Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6. Hati Nurani Melarang

Rumah petak, membuat Lyra dapat melihat keseluruhan ruangan. Ruang tamu dan dapur, hanya disekat oleh perabot kayu sederhana. Ibu, tidak ada di sini.

Lyra berlari ke kamar dan menyalakan lampu. Rumah ini hanya memiliki satu kamar tidur, biasa ibu dan anak akan tidur bersama. Kembali, ia tidak dapat menemukan sang ibu.

Perasaan Lyra mulai mengatakan bahwa ada yang salah dan mulai merasa takut. Ruangan terakhir adalah kamar mandi, yang ada di bagian dapur. Lyra berlari ke sana dan membuka pintu. Seperti perkiraan, ibunya terbaring di lantai kamar mandi, tidak sadarkan diri.

Hal pertama yang dilakukan adalah mengangkat tubuh kurus sang ibu, yang tidak sadarkan diri. Tubuh Lyra juga sama kurus dan kecil, tetapi tenaganya cukup kuat. Ia sering bekerja mengandalkan fisik dan di saat seperti ini, tenaganya amat bermanfaat.

Mengangkat tubuh sang ibu, di belakang punggung, Lyra keluar dari rumah. Menuruni begitu banyak anak tangga dan berlari ke jalan utama. Beruntung ada taksi dan mereka langsung masuk.

"Hei! Apakah dia mati?" tanya sang supir, yang tidak senang mendapatkan penumpang seperti mereka.

"Jika Tuan tidak segera melajukan taksi ini, maka itu mungkin akan terjadi!" seru Lyra, takut.

"SIAL!" maki sang supir dan langsung menginjak pedal gas dalam, menuju rumah sakit yang disebutkan Lyra.

Sepanjang perjalanan, Lyra memejamkan mata, berdoa. Ia hanya memiliki ibu, satu-satunya keluarga yang dimiliki. Lyra tidak akan mampu jika ditinggal sendirian. Memeluk sang ibu begitu erat, air mata mulai membasahi wajah cantiknya.

Menangis adalah hal yang paling tidak berguna, bagi Lyra itu adalah tindakan konyol. Terakhir kali ia menangis adalah saat sang ayah meninggal, sejak saat itu Lyra tidak lagi pernah menangis. Ini adalah pertama kali, setelah bertahun-tahun.

Taksi berhenti di depan pintu IGD rumah sakit, Lyra mengeluarkan uang dan memberikannya kepada sang supir. Lalu, turun dan kembali menggendong sang ibu di punggung kurusnya.

Masuk ke dalam ruang IGD, para perawat mulai membantu Lyra dan memindahkan sang ibu ke salah satu ranjang yang ada di sana.

"Apa yang terjadi?" tanya seorang perawat.

"I-ini kartu pasien ibuku. Ibuku adalah pasien dokter rumah sakit ini dan ia memiliki riwayat sakit ginjal," jelas Lyra, mengeluarkan kartu pasien sang ibu, yang selalu disimpan di dompet lusuhnya.

"Seharusnya, waktu diperjalanan kamu dapat menghubungi sang dokter, agar beliau dapat segera datang," seru sang perawat dan berlari ke meja perawat, untuk menghubungi dokter yang bertanggung jawab.

Ya, seandainya itu bisa dilakukan. Lyra tidak memiliki ponsel, selama ini ponsel jarang dibutuhkan. Keuangan yang pas-pasan, membuat Lyra memilih memenuhi kebutuhan utama terlebih dahulu.

Tirai di sekitar ranjang IGD, ditarik dan menghalau pandangan Lyra yang memang sudah kabur, karena tergenang air mata. Ia hanya berdiri membeku, menatap ke tempat itu, melihat bagaimana para perawat berlari ke sana kemari.

"Tunggulah di depan," ujar seorang perawat dan mengarahkan Lyra, ke ruang tunggu IGD.

Patuh, Lyra mengikuti sang perawat dan duduk di salah satu kursi yang ada di sana. Dalam benaknya, Lyra mulai menghitung sisa uang yang dimiliki dan itu tidak banyak. Lalu, apakah ada barang di rumah yang dapat dijual? batinnya. Selain televisi dan kulkas kecil, di rumah tidak lagi ada barang berharga.

Di ruang IGD.

Dokter yang menangani Nyonya Yee sudah tiba dan melakukan pemeriksaan. Tidak lama, ia meminta salah seorang perawat untuk memanggil wali, yaitu Lyra.

Lyra langsung berlari ke dalam ruang IGD, saat salah seorang perawat memanggilnya.

"Gagal ginjal kronis, stadium akhir. Zat yang seharusnya dibuang, saat ini menumpuk dalam tubuh. Solusi yang dapat dilakukan hanyalah transplantasi," jelas sang dokter.

Lyra, memucat.

"B-Berapa kisaran biaya?" tanya Lyra, tergagap.

Sang dokter menyebutkan nominal yang cukup membuat Lyra lemas. Bagaimana tidak, ia bahkan tidak tahu sebanyak apa uang dengan nominal itu. Begitu juga cara untuk mendapatkannya, Lyra benar-benar tidak tahu.

"Lakukan yang terbaik, aku akan mengusahakan biayanya," ujar Lyra, walaupun ragu bagaimana mengumpulkan uang tersebut.

Perawat mengarahkan Lyra ke bagian kasir. Ia harus membayar sejumlah deposit terlebih dahulu dan Lyra tidak memiliki uang.

"Aku, aku akan pulang dan mengambil uang," ujar Lyra dan berlari keluar dari rumah sakit, mencari telepon umum. Cukup sulit menemukan telepon umum sekarang ini. Berlari tiga blok jalan, barulah Lyra menemukan telepon umum. Mengeluarkan buku kecil yang terselip di dompet, buku yang berisi nomor telepon kenalan sang ibu, serta saudara jauh.

Setengah jam, Lyra sudah menghubungi setidaknya 30 nomor yang berbeda. Namun, semua sama, menolak bahkan tidak mendengarkan penjelasannya sampai selesai. Bingung, tidak lagi tahu, harus menghubungi siapa. Berjalan sempoyongan, Lyra meninggalkan telepon umum, menuju ke rumah sakit. Namun, saat tiba di depan gedung rumah sakit itu, Lyra tidak berani masuk.

Berdiri di sana cukup lama, dengan terpaan angin malam yang begitu dingin. Tubuhnya menggigil, Lyra spontan memasukkan kedua tangan ke saku rompi. Saat itulah, tangan Lyra menyentuh kartu nama yang diberikan Nyonya Amy.

Secercah harapan, menyinari jiwanya. Dengan tangan gemetar, Lyra mengeluarkan kartu nama itu dan menatap lama. Ini satu-satunya harapan yang dimiliki. Hati nurani, melarang. Namun, di hadapkan pada sisi jurang yang terjal, membuat Lyra harus mengesampingkan hati nuraninya.

Lyra tidak akan mengizinkan sang ibu, pergi meninggalkannya sebatang kara. Tidak, ia tidak sanggup. Jadi, menguatkan tekad, Lyra kembali berlari ke arah telepon umum tadi. Memasukkan uang logam dan menekan deretan nomor ponsel yang tertera di kartu nama mewah itu.

Menunggu dengan jantung yang berdebar kencang, Lyra khawatir apakah tawaran ini masih berlaku atau tidak.

Deringan ke delapan baru panggilannya diangkat.

[Halo.]

Suara khas milik Amy Kwan, terdengar di seberang panggilan.

"N-Nyonya, apakah, apakah tawaran tadi masih berlaku? Aku, Lyra Yee."

...

Hening, sejenak. Seakan Nyonya Amy butuh waktu untuk mengingat siapa dirinya. Namun, Lyra tidak tersinggung. Sebab, ia bukan siapa-siapa yang mampu membuat orang ingat akan keberadaannya.

[Ah, si gadis perawan. Tentu, itu masih berlaku. Namun, kamu harus melakukan beberapa rangkaian tes kesehatan terlebih dahulu.]

"T-Tapi, sebelum itu, apakah Nyonya bisa memberikan uang muka?"

[Ha ha ha!]

Suara tawa, penuh ejekan terdengar dari seberang panggilan.

[Dalam berbisnis, ada etika yang harus kamu pahami. Bahkan, belum tentu kamu memenuhi kriteria. Ini hanya penawaran awal dan masih banyak aspek yang harus kamu penuhi!]

"M-Maafkan aku, tapi aku butuh uang untuk deposit rumah sakit, ibuku," jelas Lyra.

[Aku tidak akan terpengaruh dengan kisah sedihmu. Aku seorang pebisnis, setiap hal harus jelas untung ruginya!]

"J-Jika begitu, izinkan aku meminjam uang dari Nyonya. Jika aku memenuhi kriteria untuk pekerjaan tersebut, aku akan membayar kembali uang Nyonya, beserta bunga. Namun, jika aku tidak lolos, maka aku akan membayar dengan bekerja 24 jam di klub," tawar Lyra. Ia tidak memiliki apa pun. Jadi, ia hanya dapat membayar semua pinjaman dengan tenaga, jika ia tidak memenuhi kriteria untuk pekerjaan gila itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel