Kehilangan-4
Flashback
Asta sangat senang menjalani hari-harinya menjadi seorang mama, dia tak henti-hentinya bersyukur karena mempunyai bayi lelaki pertamanya yang imut dan setampan suaminya.
"Alucio, Sayang." Asta menggendong dan menciumi pipinya lembut.
Kezlin yang melihat hal itu pun tersenyum, kebahagiaan mewarnai hidupnya. Asta-isterinya yang cantik menimang puteranya dengan kasih sayang yang besar. Kezlin mendekat, mencium kening Asta kemudian kening Alucio, tak hanya itu, ia mencium pipi empuk puteranya juga.
Di sisi lain, Reinya yang melihat kemesraan ketiganya hanya bisa menahan sedih, mengelus perutnya yang besar sendirian. Seandainya kamu masih hidup, mungkin aku juga akan dilimpahi kasih sayang seperti Asta, Bram. Reinya berbalik, ia tak mau laranya semakin menjadi ketika melihat Asta-sepupunya-dengan suaminya yang romantis.
Reinya mengelus perutnya yang besar di kamarnya, janin yang berusia sembilan bulan itu sebentar lagi lahir. Tapi, sudah dalam tak berayah, suaminya-Bram-sudah tinggal nama setelan kembali ke Indonesia. Kapalnya tenggelam dan semuanya merubah kehidupan Reinya.
Gaya hidupnya yang serba ada kini berubah, bahkan Asta mengiba padanya mengajaknya tinggal bersama karena dalam keadaan hamil dan Reinya sudah yatim piatu, Reinya awalnya menolak, tapi karena Kezlin tak keberatan maka di sinilah dia saat ini.
"Rei, sedang apa? Kok enggak keluar?" tanya Asta sambil menggendong bayinya yang berusia dua bulan.
"Iya, sebentar lagi."
"Rei, yakin sudah lengkap semua perlengkapan bayimu? Kalau ada yang kurang kita bisa membelinya, sekalian aku mau ke toko bayi beli perlengkapan Alucio." Asta menanwarinya.
Reinya berpikir, rasa sedihnya tak kunjung hilang, pergi keluar pasti akan membuatnya rileks. Pun bangkit, mengambil tasnya dan meluar dari kamar Reinya.
Asta membawa stroller Alucio agar bayinya nyaman. Kezlin yang akan pergi berangkat ke kantor bertanya,
"Mau ke mana?"
Asta bersama Reinya mendekat, "Kami mau ke Keziè Baby Shop." (Toko perlengkapan bayi milik Ashlyn : Our Love)
"Biar Pak Jaka yang antar kalian ya. Belilah apa yang jadi kebutuhanmu dan bayimu, Asta dan aku sudah anggap kau seperti adik sendiri, Rei." Kezlin berkata dan tersenyum.
Dia benar-benar tampan dan baik, beruntungnya Asta miliki suami yang gagah, tampan dan sebaik Kezlin. Reinya mengangguk dan berterima kasih. Kezlin pergi lebih dulu, ia mencium kening isteri dan anaknya pamit ke kantor, setelahnya Pak Jaka membantu memasukkan stroller ke bagasi dan pergilah ketiganya ke luar.
Keziè Baby Shop berada di lantai satu Marisa Mall, tak perlu menaiki tangga atau lift agar sampai, ada pintu yang terhubung ke dalam mall, memudahkan pengunjung untuk kembali ke dalam melihat-lihat mall.
Asta menaruh bayinya di dalam stroller, mendorongnya sambil tersenyum, sementara Reinya pun berjalan di sisinya. Melihat-lihat perlengkapan bayi membuatnya sedikit melupakan kesedihannya. Bram memang meninggalkan sejumlah tabungan yang memang untuk persalinannya nanti, mau normal maupun sesar.
Tapi, Asta yang memberikan banyak barang untuk keponakannya. Reinya hanya membeli beberapa saja yang memang penting. Janin Reinya bergerak, seolah ia tak sabar lagi untuk segera lahir. Hanya tinggal menghitung hari Reinya akan bertemu dengan anaknya, janin yang berjenis kelamin lelaki itu dipastikan sehat dan tak ada masalah serius.
Asta membelikan Alucio beberapa sepatu bayi dan pakaian. Kasir sudah membungkus belanjaan Reinya, maka Asta melihat-lihat bersama Alucio. Barang belanjaan Asta di taruh bagasi, dengan menimang anaknya tanpa ia sadari langkah Asta semakin mendekati jalan, Reinya yang melihat ada mobil berada di jalur Asta pun bergerak cepat untuk meraih lengannga.
Asta berhasil menepi, tapi justru Reinyalah yang menggantikan tempat Asta, mobil itu menabrak tubuh Reinya hingga terpelanting ke belakang, seketika air keluar dari pangkal pahanya diiringi oleh rintihan, darah merembes dan tangisan Reinya tak terelakkan. Segera Pak Jaka membawa Reinya ke rumah sakit, di sisi lain Asta bingung karena Reinya setengah sadar merintih kesakitan memegangi perutnya.
Penabrak Reinya juga ikut mengantar ke Phalosa, di sana Reinya segera dapat tindakan untuk menolong dirinya dan bayinya. Asta panik, Alucio menangis kencang, ia pun menyusuinya sambil menimang.
"Tenang ya, Sayang. Ada mama," ujar Asta lembut di sela paniknya.
Asta menelepon Kezlin, memintanya segera datang ke rumah sakit. Reinya merintih kesakitan, sementara dokter dan suster memeriksa janinnya. Reinya meminta pada dokter untuk segera selamatkan bayinya, bayi itu adalah buah cintanya dengan Bram, kenang-kenangan hidup yang amat ia cintai.
Reinya makin menangis ketika suster berkata jika detak jantung janinnya melemah, mereka segera bertindak operasi sesar, Reinya berdo'a dalam hatinya agar Tuhan memberinya kekuatan dan keselamatannya dan janinnya.
Kezlin datang, ia melihat Asta panik dan menangis pun menenangkannya. Asta menjelaskan apa yang terjadi pada Kezlin, rengkuhan tangan suaminya menenangkannya sejenak. Orangtua Kezlin datang setelah diberitahu jika Reinya-sepupu Asta mengalami kecelakaan.
"Asta, kamu dan Alucio enggak apa-apa 'kan, Nak?"
Asta menggeleng, "Aku dan Alucio enggak apa-apa, Ma. Tapi Reinya dan bayinya..."
"Mereka pasti akan baik-baik saja, Ta." Mama Kezlin menenangkan Asta.
Kezlin menggendong Alucio, sementara mamanya menenangkan isterinya. Papa Kezlin pun tak hanya diam, dia juga ikut mendampingi Asta. Pria yang menabrak Reinya sedang dimintai keterangan oleh pihak kepolisian, ia merasa berada di jalur yang benar dan justru Reinyalah yang berada di jalurnya. Semuanya menunggu persalinan Reinya, barulah bisa bertindak.
Dokter keluar, menanyakan siapa keluarga Reinya. Asta yang maju dan mengatakan jika ia adalah keluarga dekat Reinya, karena tak yatim piatu dan suaminya meninggal, kondisi terkini Reinya dan bayinya diberitahukan pada Asta.
"Detak jantung janin melemah, sementara kondisi ibunya juga kelelahan kami melakukan operasi sesar, dan kami minta maaf karena janinnya sudah meninggal saat dikeluarkan."
"Astaga...." tangis Asta yang segera dipeluk suaminya.
"Dokter, dokter! Pasien mengalami pendarahan!" Suster dari dalam datang tergopoh-gopoh memberitahu dokter kandungan itu.
Segera dokter kembali masuk ke dalam. Semuanya makin panik, tapi hanya bisa menunggu dokter itu keluar memberitahu mereka lagi. Dokter benar kembali, tapi meminta persetujuan untuk mengangkat rahim Reinya, Asta tak bisa memutuskan. Tapi mau bagaimana lagi, itu akan membahayakan keselamatan Reinya.
Atas pembicaraan yang singkat antara Asta, Kezlin, papa dan mamanya maka ia pun menyetujui itu semua. Mereka akan membantu memberi pengertian pada Reinya soal itu nanti setelah sembuh. Asta terpukul, ia merasa menjadi penyebab meninggalnya janin Reinya dan kini rahimnya juga diangkat.
"Aku harus bagaimana jika Reinya marah padaku, Kezlin..."
Kezlin memeluk Asta, "Aku yang akan mendampingimu bicara padanya. Kamu tenang ya."
Bayi Reinya dibawa ke kamar jenazah, sementara Reinya dibawa ke ruang rawat inap setelah operasi besarnya. Mereka menunggu Reinya sampai sadar dengan berdo'a agar Reinya bisa sabar soal dirinya dan bayinya.
Reinya mengerjab, ia merasa lelah luar biasa dan bagian perut bawahnya terasa ngilu sekali. Ia teringat satu hal, bahwa dokter berkata jika detak jantung bayinya melemah.
"Bayiku... bayiku mana..." erang Reinya. Asta segers mendekat, ia menangis.
"Reinya, ini aku Asta, kamu sudah sadar." Asta mendekati Reinya dengan derai air mata.
"Asta, di mana bayiku, aku mau melihatnya." Reinya menahan sakit untuk bangkit namun ditahan Asta.
"Reinya tenanglah, bayimu sudah meninggal saat dilahirkan."
Reinya terdiam, air matanya beku, hatinya terada diremas kuat-kuat. "Jangan becanda, Kezlin. Aku mau ketemu bayiku, aku mau menyusuinya."
"Bayimu sudah meninggal, Reinya. Maafkan aku, demi menolongku kamu mengalami ini semua..." tangis Asta.
"Enggak benar 'kan Tante, Om. Bayiku masih hidup 'kan? Bayiku enggak mungkin meninggal, aku masih merasakannya bergerak di rahimku." Reinya menangis.
"Sabar, sabarlah Reinya. Jenazah bayimu masih diurus dan akan segera dikebumikan nanti."
"Tidak!! Bayiku masih hidup, aku mau bayiku, bayiku, bayiku...." tangis Reinya tak terima. Ia membuang sprei dan bantal, ingin turun melihat bayinya.
Kezlin memencet tombol di sisi Reinya yang menangis histeris. Dia menjerit karena lara di hatinya. Suster datang dan segera diberitahu jika Reinya mengamuk pun segera menyuntikkan obat penenang. Wajah Asta yang menangis, dan Kezlin menatapnya sedih terakhir kali ia lihat sebelum gelap menenggelamkannya. Bayiku masih hidup, bayiku masih hidup...
Asta dan Kezlin berpelukan, kesedihan seketika datang pada keluarganya. Mama dan papa mertua Asta menenangkannya, tak mau Asta terus menyalahkan dirinya sendiri.
"Ini bukan salahmu," bisik Kezlin memeluk erat Asta.
"Dia kehilangan bayinya, rahimnya juga diangkat, dia tak akan bisa punya anak lagi, dan itu karenaku..." tangis Asta.
Kezlin mempererat pelukannya, "Semuanya merupakan takdir Tuhan, Asta. Aku yakin, Reinya bisa tegar hadapi ini semua."
