Menemukan-9
Ya Tuhan, aku ini kenapa sih, kok sampai ngelap wajah Pak Bos pakai lap kaca? Aduhh ceroboh sekali! Arsha mengambil tas kerjanya di loker sambil mengetuk kepalanya sendiri. Duh, kalau sampai dipecat, gimana beli susunya Dean? Diapersnya? Bayar Bi Anti? Bayar sewa? Buat makan? Astaga, masa iya aku pupang ke desa? Apa kata orang-orang kampung aku pulang bawa bayi? Nenek aja enggak tahu kalau aku ngasuh bayi! Arsha terduduk meraup wajahnya dengan kedua tangan.
"Semoga saja Pak Kezlin enggak sampai pecat aku ya, semoga saja." Arsha menyambar tasnya di atas meja dan pergi keluar ruang OB-OG. Dia keluar paling akhir sampai satpam hampir saja mengeceknya, tapi Arsha sudah keluar lebih dulu.
Arsha mengambil sepeda matic-nya dan pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan, ia memikirkan nasib pekerjaannya, nasib dirinya dan nasib Dean. Semoga Tuhan berikan banyak rejeki buat kamu Dean.
Arsha memarkirkan sepedanya di halaman flat dan segera menaiki tangga ke rumahnya, tak mampir ke toko Bi Anti lebih dulu dan membuat Dean merengek minta gendong. Pun membersihkan diri, dan melihat pakaian kotor Dean yang menumpuk di keranjang cucian.
"Oke habis dari Bidan Warti langsung cuci pakaian Dean, hhh lapar-lapar!" Arsha menggosok wajahnya dengan handuk sambil memamah biak, mengunyah dua lembar roti bersamaan dan alhasil tersedak, air minum dingin mendorong gumpalan yang menyumbat tenggorokannya.
Ia mengoles bedak tabur dan lipstik merah muda dan mengusap sedikit gel parfum ke lehernya. Tak lupa ia membuatkan susu hangat dalam botol untuk Dean yang baru, barulah ia pergi ke luar flat. Di toko, ia mendengar rengekan Dean.
"Dean, Sayang!"
"Mmma, mmm, maa," rengek Dean mengulurkan tangannya meski dalam gendongan Bi Anti.
Arsha mengambil alih gendongan Dean. Gendongan yang bisa dipakai beberapa model terutama gendongan model kanguru jelas membuat Dean merasa nyaman bisa melihat wajah Arsha. Dia tersenyum menunjukkan giginya sambil berceloteh sendiri.
Dean menyandarkan kepalanya di dada Arsha, seolah ingin mengatakan bahwa ia merindukan Arsha.
"Dean udah makan, bubur yang kamu buatkan, dia doyan sekali makan." Bi Anti memberitahu.
"Habis, Bi?" tanya Arsha.
"Habislah, malah masih buka mulutnya." Bi Anti membantu memasang sepatu di kaki Dean.
"Widih, motor metik tangki Ninja nih! Masih kecil kamu itu, lihat pipimu sampai kayak balon, Dean!" Arsha tersenyum mencium pipi Dean yang empuk.
Dean tertawa kecil sambil mengemut kepalan tangannya. Bergumam dan terkadang menyandarkan kepalanya lagi di dada Arsha. Kepalanya sudah ditutupi dengan topi rajutan, membuat gemas siapapun yang melihatnya.
"Nanti jangan nangis ya, Dean Ganteng, sini Oma sun dikit!" Bi Anti menciumi pipi Dean.
"Kita berangkat! Bi, aku berangkat dulu ya,"
"Bawa ini, kali aja dia bosan." Bi Anti memberikan biskuit susu untuk Dean.
"Makasih, Bi Anti, Sayang!" Arsha mencium punggung tangan Bi Anti.
"Hati-hati, jangan ngebut." Bi Anti berpesan.
Arsha membetulkan jaket Dean, setelah yakin barulah ia menstarter sepedanya ke tempat Bidan Warti praktek. Hari ini jadwal imunisasi Dean, timbang juga untuk tahu perkembangan Dean. Tak jauh, hanya perlu melewati tiga kampung dan sampailah dia. Ada banyak sekali pasien, tentu saja, tapi beberapa pasien yang didominasi orang dewasa itu memberinya tempat untuk duluan.
"Aduh, ini dia Si Baby Ganteng, ditungguin kedatangannya sejak tadi. Apa kabarnya, cakep, duh kamu makin gendut ya!" Perawat yang bekerja dengan Bidan Warti menyapa Dean.
"Duh, iya, nih Mbak, makin berat aja nih gendongannya," ujar Arsha yang melepas gendogan Dean dan menaruhnya di tempat periksa.
Dean tersipu malu, wajahnya memerah dan tertawa kecil saat perutnya dicium oleh perawat yang berkerudung itu. Bidan Warti datang dari dalam dan tersenyum menyapa Dean.
"Ada bayi ganteng, timbang dulu ya." Bidan Warti meminta perawat untuk menimbangkan Dean.
Dean mengoceh pelan saat ditimbang, perawat bergumam sambil tersenyum melihat angka di timbangan dan memberitahu Bidan Warti yang sedang menyiapkan suntikan imunisasi.
"Beratnya delapan kilo sembilan ons, Bu." Perawat itu memberitahu Bidan Warti.
"Wah kamu makannya banyak ya, doyan ya?" tanya Bidan Warti pada Dean.
"Mmam, mamm, mammm!" pekik Dean yang bermain liurnya.
"Hayo, Dean tidak boleh mainan liur, ya." Arsha berbisik.
Arsha menggendong Dean dan memangkunya, mendekapnya erat sambil menggodanya sebentar. Wajah Dean memerah dan bibirnya berubah jadi isakan. Dean menangis.
"Sebentar ya, Dean, sebentar kok." Bidan Warti membujuk.
"Iya, enggak sakit kok." Arsha bicara pada Dean. Bidan Warti usai menyuntik dan memberikan kapas kecil yang diberi sedikit alkohol.
Dean masih menangis, Arsha menimangnya, menepuk punggungnya dan mendengarkan pesan Bu Warti soal Dean. Tak ada masalah kesehatan, Dean sehat dan normal.
"Duh, bulan depan ke sini ya, Dean Ganteng." Bidan Warti memberitahu.
"Ngg, ngg, mmam, mamm," rengek Dean yang masih merasakan lengannya yang sakit. Matanya masih merebak dan bibirnya bergumam dengan rengekan.
"Oke, Bu Bidan Warti," jawab Arsha.
Arsha membetulkan gendong kanguru Dean dan topi rajutannya. Mereka berdua pamit pulang, Arsha perlu membeli bensin untuk sepedanya, maka ia berbelok ke arah POM sebelum pulang ke rumah. Dean masih belum tertidur, dia diam memperhatikan apa yang dilihatnya malam itu.
Pegawai wanita POM tersenyum menggoda Dean yang tampan, bayi enam bulan lebih minggu itu tersenyum, membuat pegawai wanita itu senang melihat senyumannya. Arsha segera membawa Dean pulang, selain Dean terasa makin berat, ia pun merasa lapar, dua lembar roti tak akan mengenyangkannya.
Di pemberhentian lampu merah, Dean mengantuk, Arsha memeriksa keduatangan Dean sudah berada di bawah gendongan dan kepalanya nyaman berada di dada Arsha barulah ia fokus di jalan.
"Arsha," sapa seseorang yang berada di sisi kiri kendaraan Arsha.
"Eh, Pak Albin." Arsha membalas sapaan Arsha.
"Aku baru tahu kalau kau sudah punya anak, tidur ya dia?" tanya Albin yang menyetir sepeda motor pria melihat ke arah bayi yang digendong Arsha, Dean tidur menghadap arah lain.
"E, iya, Pak Albin. Dean baru saja tidur, habis disuntik imunisasi." Arsha menjelaskan. Albin mengangguk dan tersenyum.
Lampu hijau menyala, Arsha pamit pada Albin. "Pak, saya duluan ya."
Albin menjawabnya dengan klakson, mereka berpisah jalur, Arsha ke kiri dan Albin lurus. Setahuku para OG Karasi belum ada yang menikah? Albin membuyarkan pertanyaannya dan fokus ke jalan.
Arsha meluruskan punggungnya yang terasa pegal karena menggendong Dean. Bayi enam bulan lebih berpipi gembul itu terlelap nyaman, dot susunya ludes dihabiskannya. Dean berguling ke kanan, karena lengan kirinya terasa sakit, memeluk boneka kelincinya dengan bibir yang terbuka.
"Kamu lucu sekali, Dean."
Arsha berlalu, usai mencuci semua pakaian Dean, ia membuat nasi goreng darurat untuk perutnya yang berdemo meminta jatah makanan.
♧
Kezlin dan Albin menemui seorang pria berkumis tipis, mereka duduk di ruang kerja dengan tiga cangkir kopi dan sepiring kudapan.
"Aku meminta bantuanmu untuk mencari puteraku, orang sebelumnya tak bisa menemukannya selama empat bulan ini." Kezlin meminta dengan wajah serius.
"Aku terima," sanggup pria di depan Kezlin. Ia mengambil foto bayi Alucio. "Mengapa tidak kau beritahukan pada polisi mereka akan mencarinya bersama-sama."
"Dan keselamatannya akan terancam? Jelas siapapun yang menculik Alucio akan membuatnya bahaya dan meminta tebusan. Saat tebusan diberikan, Alucio tinggal nama? Tidak." Kezlin mengeraskan rahangnya membayangkan ia menyentuh jasad putera kesayangannya.
Pria bernama Ismail itu mengangguk paham ketakutan Kezlin akan puteranya, "Baiklah, aku akan kerjakan tugasku dengan baik. Akan kukabari segera."
"Siapapun yang menculiknya, tak akan kubiarkan hidup tenang." Kezlin berjanji dengan mata sendu penuh kerinduan.
Sedangkan di tempat lain, Reinya tersenyum dengan bibir berpoles lipstik merah menyala, memegang gelas berisi minuman berwarna senada dengan gaunnya, merah. Sinar bulan yang menerangi malam seolah menembus jendela kaca kamarnya.
Rengkuhan dan kecupan di puncak lengannya, menjalar lembut hingga terasa membangkitkan gairah. Jari Reinya meremas lembut rambut pria yang menempel di belakang tubuhnya.
"Aku suka kerjamu, menjauhkan bayi Asta dari Kezlin."
"Tentu saja, aku mengerjakannya dengan rapi, buktinya empat bulan mereka tak kunjung menemukannya bukan?" tanya pria itu tersenyum di telinga Reinya.
"Jadi, kau sudah tahu di mana Alucio berada?" tanya Reinya.
"Belum, masih kucari, segera kau akan dapatkan kabar dariku." Pria itu melingkari pinggang Reinya erat.
"Segera." Reinya meminta.
