Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

MAKE OVER

Baru satu minggu kerja di rumah Mona, kecantikan Arini sudah jadi buah bibir ibu ibu di komplek perumahan Benhil. Siapa lagi kalau bukan tukang sayur keliling yang membangun opini tentang kecantikan Arini. Tapi memang tidak bisa dipungkiri kalau Arini adalah satu satunya asisten rumah tangga yang paling dimanja majikan karena kecantikannya. 

Arini yang saat pertama kali datang tampak lugu dan norak kini setelah make over tante Mona, ia tampak bak artis. 

Entah apa maksud tante Mona membuat Arini sampai segitu nya. Apa ia tidak khawatir suaminya nanti akan tergoda.

"Katanya kamu dari Kebumen ya nduk ?" tanya mak Yah, pedagang sayur keliling langganan tante Mona.

"Iya mak."

"Desanya mana?"

"Wonosari mak. "

"Kalau mak Karang Duwur. Ati ati lho nduk ini Jakarta. Jangan mudah percaya sama orang lain, apalagi yang belum kamu kenal."

"Iya mak."

Arini ingat pesan Desi waktu di kereta api. Berarti ia tidak main main. Tapi kekejaman macam apa yang dimaksud Desi, ia tidak menjelaskannya. 

Arini ingat sinetron yang menggambarkan tentang  anak anak dibawah umur tengah dipekerjakan dijalan oleh orang orang tertentu. Itukah kekejaman yang dimaksud Desi atau mak Yah.

Hari itu Arini sengaja masak sayur lodeh meski pun tante Mona tidak menyuruhnya. Ia hanya kangen masakan favorit keluarga di kampung. Kalau dikampung lauknya paling banter tempe bacem. Hari ini ia juga bikin baceman tapi bukan tempe melainkan ayam.

Ketika Lola pulang sekolah ia mengendus aroma sedap yang  belum pernah ia cium sebelumnya.

"Bau apa ini mbak kok sedap," tanya Lola.

"Mbak nyayur lodeh. Bacem ayam juga. Lola mau makan."

"Boleh, tapi dikit aja nasinya."

Sementara Lola makan, Arini beres beres di dapur mencuci bekas masak tadi. 

"Mbak....!" seru Lola.

"Bawa kesini aja kalau nggak habis. Piringnya sekalian mbak cuci."

"Mbak...!"Lola berteriak lagi.

Arini masuk dan terkejut melihat piring bersih sedang Lola melongo ketakutan menatapnya.

"Kenapa dibuang, nanti nasinya nangis lho."

"Nambah boleh nggak ...?" kata Lola seraya menyodorkan piring kosong dengan wajah memelas. 

Arini tertawa terkekeh kekeh. Tante Mona yang baru pulang dari rumah pak RT bengong mendengar Arini tertawa sampai begitu.

"Ada apa ini kok seneng amat?"

Arini cerita soal kesalah pahaman dengan Lola.

"Gitu dong, itu baru anak mami yang pintar. Makan yang banyak biar cantik kaya siapa.."

"Mbak Arini. Mbak Arini dulu makannya banyak makanya bisa cantik ?"

"Iya, cantik dan pintar." timpal Astuti.

"Coba tiap hari mami masak kayak gini, Lola makannya pasti nambah terus."

Tante Mona melirik Arini.

"Nanti mbak Ar yang masak. Mami sama Papi kan tugasnya kerja. Mbak Ar tugasnya masak. Lola tugasnya  ..."

"Belajar biar pintar kaya Edward."

"Edward lagi dah larinya." gerutu maminya.

Tante Mona terkejut ketika membuka tudung saji dimeja ada sayur lodeh dan ayam bacem goreng.

"Kamu belanja pake uang siapa. Tante kan nggak ngasih uang kamu."

"Uang kembalian dari warung itu."

"Astaga Ar, itu buat kamu. Kumpulin, kamu kan perlu pembalut, bedak atau makan bakso."

Tante Mona mengambil uang ratusan.

"Ni, tante ganti."

"Nggak usah tante masih ada kok."

"Ambil Ar, ini hak kamu."

"Kalau mbak Ar nggak mau buat Lola aja mi."

"Anak kecil nggak boleh pegang uang banyak."

Arini ragu ragu menerima uang dari Mona. Lola mengerdip ngerdipkan mata ketika Arini mengantongi uang itu entah apa maksudnya.

Pukul lima Candra pulang, Arini buru buru meninggalkan Lola yang sedang main slem bersamanya. Ia meyiapkan makan untuk Candra. 

Arini yang saat itu mengenakan daster tipis tidak sadar kalau sejak tadi diperhatikan  Candra. Ia menikmati lekuk tubuh Arini yang  transparan dibalik daster tipis tembus pandang karena sorot sinar cahaya mentari. 

Usai melayani Candra makan, Arini kembali menemani Lola main slem.   Candra yang biasanya duduk dikamar sambil buka buka medsos,sore itu ia duduk diruang tengah menghadap dimana Lola dan Arini main slem. 

Candra menegang hape, matanya sesekali melirik kearah Arini yang duduk dilantai. Saking asyiknya main slem bersama Lola Arini tidak menyadari kalau dasternya tersingkap hingga tampak bagian sensitifnya. Jantung Candra berdebar debar, nafas tersengal hasrat pun bergejolak. Adegan itu terekam dalam ingatan mengikuti kemana ia pergi. Setiap kali melihat Arini khayalan pun terbangun memacu hasrat yang menggelegak hingga membuatnya salah tingkah bila berhadapan dengan Arini.

"Nggak suntuk mbak dirumah aja.?" tanya Dati, asisten rumah tangga sebelah rumah.

"Iya Ti, bawa ke taman sono." kata tante Mona yang duduk diteras samping.

Arini membayangkan taman kota yang ia liat di bundaran HI saat pertama turun dari stasiun Senen. Seperti itukah taman yang dimaksud Mona.

Lepas magrib Arini dan Dati ke taman komplek. Kebetulan malam itu pas malam minggu.

Taman itu berada ditengah komplek perumahan, tempatnya cukup luas meski pun tidak seindah taman kota yang dilihat Arini,  tapi cukuplah untuk sekedar santai cari angin atau olah raga diwaktu pagi. 

Arini dan Dati duduk di bangku taman yang terbuat dari fiber glass. Disudut lain tampak beberapa pemuda pemudi duduk berkerumun membicarakan sesuatu. Diujung sana sepasang muda mudi yang tengah memadu kasih tampak anteng seolah tak peduli sekitarnya. 

"Mereka warga komplek sini semua ya mbak?" tanya Arini.

"Ceweknya. Mereka seperti kita juga asisten rumah tangga. Kalau cowoknya dari kampung sekitar sini. Dari Karet Kubur, Karet Tengsin, Karet Gusuran. Pada umumnya mereka kerja dibangunan, di pabrik. Makanya setiap malam minggu gini pasti rame. Mereka kan habis gajian."

Arini senyum senyum memandang sekeliling. Mereka tampak senang meski pun hanya duduk duduk di taman bersama pacar atau sesama asisten rumah tangga. 

Ternyata cinta bukan monopoli orang orang kaya. Mereka asisten rumah tangga dan para pekerja bangunan pun berhak atas apa yang dinamakan cinta. Mereka punya cara sendiri dalam mengeksplor perasaan cinta

"Rame juga ya mbak."

"Tergantung. Tu yang duduk sendirian, itu lagi galau. Kalau nggak berantem sama pacar, ya putus sama pacar. Na, kalau yang mondar mandir kaya gosokan itu lagi nyari pacar."

"Mbak tau aja."

"Soalnya aku pernah mengalami. Pernah jomblo, pernah putus. Tu yang duduk sendirian kaya patung itu pasti baru diputus pacarnya."

Arini tertawa kecil. Ternyata para asisten rumah tangga ini punya dunianya sendiri yang tidak kalah menarik dengan kebanyakan orang. Siapa bilang ART tidak butuh cinta. Mereka juga ingin mencintai dan dicintai sebagaimana fitrahnya.

Arini membayangkan seandainya Jono ada disini tentu akan lebih menyenangkan.Setelah kelulusan ia melanjutkan SMA bersama beberapa teman dari sekolah, sejak saat itu Arini hanya dua kali ketemu itu pun hanya sekilas. 

Ketika mau berangkat ke Jakarta pun Arini tidak sempat ngabari Jono. Apakah ia masih peduli dengan dirinya atau sudah punya pacar baru di SMA.

Arini buru buru menepis pikiran buruk itu. Ia yakin Jono masih mencintainya. Suatu saat nanti pasti ada kesempatan bicara berdua.

"Salbini dulu ketemu Yitno juga disini. Sekarang dia tinggal di karet kubur sama suaminya. Pagi kerja disini, sore pulang ."

"Karet kubur itu mana mbak ?"

"Dekat sini aja. Kamu belum pernah kerumahnya ?"

"Belum. Tempo hari dari stasiun langsung kerumah tante Mona."

"Nanti kapan kapan kita kesana."

Dua orang pemuda menghampiri mereka. Arini ketakutan, tapi Dati tampak tenang tenang aja."

"Nggak liat Rido Ti ?"

"Nggak tau, mati kali !" jawab Dati ketus. Ia masih kesal sama mantan pacarnya itu. Dati baru menyadari kalau Rido hanya mau moroti uangnya saja setelah mereka putus.

"Siapa ini, adik lo Ti. Kenalan dong."

Pemuda itu mengulurkan tangan memperkenalkan diri. Arini menyambut ragu.

"Nonton yuk Ar, filmnya bagus."

"Baru kenal ngajak nonton. Lo sama aja dengan Rido menganggap wanita hanya sebagai obyek kesenangan."

"Lain dong, mas Fai ini penyayang, penuh perhatian,tanggung jawab ."

"Pret...! Sudah pergi sono. !"

Rifai dan kawannya berlalu.

"Kalau nonton film dimana mbak."

"Deket rumah Salbini tu ada bioskop kelas kambing. Kapok nonton disitu, mending di karet gusuran sana."

"Emang kenapa mbak?"

"Sudah bau pesing banyak kutu busuknya lagi."

Arini tertawa kecil. Asik juga dengerin pengalaman Dati. Apalagi teman teman lain, mungkin lebih seru.

"Hati hati  sama cowok disini Ar, modus semua."

Rupanya kebanyakan cewek disini  sudah terlanjur mencap cowok  seperti itu karena mereka sering dikecewakan.

Arini melirik jam di hape Dati. Ia gelisah khawatir dimarahi Mona. Ia ngajak Dati pulang.

"Baru jam segini Ar."

"Saya takut dimarahi tante Mona."

"Jangan khawatir, tante Mona sama om Candra itu baik. Dulu Wanti kalau malam minggu malah sampai jam duabelas baru pulang."

Arini menurut aja apa kata Dati, ia menunda pulang sampai jam sepuluh. 

Dati benar, sampai dirumah Tante Mona tidak marah, bahkan sebaliknya.

"Kok sudah pulang Ar, baru jam segini," ujar Mona.

"Saya khawatir tante marah."

"O......Tante nggak akan pernah marah sama kamu. Ya udah, kalau sudah ngantuk istirahat sana."

Arini cuci kaki dan muka kemudian masuk kamarnya. Ia berbaring menatap langit langit kamar. Bayangan emak, bapak, teman teman di desa terutama Jono berseliweran mengacau pikiran. 

Arini masih merasakan suasana damai di desa. Kadang ia bertanya tanya, kenapa bapak harus menemui musibah seberat itu hingga ia harus ke Jakarta berpisah dengan mereka. 

Seandainya bapak tidak mengalami musibah itu, mungkin ia bisa melanjutkan sekolah seperti teman teman lain.

Arini istighfar secara tidak langsung telah menggugat Tuhan. Padahal Tuhan punya rencana lain untuk bapak dan dirinya. 

Arini kemudian memandang satu persatu poster yang tertempel di dinding, semua poster gambar artis artis Bollywood. Rupanya Wanti dulu suka Bollywood. 

Samar samar Arini seperti mendengar alunan lagu lagu India dalam angannya. Semakin lama lagu tersebut seakan menina bobokkan dirinya. 

Beberapa saat berselang Arini tertidur menjemput mimpinya tentang cowok cowok di taman tadi atau tentang Jono di desa sana.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel