saat akan mensejajarinya, Svan keluar dan segera menghampiri Silas, mereka masuk kembali ke ruang rapat. Arsha mengikutinya namun tatapan tajam Kezlin mengarah padanya.
Astaga, itu tatapan bisa enggak biasa aja gitu, bukannya bikin meleleh, Pak. Tapi mati berdiri sih, iya. Albin memintanya mendekat, maka Arsha pun mendekat.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Bawakan ini semua ke ruangan Pak Kezlin ya, jangan sampai jatuh dan hati-hati."
Tamu Kezlin hanya tersisa beberapa orang termasuk Silas dan bawahannya, tak lama mereka berdiri dan pamit ketika Arsha hendak keluar membawa laptop dan beberapa map dalam dekapannya ke ruangan Kezlin di lantai empat.
Arsha yang merasa bahwa ia tak bisa berbicara banyak dengan Silas pun merasa kecewa, ia tak tahu di mana harus menemui Silas kembali. Tapi, katanya sampai jumpa? Apa benar akan bertemu kembali? Rasanya akan sulit bukan? Dia orang penting, dan aku? Ahh, semoga saja bisa ketemu lagi.
Pegawai di lantai empat jika tak ada Kezlin bisa bekerja santai, tak harus merasa diawasi dari balik ruang kerjanya. Ditambah lagi CCTV yang memantau mereka, rasanya mereka bekerja dalam tekanan. Arsha paham sekali soal itu, dia pun baru merasakannya saat di ruang rapat, aura negatif Kezlin begitu menguar membuatnya menciut.
Para pegawai Kezlin di lantai empat sempat menahan napas saat pintu lift terbuka, menampilkan sosok dirinya yang membawa barang-barang Kezlin.
"Ampun dah, Sha! Kukira Pak Kezlin!"
"Asemm, sampai tahan napas aku, hufft..."
Itu sebagian keluhan para pegawai Kezlin di lantai empat saat Arsha keluar dari lift, dia berjalan ke arah ruangan Kezlin. Ruangannya rapi, maskulin dan wangi parfum Kezlin. Di meja ia melihat sebuah pigura bayi mungil yang memeluk boneka kelinci putih, lucu sekali wajahnya.
Arsha hanya sebentar melihatnya, takut jika tiba-tiba Kezlin datang dan mengira Arsha berbuat aneh di ruangannya. Maka, Arsha pun keluar dari ruangan itu dan segera mendapat job, karena akan jam makan siang. Akan tetapi, sudah diambil alih oleh Putera, maka Arsha pun bisa duduk sebentar di ruang OB.
Bahunyaa terasa cukup pegal, karena mengikuti rapat yang tak pernah ia duga akan selama ini. Kezlin terlihat tak kembali ke ruangannya, karena buktinya Arfina kembali dengan wajah cemberut.
"Pak Albin pergi ya sama Pak Kezlin?" tanya Oda menggoda Arfina.
Arfina melirik Oda, "Diam kau!"
"Hmm, pantesan mukamh ditekuk gitu." Oda cengengesan.
"Kok kamu tahu, Da? Sejak kapan kau berubah jadi cenayang?" tanya Arsha sambil memukuli bahunya.
"Tahu donk, karena ya, di mana ada Pak Kezlin, di situlah Pak Albin." Oda berkata.
Arfina melempar serbet pada Arsha dan Oda sambil cemberut keluar ruangan. Oda tertawa sementara Arsha hanya manggut-manggut. Para OB bertugas membeli semua makan siang yang dipesan para pegawai, ada yang tak ingin memesan karena akan makan sendiri di luar, ada yang makan siang sambil meneruskan pekerjaannya.
Sedangkan para OG mempunyai jam istirahat standart, mereka memilih makan siang di warung nasi yang ada di sekitar kompleks gedung di barat Karasi. Oda dan Arsha memesan nasi pecel madiun yang nikmat dengan segekas teh hangat yang harum.
Di tengah acara makan siangnya, ponsel Arsha berdering, nama Satya muncul di layarnya. Seketika Arsha meminum tehnya guna mendorong gumpalana makanan yang telah ia kunyah.
"Halo, Sat."
"Sha, masih di tempat kerja ya?"
"Iya, tumben kamu telepon jam segini?" tanya Arsha.
"Iya, aku sudah di Jakarta ini lagi, nanti sore aku jemput ya, aku bawain kamu oleh-oleh dari Sulawesi."
Sore ini! Mampus kau, Sha. Si Dean mau disembunyiin di mana? "E, sore ini ya?" tanya Arsha gugup.
"Iya, ini aku sudah di kosan, aku kangen banget sama kamu, Sha."
"Aku juga kangen sama kamu, Sat. Tapi enggak usah jemput ya, kamu langsung ke rumah aja nanti jam enam gitu."
"Ya sudah, sekalian kita makan malam di luar ya, aku mau tunjukkin kamu sesuatu sama oleh-oleh buatmu, banyak loh." Satya memberitahu.
"Iya, iya, aku makan dulu ya."
"Makan yang banyak, kamu terlihat kurus di video call kemarin." Protes Satya.
Arsha hanya tersenyum canggung, yang ada di benaknya adalah bagaimana ia menjelaskan pada Satya soal Dean, bayi berusia enam bulan yang ia rawat di rumah. Selama ini, Satya tak pernah tahu jika Arsha merawat seorang bayi yang ditemukannya. Yang Satya tahu, Arsha adalah gadis single yang cantik dan manis kekasihnya selama enam bulan ini, mereka LDR antar pulau.
"Kok grogi gitu sih, Sha? Dari cowok kamu 'kan tadi?" tanya Oda pada Arsha.
"Iya, tadi dari Satya, dia sudah di Jawa lagi, dan mau ketemu."
"Cieee, cieee, ada yang ketemu ayanknya nih, cieee, bawa oleh-oleh banyak 'kan? Bagi loh!" Oda menggoda Arsha.
Arsha hanya mengangguk pasrah, ia kepikiran soal Dean yang harus ia ke manakan jika Satya datang ke rumahnya. Jelas ada banyak barang-barang Dean tersebar di seantero rumahnya, akan jadi tanda tanya besar di benak Satya, bagaimana ada bedak, sepatu, pakaian, mainan bayi di rumah seorang gadis yang belum melahirkan, menikah saja belum?
Seketika nafsu makan Arsha lenyap, digantikan dengan mencari cara agar bisa membuat Satya mengerti bahwa ia sekarang tinggal bersama seorang bayi. Dean, bayi imut nun menggemaskan itu.
