Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5. Tugas Seorang Istri

   Keluar dari ruangan itu, pikiran Lyra mulai mengkalkulasi, apakah gajinya setelah dipotong, masih dapat memenuhi biaya hidup ibu dan dirinya. Tidak, itu tidak akan cukup. Artinya, ia harus kembali mencari satu pekerjaan tambahan. Tiga pekerjaan, Lyra ragu apakah ia akan masih memiliki waktu untuk tidur di rumah.

   Sama sekali tidak memikirkan tawaran gila itu, Lyra kembali ke pekerjaannya. Setelah apa yang terjadi, para rekan kerja mengalah dan membiarkannya bekerja di belakang saja. Mereka juga merasa iba terhadap kemalangan Lyra Yee.

***

   Kembali ke kediaman besar Keluarga Zhang.

   Aurora, begitu berang. Bagaimana bisa ia diperlakukan seperti ini. Ia bukannya mandul, hanya ada masalah dalam sistem reproduksinya. Namun, mengapa ia harus menerima penghinaan seperti ini.

   Membanting sisir ke atas meja rias, Aurora berdiri. Gaun tidur sutera yang begitu indah, memeluk tubuhnya. Ia harus menemui suaminya.

   Suami istri, menempati kamar terpisah. Tentu ini adalah pengaturan Dastan, yang tidak suka ada orang lain tidur di ranjangnya, termasuk sang istri. Jika ia ingin, maka Dastan akan pergi ke kamar sang istri untuk bercinta. Setelah semua selesai, maka Dastan akan kembali ke kamarnya sendiri.

   Saat ini, Aurora tidak lagi peduli dengan larangan Dastan, yang tidak mengizinkannya sesuka hati datang ke kamar tidur pria itu.

   Keluar dari kamar dan berjalan ke ujung koridor. Tidak repot mengetuk pintu, Aurora langsung memutar kenop pintu.

   Dastan yang berdiri di depan jendela raksasa dengan segelas wiski di genggamannya, berdiri di tengah ruangan yang gelap. Ia bahkan tidak repot untuk menyalakan lampu.

   "Apakah kamu lupa, kamu tidak bisa sesuka hati masuk ke kamar ini?" tanya Dastan tanpa berbalik. Suara baritonnya, membuat bulu kuduk Aurora merinding.

   Awalnya, Aurora begitu marah, hanya amarah yang dirasakan. Namun, begitu mendengar suara pria itu, Aurora mulai merasa takut. Dastan Zhang, memiliki aura yang mampu membuat orang-orang merasa segan, di saat pria itu hanya terdiam. Namun, saat Dastan mulai berbicara, maka akan membuat orang-orang mendengar dan tidak mampu mengabaikan ucapannya. Walaupun, mereka telah menikah, tetapi Aurora sama sekali tidak mengenal pria itu. Mereka jarang berbicara, apalagi bertemu. Hanya pada saat pria itu ingin, mereka akan bercinta.

   Dengan gerakan anggun, Dastan berbalik, menghadap Aurora yang berdiri di dekat pintu kamar.

   Seperti biasa, istrinya itu terlihat begitu rapuh. Namun, gaun tidur sutera itu menonjolkan lekukan tubuh indah wanita itu. Hanya saja, keindahan itu tidak mampu membakar gairahnya begitu saja. Tidak hanya dengan Aurora, dengan wanita lain, Dastan juga tidak pernah merasakan apa yang namanya percikan gairah berapi-api. Namun, dirinya adalah pria dan seks adalah bagian dari kehidupannya.

   "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Dastan, sambil meletakkan gelas wiski ke atas meja sudut.

   Menelan ludah, Aurora merasa tenggorokannya tercekat. Bahkan, pesona pria itu mampu membuatnya lupa dengan semua hal yang ingin diutarakan.

   Dastan Zhang, terlihat seperti patung Dewa Yunani, yang terpahat sempurna. Saat ini, rambut hitam legam milik Dastan sedikit kusut. Kancing kemeja putih yang dikenakan pria itu, telah dibuka mencapai pusar. Memamerkan dada bidang dengan pahatan otot yang sempurna, belum lagi warna kulit yang kecoklatan. Satu kata yang tepat menggambarkan pria itu, yaitu maskulin.

   Dengan malas, Dastan melangkah ke arah pintu. Kamar ini adalah wilayah teritorialnya dan ia tidak suka, Aurora masuk ke kamar ini.

   Berhenti tepat di hadapan istrinya itu, Dastan menunggu, menunggu jawaban.

  "A-Aku, aku...."

   Pikiran Aurora, kosong. Berdiri begitu dekat, membuatnya dapat merasakan suhu tubuh Dastan, yang begitu hangat. Pesona pria ini, benar-benar membuatnya bertekuk lutut. Jika sekarang Dastan ingin bercinta, maka ia akan dengan senang hati menyambut kehangatan itu.

   "Jika tidak ada yang ingin kamu katakan, maka pergi!" tandas Dastan, tidak lupa menutup pintu kamar tepat di depan wajah Aurora.

   Butuh beberapa saat bagi Aurora untuk mendapatkan kesadarannya kembali. Tindakan Dastan, benar-benar kembali menyulut amarahnya.

   "DASTAN!"

   "DASTAN!"

   Aurora berteriak, memanggil suaminya.

   Pintu kamar kembali dibuka dan Dastan, bersandar di pintu itu, menatap malas ke arah istrinya.

   "Ada apa lagi?" tanya Dastan, dingin, sambil melipat kedua tangan di depan dadanya yang berotot.

   "Aku tidak setuju! Bagaimana mungkin, kamu meminta aku membesarkan anak dari wanita lain?" hardik Aurora.

   "Jika kamu tidak setuju, maka segera hamil!" balas Dastan, tidak berperasaan.

   Aurora, terdiam. Ia benar-benar marah. Bagaimana mungkin, pria ini begitu egois. Membuat keputusan satu pihak, tetapi imbasnya ia yang harus menanggung akibat dari keputusan itu seumur hidup.

   Dastan berdiri tegak, mulai merasa muak terhadap sikap wanita di hadapannya.

   "Walaupun kita menikah, kamu harus tahu posisimu!"

    "Seharusnya, kamu bersyukur. Aku tidak menuntut cerai dan bersedia memikirkan jalan lain, untuk memiliki keturunan. Kau tahu, waktu bagiku amat berharga. Setiap detik yang terlewatkan, dapat saja menimbulkan efek yang buruk bagi diriku, maupun perusahaan," ujar Dastan, datar.

   Kedua tangan Aurora, terkepal kuat.

   "Setidaknya, beri aku kesempatan!" desis Aurora, menahan amarah yang mulai meluap. Ia sendiri, cukup terkejut, mengetahui memiliki emosi seperti ini. Sebelum menikah, ia adalah seorang gadis yang terkenal tenang dan lemah lembut. Namun, setelah menikah dan harus berhadapan dengan Dastan, membuat Aurora menemukan hal baru dalam dirinya.

   "Kesempatan? Kamu sudah mendapatkan hal tersebut!"

   "Kamu menikah dengan Dastan Zhang dan itu adalah kesempatan yang diharapkan oleh begitu banyak wanita. Walaupun, perusahaan kita terikat, tetapi kamu harus ingat, pihak mana yang lebih membutuhkan."

   "Hariku sudah cukup buruk, jadi jangan membuat masalah. Keputusan telah diambil dan tidak dapat diubah. Jika kamu tidak setuju, maka selain hamil, kita juga bisa bercerai!" ujar Dastan dan langsung menutup pintu kamar, tepat di depan wajah Aurora. Kali ini, pintu kamar dibanting.

   Kembali masuk ke dalam kamar, Dastan mengumpat. Inilah alasan mengapa ia selalu menunda pernikahan, tetapi pada akhirnya mau tidak mau, ia harus menikah. Memiliki istri amatlah mengganggu. Tugas istri adalah melahirkan keturunan, jika tugas itu tidak mampu dilakukan, maka wanita tersebut tidak pantas menyandang gelar itu.

***

   Kembali ke daerah pinggiran.

   Pukul 1 dini hari, Lyra selesai bekerja di klub malam Zero. Menyusuri gang sempit yang penuh dengan kantong sampah, serta lampu jalan yang kebanyakan berkedip atau padam, untuk kembali ke rumah. Mengambil jalan kecil, membuatnya lebih cepat tiba di rumah.

   Seperti biasa, seluruh tubuhnya terasa pegal, tetapi Lyra tetap bersyukur. Setidaknya, satu hari kembali dilalui dengan baik, walaupun ada sedikit kejadian yang membuat gajinya akan dipotong, selama enam bulan ke depan.

   Tiba di ujung gang, Lyra mulai menaiki anak tangga, menuju rumah kontrakan satu lantai. Rumahnya.

   Memasukkan anak kunci dan memutar perlahan, Lyra tidak ingin membangunkan sang ibu. Biasanya, di waktu ini, ibu sudah terlelap.

   Membuka pintu dan masuk ke dalam. Mengapa begitu gelap? batin Lyra. Biasanya, lampu di ruang tamu akan dinyalakan.

   "Ibu!"

   "BU!" panggilnya.

   Tangan Lyra menekan saklar dan ruangan menjadi terang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel