Pipi Tembam-8
Mimpi Arsha terputus dini hari, telinganya menangkap Dean yang mengoceh, kepalan tangannya masuk ke dalam mulutnya dan disedot hingga menimbulkan decapan, sambil bergumam seolah sedang berbicara dengan seseorang. Arsha pun membuka matanya sedikit.
Arsha mengelus rambut lebat Dean, "Dean, Sayang. Kakak masih ngantuk banget, masih jam satu, mamu bobok lagi ya."
"Oo, aa, mammm mammm," gumam Dean yang kadang setengah memekik dan kembali memasukkan kepala tangannya di mulut.
Mata jernihnya menangkap sosok berpendar yang mendekatinya, wanita itu tersenyum pada Dean. Kedua kaki Dean diangkat, bermain tali kaos kakinya selalu membuatnya senang. Wanita berambut hitam itu mengecup pipi Dean sayang.
"Jangan nakal ya, anak mama yang tampan. Temui papamu, bawa tante cantik padanya, ya." Wanita itu tersenyum, mengecup kening Dean dan menjauh. Dean merengek.
"Mmamm, mamm!" Dean memekik dan menangis, tangannya meraih wanita yang pergi dari kamar Arsha, langsung membuat gadis yang terpejam matanya itu bangun seketika.
Arsha melihat Dean berguling ke arah lain, dia tengkurap dan menangis sesenggukan.
"Dean, Sayang. Ada apa?" tanya Arsha yang meminta perhatian Dean.
Tangan Dean terulur ke arah pintu kamar Arsha, membuat gadis itu menjadi curiga. Arsha memberikan botol susu yang tinggal seperempat pada Dean, "Kamu tunggu di sini ya, jangan-jangan ada pencuri!"
Arsha mengulurkan tangannya seperti jurus silat yang tak pernah ia pelajari, dia membuka pintu kamar, melongok keluar, dia merapat ke tembok dan menoleh kanan-kiri, secepag kilat ia berlari ke arah dapur mengambil panci dan sundip kayu.
"Arsha tak bisa silat, tapi jika ada maling, jelas kukeluarkan silat seadanya!" Arsha melangkah mantap sambil mengulurkan panci dan spatula seperti bersiap perang.
Ujung sundip membuka gagang pintu, ketika terbuka sedikit langsung ditendangnya, "Ciaaattt!!!"
Pintu itu terbuka dan terpental saking kencangnya Arsha menendang. Di dalam kamar lain, Dean yang meminum susunya menyahut,
"Ng, oo, eee."
"Sebentar, Dean, pencurinya belum ketemu!" Arsha menyahut.
Dean kembali menyedot susunya, tangannya menarik telinga boneka kelinci dan memainkannya, mengetuk-ketukkan di dadanya. Ia berguling ke samping kanan, matanya menangkap mata kelinci yang bundar, bergumam sendiri. Sedangkan di luar, Arsha masih saja memburu sosok yang dikiranya sebagai pencuri.
"Jangan-jangan dia sembunyi di lemari!" Arsha segera mendekati lemari pakaiannya yang tinggi, ia menyibak cepat gantungan baju di dalam, kosong.
Matanya segera beralih pada lemari pakaian Dean yang hanya setinggi pinggang, ia membukanya cepat dan kosong juga.
"Sembunyi di mana kau, sialan!" Arsha menjatuhkan tubuhnya di lantai, tengkurap untuk melihat di bawah kolong tempat tidur. Hanya ada sepatu sebelah Dean dan beberapa kaos kaki yang kemarin dicarinya.
"Huftt, aman. Masih ada tempat lain yang harus diperiksa.
Masih berbekal peralatan dapur, ia melangkah ke arah kamar mandi, mendekatkan telinganya di pintu, kemudian membuka pintu kamar mandi dengan cepat dan menyiapkan kuda-kudanya, lagi-lagi ia mendesah karena hanya ada tetesan air kran.
Ia melongok ke kamar utama, Dean yang berguling memeluk boneka kelincinya, pipinya menumpuk hingga bibir tipisnya terbuka, matanya menutup sempurna. Tapi, Arsha masih penasaran mengapa Dean menangis menuding pintu luar, kakinya melangkah keluar kamar, ia membuka pintu utama, lorong flat kosong, sepi dan seperti biasa. Hanya ada jangkrik yang mengerik, menutup dan menguncinya. Barulah Arsha lemas, seketika kantuknya menyerang. Ia melangkah gontai ke kamarnya kembali.
Ia menaiki ranjang di mana Dean sudah tertidur kembali. Tangannya membetulkan mulut Dean yang terbuka, hanya sedetik karena mulutnya kembali ke posisi semula.
"Pipimu gembul banget sih, sampai enggak bisa menutup mulutnya. Gemes!" bisik Arsha mencium pipi Dean.
Pipi itu memerah sekilas, bibirnya mengatup mencecap sisa susu dan kembali nyenyak. Arsha berbaring di sisi Dean, menatap langit-langit kamar.
"Gimana dengan orangtuamu, Dean? Apakah mereka tidur tenang tanpamu? Atau mereka justru bahagia? Jangan-jangan mama dan papamu sedang pesta karena tak ada kamu? Kurang ajar! Awas saja kalau benar begitu! Akan kubejek-bejek mereka berdua ya!" Arsha kesal dengan pemikirannya sendiri.
Arsha menguap. Ia menyerah pada kantuknya, terlelap bersama Dean, memeluknya sambil menciumi tangannya yang kecil.
♧
Sepatu hak tinggi berwarna merah menyala itu menapaki tanah berpaving, tak jauh dari gerbang utama, kakinya berhenti melangkah, ia berbelok menyusi rerumputan setinggi lima senti. Di tangannya terdapat dua buket bunga besar yang harum dan sebotol air mineral.
Senyumnya terukir ketika melihat nisan putih dengan ukiran nama Naldo-anaknya yang meninggal waktu melahirkan. Ia duduk berjongkok anggun dan mengusap nisan anaknya seraya berdo'a.
Anakku, mama datang. Apa kabarmu, Sayang. Mama datang lagi, selalu merindukanmu. Reinya menaruh satu buket bunga di makam anaknya sambil tersenyum lirih. Ia berpaling pada sisi makam yang lain, di mana makam suaminya berada. Ia berdo'a dan mengelus nisan keduanya.
Tak ada lagi yang kuberatkan di dunia, aku akan rebut posisimu, Asta. Reinya berjalan mantap, menjauh dari makam kedua orang yang disayangingya, suami dan anaknya yang bersatu dengan tanah.
Reinya mengibaskan celana merahnya yang ditempeli patahan rumput pemakaman. Matanya menangkap satu nisan yang selalu ditaburi bunga setiap harinya, makam di mana sepupunya berada, Asta. Bibir Reinya tertarik ke belakang sebelah. Ia mendekat beberapa langkah.
"Apa kabarmu, Asta? Kau bertemu anakku di surga? Jika iya, minta maaflah padanya, karenamu dia tak bisa melihat indahnya dunia, karenamu dan anakmu, anakku meninggal." Wajah Reinya berubah sendu, namun seketika senyumnya mengembang lagi.
Ia berbalik, keluar dari pemakaman umum dan melangkah masuk ke mobilnya. Apa kabarmu, Kezlin? Aku kembali dengan Reinya yang baru, tak ada lagi Reinya yang menangis sedih meratapi kesedihan anakku, anakku sudah tenang, tapi aku tidak akan tenang sebelum mendapatkamu. Akan kurebut apa yang dimiliki Asta.
Sisa harta Bramastya ia manfaatkan untuk investasi pada sebuah butik besar yang terkenal, pemiliknya sangat baik dan sukses. Maka dari itu, saat ia kembali, Reinya berubah menjadi wanita kelas menengah ke atas yang cantik. Dandanannya pun berubah tak seperti Reinya yang dulu.
Reinya pulang ke rumahnya sendiri, usai bertemu Lionela, dan mengunjungi makam orang yang disayanginya, ia mau melihat apakah barang-barangnya ditata rapi di rumah barunya. Pembantu rumah tangga yang masih muda namun rajin mendekatinya.
"Bu Reinya ingin sesuatu?"
Reinya tersenyum, "Tidak, aku akan panggil kamu jika butuh sesuatu."
Tuti pun mengangguk, mengundurkan diri. Sedangkan Reinya, melihat-lihat isi rumahnya yang dibeli dengan hasil investasinya. Reinya duduk di kursi sofa yang pas dengan tubuhnya, tinggi dan empuk berada di tengah ruangan. Daei duduknya, ia bisa melihat ke seantero dalam rumahnya. Reinya mendesah, teringat bagaimana saat ia diusir dari rumah mertuanya.
"Kamu ngapain pulang ke mari, huh!" bentak wanita paruh baya yang berdandan menor pada Reinya di depan pintu.
"Ma, aku tetap menantu Mama meski Mas Bram sudah meninggal bukan?"
Mama mertua Reinya berdecak, "Menantu apa? Kamu gagal memberi keturunan dari Bram! Pergi kau dari sini!"
Reinya memejamkan matanya kemudian membuka sekejab. Bamgkit dan beranjak keluar dari rumah begitu saja. Ia mendatangi Karasi Tbk sore ini, di mana akan menemukan Kezlin di lantai empat perusahaannya. Tak perlu ijin khusus untuk bertemu dengan Kezlin, baginya Reinya adalah sepupu mendiang isterinya.
Sepatu hak tingginya mengetuk ruangan berkubikel itu, di dekat ruangan Kezlin, ia bertemu Latif tapi kakinya masih terus melangkah membuka ruangan Kezlin sambil tersenyum, senyumnya mendadak pudar saat melihat hanya ada OG yang membersihkan ruangan Kezlin.
Reinya berbalik, Latif berjalan mendekatinya, "Di mana Kezlin?"
"Pak Kezlin dan Pak Albin belum kembali dari jam makan siang atau kemungkinan besar tak akan kembali." Latif melihat arlojinya, pukul 15.55 WIB.
Reinya melihat kembali ruangan, mejanya rapi. Ia mengulum, rencananya untuk bertemu Kezlin gagal.
"Ya sudah, tak usah beritahu aku datang. Aku alan ke mari besok." Reinya tersenyum pada Latif.
Latif melihat ke ruangan bosnya memang tampak rapi, ia tak yakin bosnya akan kembali ke kantor di jam seperti ini. Pegawai yang berada di kubikel pun bersiap pulang.
Arsha membawa baki berisi cangkir kopi milik Kezlin dan melihat wanita berpakaian merah menyala dan berdandan menor melenggang pergi.
"Pak Kezlin enggak balik lagi?" tanya Aesha memastikan, dia akan membersihkan lantai empat jika bos besarnya tak kembali.
"Kamu bersihkan aja seperti biasa, kembali atau tidaknya aku tak tahu," jawab Latif pada Arsha.
Arsha hanya ber-oh ria dan segera membawa baki itu ke ruang dapur. Kembali lagi dan mulai membersihkan lantai empat itu. Latif berkemas saat Arsha bersih-bersih, memo dalam ponselnya berbunyi, malam ini ada jadwal imunisasi.
Aduh, aku lupa kalau ada imunisasinya Dean! Jangan sampai Bidan Warti ngamuk dan ngomelin kayak waktu itu, mama enggak becus, mama enggak sayang anaklah, haduhh... Dengan sigap Arsha membersihkan tak kenal lelah. Afina yang mengecek pekerjaaan Arsha, tak ada komentar, ia melihat sosok Latif yang sangat ia kagumi sedang membereskan mejanya, sedangkan Arsha masih membersihkan ruangan Kezlin.
Denting pintu lift terdengar, Latif yang baru saja mau beranjak pergi pun urung, ia melihat Kezlin berjalan ke ruangannya disusul Albin di belakangnya.
"Ada yang ketinggalan, Pak?" tanya Latif.
"Ya, sesuatu." Kezlin melangkah masuk ke dalam ruangannya.
Ia melihat salah satu OB-nya membersihkan meja di belakang meja utama.
"Sudah dibersihkan?" tanya Kezlin mengagetkan Arsha.
Lantas gadis OB itu berbalik dan menyemprot wajah Kezlin dengan cairan pembersih.
"Apa yang kau lakukan!!" Kezlin mengusap wajahnya.
"Oh, maaf, Pak. Saya kaget, Bapak sih ngagetin saya," cerocos Arsha sambil mengusap wajah Kezlin dengan lap.
Tangan Kezlin menampik tangan Arsha yang mengusap wajahnya dengan lap, seketika wajah Kezlin memerah, ia mengambil banyak tisu dan pigura Alucio yang tengkurap, melenggang pergi begitu saja.
"Pak, Pak, Saya minta maaf, Pak. Saya tidak sengaja," ujar Arsha yang menghentikan langkah Kezlin keluar ruangan.
Kezlin berhenti melangkah, menatap Arsha tajam, "Kerja yang benar, kalau mau tetap digaji! Bisa 'kan bedakan kaca dengan muka saya?"
"Bisa kok Pak, maaf, Pak. Jangan pecat saya, Pak. Saya harus hidupi bayi enam bulan, kasihan dia Pak kalau saya pengangguran lagi," cerocos Arsha padahal Kezlin sudah pergi dan Arfina mencubit lengan Arsha. "Aww, sakit, Finaa!"
Arfina merasa gemas sekali, bagaimana bisa ia melakukan kesalahan. "Apa yang sudah kau lakukan!"
"Aku tak sengaja, Fina!" Arsha berkata sambil menggigit kukunya panik. Arfina melenggang pergi.
Latif hanya menggelengkan kepala sementara Albin sudah mengikuti langkah Kezlin turun. Ia menepuk pundak Arsha dan pergi.
