Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

"Terus sayang... ahhh ahh, enak banget sayanggg.. aahhh.. sayang.. aaaaahhh." wanita itu terus berteriak saking nikmatnya.

Papaku menjambak rambut wanita tersebut sambil terus memacu pinggulnya ke depan dan belakang. Tangannya menampar pantat wanita itu hingga memerah.

Sesaat kemudian digulingkannya tubuh wanita itu hingga terlentang, kemudian menariknya untuk berdiri lalu mencium bibirnya penuh nafsu.

"Aww... hehe.. ahh aaahh aww."

Dan dengan kuatnya papaku kemudian menggendong depan wanita cantik jelita dihadapannya, kemudian menarik-turunkan badannya.

"Ooouhhh.. yessS, ahh ahh ahh yesss oohh yes aahhh."

Desahan keras sang wanita memenuhi telingaku.

Tangannya merangkul leher papa serta bibirnya melumat bibir papaku dengan sangat antusias. Payudara putih besar, sedikit kendor tapi tampak begitu natural.

Aku hanya bisa menyaksikan mereka berdua bercinta di depan kedua mataku sendiri. Ingin rasanya aku berteriak dan menghentikan apa yang mereka berdua lakukan, tetapi tidak bisa. Kedua tanganku terikat di lengan kursi yang kududuki, serta mulutku ditutup dengan plaster.

"Mas.. aku mau diatas.. aahh..." pinta wanita tersebut.

Papaku menurutinya, didudukinya pinggul papa, bergoyang pelan ke atas dan kebawah.

"Oouuhhh.. yesss, aahh.. ahhh ahh."

Setelah beberapa lama, akhirnya papaku terkapar lemas karena gairah seksual yang baru saja mencapai klimaksnya.

Setelah papa tertidur, perempuan lawan mainnya itu mengambil sebuah pisau dari bawah bantal lalu menusuk jantung papaku. Darahnya bercucuran, papa tidak bergerak sama sekali, dia meninggal.

Sekarang wanita jahat tersebut menghampiriku lalu membuka penutup mulutku.

"Siapa sebenarnya loe? Kenapa loe tega lakuin ini ke papa gue?" teriakku emosi sambil berontak ingin lepaskan diri.

"Dika.. dika.. papamu itu ternyata bodoh ya? Hahahaha, mau saja saya manfaatin dan sekarang semua harta keluarga ini milik saya, hahahaha," kata wanita itu dengan tawa jahatnya.

"Siall! Lepasin gue!!" emosiku meningkat.

"Lepasin gue...!!!"

Keesokan harinya aku bangun pagi-pagi sekali, namun aku tidak beranjak dari tempat tidurku, yang kulakukan hanya meratap dan duduk memeluk kedua lututku.

Mimpi itu terlihat sangat jelas dan begitu nyata. Mengapung dan selalu berputar di kepalaku, ditambah dengan semua yang kulihat kemarin, membuatku semakin terpuruk.

"Dik.."

"Sarapan dulu nakk.." panggil mama.

Aku keluar memenuhi panggilannya, melihat meja makan, papa tidak ada disana, berarti papa tidak pulang kerumah semalam. Kucoba mengecek lokasi handphone papa lewat telepon genggam punyaku, lokasinya berada di kantor papa.

Aku harus selesaikan semua masalah ini, aku nggak mau terus-terusan terpuruk. Tapi sebelum itu aku harus sarapan dan bersikap seperti tidak terjadi pa-apa di depan mama. Aku tidak mau mama khawatir tentang aku. Batinku membulatkan tekadku.

"Dika pinjem mobil mama sebentar ya mah.."

Aku pamit keluar menggunakan mobil mama, mengenakan jaket, topi, serta kacamata hitam.

Tujuan pertamaku adalah kantor. Memastikan apakah papa berada disana. Terlihat dari tembok kaca, Papa bekerja seperti biasa dan terlihat sangat sibuk dengan tumpukan kertas putih dihadapannya. Bahkan sepertinya dia tidak menyadari kedatanganku.

Beralih ke target kedua yaitu Hotel.

"Selamat pagi kak.. Ada yang bisa saya bantu?" sapa seorang resepsionis hotel.

"Saya mau tanya mas, apa saya boleh melihat daftar tamu yang menginap tadi malam?" tanyaku.

"Mohon maaf kakak, untuk kepentingan apa ya? Prosedur kami tidak memperbolehkan memperlihatkan daftar tamu untuk kepentingan pribadi kakak.." jawab resepsionis itu dengan senyum lebarnya.

Tidak mendapatkan sesuatu dihotel tidak membuatku menyerah begitu saja. Lanjut ke target berikutnya, ku kencangkan seatbelt, menyalakan mesin dan tancap gas menuju kerumah wanita yang kubuntuti kemarin sore.

Kuparkirkan mobilku di pinggir jalan, lalu berjalan kaki kurang lebih 1 km. Aku lupa kalau sekarang aku berada di kampung, jalanannya belum banyak yang bisa dilalui mobil.

"Citra .. sini, mamm dulu sayang.. nanti main lagi," ucap wanita jahat dalam mimpiku itu.

Agak jauh dari rumahnya, aku melihat ia sedang menenteng mangkuk kecil, memakai kaos ketat dan rok mini, memanggil-manggil seorang anak kecil yang berlarian kesana dan kemari memainkan boneka beruangnya.

Kebetulan saja didekat lokasi terdapat sebuah warung kecil diseberang jalan, yang bisa kujadikan tempat mencari informasi.

"Mak.. kopi susu satu ya."

Pesanku kepada ibu-ibu penjaga warung tersebut sambil membuka kacamata dan jaketku.

"Kamu kenal sama Nadira dek?" tanya pemilik warung itu sembari menghidangkan pesananku.

"Emak lihat dari tadi adek ngeliat kesana terus.." lanjutnya.

"Jadi namanya Nadira ya.. nggak mak, aku nggak kenal.. lebih tepatnya belum kenal.. hehe." jawabku tersenyum mengedipkan sebelah mata ke emak.

"Oohhh.. begitu, mak ngerti sekarang," ucap ibu itu menepuk pundakku.

Aku berhasil membuat ibu pemilik warung kopi tersebut menceritakan apa yang beliau ketahui tentang wanita cantik bernama Nadira itu.

Menurut ibu warung, ia adalah janda beranak satu yang ditinggal selingkuh oleh mantan suaminya, Orangnya ramah, baik dan sopan, berlawanan dengan apa yang kulihat dalam mimpi. Dia tinggal bersama dengan ibunya, dan bekerja di sebuah restoran kecil dekat sini.

"Pernah nggak mak.. emak melihat ada cowok yang dateng atau ngapelin dia?" tanyaku semakin ingin tahu.

"Kalo itu emak kurang tahu dek.. kan emak nggak selalu memperhatikan kesana.. " jawab ibu itu.

Kurasa informasi yang kudapat sudah cukup, setelah menghabiskan kopi, aku pergi dari situ. Menuju restoran kecil tempat papa apa dan Davina makan tempo hari.

"Dik.. Kamu lagi pulang kampung ya? Kapan kesini lagi? Anak-anak pada nanyain pengen main kerumah tuh."

Sebuah pesan whatsapp dari Ivana, teman sekelas yang kabarnya naksir sama aku. Aku tidak ingin meresponnya, karena aku tidak mau memberinya harapan.

Setengah jam perjalanan aku sampai di restoran kecil yang akan kutelusuri tersebut. Tampak tidak begitu ramai, dan banyak pelayan perempuan disana.

Kududuk di pojokan agar tidak terlihat begitu mencolok karena pakaian yang ku kenakan.

"Nasi, ayam sama cah kangkung ya.." kataku memesan terhadap salah satu pelayan.

Aku tetap memakai jaket dan kacamataku untuk berjaga-jaga barangkali papa datang kesini lagi. Dan mobil sengaja kuparkir agak jauh dari sini.

"Ini mas, pesanannya.." suguh seorang wanita.

"Makasih.. emm.. Mbak?"

"Mau tanya dong, disini ada pekerja bernama Nadira nggak..?" tanyaku pada pelayan itu agak sedikit berbisik.

"Setahu saya sih.. nggak ada mas, yang namanya Davina," jawabnya.

Ternyata bukan di restoran ini. Tetapi tidak apa-apa, mengetahui nama dan alamat rumahnya saja sudah cukup kok, tidak perlu terburu-buru, nanti pasti terbongkar semuanya. Dalam hatiku optimis.

Kulihat sekitar sepertinya tidak ada orang yang kukenal ataupun mengenaliku. Kulahap habis makanan yang ku pesan lalu bergegas pergi. "Mbak.. Pesen seperti biasa ya, dua porsi."

Belum selesai aku makan, seketika terdengar suara papa memesan makanan. Kulihat dia datang sendiri, tapi pesennya dua porsi. Mungkin untuk temannya yang nanti menyusul.

Beruntung papa duduk agak jauh dari tempatku, dan karena waktu itu jam makan siang, pengunjung mulai ramai, baguslah. Dari sini aku bisa memantau apa yang papa lakukan tanpa ketahuan.

Dan benar saja, tak lama kemudian seorang wanita menghampiri tempat duduk papa dan duduk dihadapannya, yah.. Nadira.

Rasa penasaran yang selama ini menggangguku akhirnya semuanya terjawab. Tepat didepan mata kepalaku sendiri.

Tidak pernah kusangka sama sekali, sosok papa yang selama ini kuhormati, kusanjung dan selalu ku anggap sebagai papa terbaik. Ternyata tega melakukan ini semua di belakangku dan mama.

Saat itu aku sempat hilang kendali, ingin sekali memukul papa. Tetapi kutahan, demi nama baik keluarga. Lalu memutuskan untuk mengambil foto keduanya sebagai tanda bukti.

Selesai makan, mereka berdua berpisah. Papa menuju kantornya, dan Nadira menaiki sepeda motornya berjalan ke arah rumahnya.

Emosiku mulai reda, dan kemudian pulang membawa satu kenyataan pahit dalam keluargaku.

Saat sampai di rumah aku mencari mamahku.

"Mah.. mama dimana?"

Entah kenapa aku merasa bersalah kepada mama, aku ingin bercerita semuanya tapi khawatir nanti mama dan papa bertengkar. Apalagi sebentar lagi aku berangkat ke kota melanjutkan kuliahku.

"Ada apa sayang.. kamu dari mana aja? Udah makan siang belum nak..?" suara mama dibelakangku.

Kulepas jaket dan topiku, kulempar kacamata ke atas sofa ruang tamu. Langsung kuraih tubuh mama dan memeluknya erat, sangat erat. Mama pun membalas pelukanku, mengelus punggungku sambil berbisik.

"Mama siap dengerin kamu cerita nak.." ungkap mama peduli.

Nyaman sekali rasanya dipeluk mama. Rasanya tidak ingin lepas, kali ini aku tidak konak, mungkin karena pelukan ini bukanlah nafsu, melainkan sebuah kasih sayang.

Lebih baik aku tidak menceritakannya, aku tidak mau mama tersakiti dan bersedih. Aku mau mamaku ceria terus seperti biasanya, ujarku dalam hati.

"Dika sayang mama.."

Kulepas pelukan mama lalu mencium mesra bibir indahnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel