Bab 4. Pekerjaan
Saat ini, usianya sudah 25 tahun. Tahun demi tahun, berlalu begitu cepat dan Lyra tenggelam dalam pusaran tak berujung ini. Setiap hari, melakukan rutinitas yang sama dengan harapan, uangnya cukup untuk membayar sewa, biaya makan dan biaya pengobatan sang ibu. Jika ketiga hal itu terpenuhi, Lyra sudah sangat bersyukur.
Amy Kwan mengalihkan tatapan ke arah sang supervisor, menunggu tanggapan.
Tuan Mu, pria berusia 55 tahun, ia lah yang bekerja sebagai supervisor klub malam ini. Ia sudah mengabdi saat berusia 18 tahun, di mana saat itu suami sang Nyonya masih hidup dan menguasai bisnis kelam di kota ini. Lahir dan tua di kota ini, membuat Tuan Mu tahu jelas akan kehidupan penduduk di sekitar wilayah ini. Generasi muda yang memiliki uang, akan pindah dari wilayah pinggiran ini dan tinggallah, mereka yang memang tidak memiliki kemampuan untuk pergi. Salah satu yang paling malang adalah Lyra Yee. Tuan Mu tahu jelas, perjuangan gadis itu untuk bertahan dengan seorang ibu yang sakit.
"Benar, Nyonya. Mendiang ayah dari Lyra adalah seorang guru bahasa asing. Semasa hidup, beliau mengajar di sekolah swasta terkemuka di kota ini. Namun sayang, beliau memiliki usia yang begitu singkat dan meninggal dalam kecelakaan tabrak lari. Setelah itu, ibunya bekerja keras untuk membesarkan putri semata wayangnya. Namun, nasib sial kembali menghampiri. Ginjal Nyonya Yee bermasalah dan setiap minggu harus melakukan cuci darah. Karena itulah, Lyra mengambil dua pekerjaan untuk menutup semua biaya," jelas Tuan Mu, apa adanya.
"Kamu miskin, itu sempurna," gumam Amy, tetapi gumaman itu terdengar oleh Lyra.
Sempurna? Jika wanita itu merasakan apa yang ia rasakan, Lyra yakin kalimat itu tidak akan terucap. Namun, sempurna bagi Amy, memiliki makna bahwa karena miskin, gadis itu pasti akan melakukan segalanya demi uang.
"Jadi, katakan! Mengapa sampai sekarang kamu masih perawan?" tanya Amy. Ia ingin tahu alasannya. Walaupun, pada saatnya nanti pemeriksaan akan dilakukan untuk memastikan hal itu, benar atau tidak.
Bingung. Ya, Lyra bingung dengan pertanyaan itu dan setelah berpikir sejenak, ia menjawab, "Aku tidak memiliki teman, apalagi pacar."
Lyra tidak memiliki waktu untuk bersosialisasi. Selain memang tidak memiliki waktu, ia juga tidak memiliki uang. 24 jam sehari, bagi Lyra amatlah singkat. Ia selalu berharap, hari lebih panjang agar dapat bekerja lebih keras, untuk mengumpulkan uang.
Jari jemari Amy, yang berkuku panjang dan dicat merah, mengetuk meja kerjanya itu. Ketukan dengan tempo yang sama, tanda otaknya sedang berputar keras. Ia harus menyusun kata-kata yang akan diucapkan, berikutnya.
"Tuan Mu, pergi lanjutkan pekerjaanmu dan Lyra, tetaplah di sini. Ada hal yang harus kita bicarakan," perintah Amy.
"Baik, Nyonya." Tuan Mu pun melangkah pergi, meninggalkan ruangan ini, tidak lupa ia menutup pintu.
Tinggal Amy dan Lyra, berdua di dalam ruangan luas itu.
Memadamkan rokok, Amy berdiri dari duduk dan melangkah menghampiri Lyra.
"Kau butuh uang?" tanya Amy, basa-basi. Terlihat jelas, gadis itu membutuhkan uang.
Lyra mengangguk, walaupun ia tidak tahu apa makna di balik pertanyaan-pertanyaan itu.
"Bagus. Ada pekerjaan yang bisa kamu lakukan. Jika kamu bersedia melakukannya, maka kamu akan mendapat bayaran yang sangat banyak. Kamu tidak lagi perlu bekerja keras seperti ini dan ibumu, ya ibumu dapat melakukan perawatan tanpa harus mengkhawatirkan biaya," jelas Lyra, ambigu.
Bayaran yang banyak? Uang yang banyak? Lyra bukan gadis bodoh, ia yakin pekerjaan yang harus dilakukan untuk itu tidaklah mudah. Mungkin, Nyonya Kwan akan memintanya untuk menjual keperawanannya. Itu yang terpikirkan oleh Lyra.
"Pekerjaan apa, Nyonya?" tanya Lyra. Walaupun tawaran itu begitu menggoda, tetapi akal sehat masih menyadarkannya. Sejak kecil, Lyra sudah melihat bagaimana sang ibu bekerja keras membanting tulang, untuk mencari uang yang halal. Jadi, Lyra tidak pernah berencana menjual diri, hanya agar dapat hidup lebih nyaman. Jika mau, maka ia sudah melakukannya dari dulu. Tidak perlu bekerja keras seperti ini, sampai kedua tangannya kapalan dan begitu kasar.
"Duduklah," perintah Amy dan berjalan ke arah sofa yang ada di tengah-tengah ruangan.
Lyra patuh dan duduk di hadapan Nyonya nya itu.
"Seorang taipan, mencari seorang wanita yang bersedia melahirkan keturunannya. Itu dilakukan, karena sang istri tidak dapat hamil," jelas Amy.
Ibu pengganti? Melahirkan seorang bayi untuk pasangan suami istri yang tidak dikenal? Walaupun dilakukan dengan proses medis, tetapi itu terdengar begitu buruk. Lyra pernah bersumpah, jika ia menjadi seorang ibu, maka ia akan melindungi bayinya dengan segenap jiwa dan raga. Sebagaimana, ibunya selalu melindungi dirinya.
Tidak perlu berpikir dua kali, bahkan Lyra tidak penasaran dengan bayarannya. Selagi ia memiliki usia dan tubuh yang sehat, maka Lyra dapat bekerja banting tulang, tidak peduli pekerjaan apa, yang penting halal.
"Maafkan, aku. Tapi, aku tidak bisa," tolak Lyra, tanpa ada keraguan. Walaupun, ia mungkin harus terjerat hutang kepada Nyonya Amy. Tadi, Lyra tahu Nyonya nya itu, mengeluarkan banyak uang untuk menariknya keluar dari kekacauan. Tidak ada yang gratis di dunia ini dan Lyra, sudah tahu dengan jelas.
"Kamu tidak bisa? Apakah kamu sakit seperti ibumu?" tanya Amy, penasaran. Bagi Amy, uang adalah segalanya dan banyak orang, bersedia melakukan apa saja demi uang.
Lyra, menggeleng.
"T-Tidak, Nyonya. Hanya saja, melahirkan bayi dan diberikan kepada orang lain, itu terdengar amat menakutkan," jawab Lyra, jujur.
Amy yang awalnya duduk tegak, langsung bersandar di punggung sofa. Kemudian, menyilangkan kedua kaki jenjangnya. Dalam hati, ia mencibir. Tidak tahu diri, kesempatan langka seperti ini ditolak begitu saja. Namun, Amy tidak akan membujuk, ia hanya perlu menemukan gadis lain.
"Jika itu pendapatmu, maka aku hargai! Namun, kau tahu bukan amat sulit mencari uang di kehidupan ini. Jadi, apakah kamu yakin akan membuang kesempatan ini begitu saja?" tanya Amy, sekali lagi.
Lyra, mengangguk. Tentu ia tahu, betapa sulitnya menjalani kehidupan ini. Belum lagi, di saat rasa lapar menguasai. Hanya saja, ia tidak begitu putus asa, sampai harus menerima tawaran itu.
"Jika kamu tidak bersedia melakukan, maka akan ada wanita lain yang bersedia. Hanya saja, apa yang telah kamu pecahkan tadi, harus kamu ganti. Biaya itu akan dipotong dari sebagian gajimu, untuk enam bulan ke depan."
"Dan, ini. Jika kamu berubah pikiran dan aku belum menemukan calon yang lain, maka mungkin kamu akan memiliki kesempatan," ujar Amy dan meletakkan selembar kartu nama di atas meja yang ada di tengah-tengah mereka.
Lyra, tidak ingin menerima kartu nama itu, sebab ia yakin tidak akan berubah pikiran. Namun, itu akan terkesan tidak sopan. Maka, mau tidak mau, Lyra menerima kartu nama itu dan menyimpan ke saku rompinya, sebelum mengucapkan terima kasih dan keluar dari ruangan itu.
Amy mendesah, kesal. Baru saja, kesempatan emas lewat di hadapannya begitu saja. Namun, apa yang dapat dilakukan? Ia tidak mungkin menculik gadis itu. Kembali, ia harus memutar otak, agar segera menemukan gadis lain dengan ciri-ciri yang dikehendaki sang taipan.
