Bab 3
"Dika..! Dika..! Bangun bro.."
Suara papa memanggilku dari meja makan. Hari itu pukul 09.00 am, tumben sekali papa belum berangkat kerja, biasanya jam segitu dia sudah menghabiskan segelas kopi di depan meja kantornya.
Pagi itu kita bertiga sarapan bersama, biasanya aku ceria dan selalu bercanda dengan papa sambil makan, seketika menjadi pendiam, suasananya berubah.
Selesai makan aku masuk ke kamar lagi lalu mengunci pintu, papa berangkat kerja dan mama beberes.
Handphone yang tadinya tidak pernah jauh dari tanganku dan selalu dalam keadaan standby, kala itu suhunya menjadi dingin, baterainya 0% tergeletak tak tersentuh.
Tok tok tok.
"Dik.. kamu nggak mandi nak?" tanya mama mengetuk daun pintu.
"Iya mah.." kataku sambil keluar dari kamar dengan tatapan kosong, saat kuberjalan menyeret kaki menuju kamar mandi, mama melihatku dengan tatapan heran.
"Handuknya mana nak..?" lanjut mama mengingatkanku.
Entah kenapa hari itu sikapku berubah ke mama. Sampai hari menjelang siang, aku terus mengurung diri.
Bagus pun datang ke rumah saat itu, tetapi aku lebih memilih mengajaknya pergi dari rumahku. Di depan Bagus aku berpura-pura tidak terjadi apa-apa, kita berjalan sambil ngobrol dan bercanda ria. Ia mengajakku kerumahnya lalu memamerkan koleksi burung berkicau miliknya.
Sekitar jam 2 siang Bagus mengajakku untuk melihat kompetisi kicau burung di lapangan dekat kantor kecamatan, tetapi aku menolaknya dengan alasan ingin pulang saja.
Sampai dirumah, aku mengambil sepeda milik papaku lalu mengayuhnya kencang tanpa tujuan. Hanya berkeliling menyusuri jalan.
Tanpa sengaja aku melihat papa didalam sebuah restoran kecil, ia bersama dengan seorang perempuan, aku yang penasaran lalu melihatnya lebih dekat lagi tanpa ketahuan. Cantik, berpakaian ketat, sedang asyik menyantap makanan dihadapannya, mereka terlihat sangat akrab. Aku tidakmau berpikiran negatif saat itu, mungkin rekan satu kantor atau partner kerja papa, lantas aku pergi melanjutkan mengayuh sepeda.
~ ~ ~
2 hari kemudian.
Hari minggu, dimana dulu sebelum aku kuliah papa pasti mengajak aku dan mama berlibur, tetapi kini tidak lagi. Papa berangkat kerja, katanya harus mengejar waktu untuk menyelesaikan satu project.
Aku yang masih canggung dengan mama, merasa tidak betah dirumah, kuputuskan mengayuh sepeda menuju pantai yang tak begitu jauh dari rumahku. Hanya berjarak sekitar 5 Km. Awalnya aku mengajak si Bagus tetapi dia ada jadwal perlombaan.
"Waah.. gue nggak bisa dik, ada perlombaan tingkat kecamatan nih, coba loe ajak Jeffry deh, biasanya dia stay dirumah kalo minggu," ujar Bagus setelah aku mengajaknya.
Jeffry merupakan cowok paling populer dikelasku waktu itu, wajahnya putih dan manis seperti seorang cewek, kadang aku merasa iri dengannya, tetapi dia anaknya pendiam. Lebih suka menyendiri dan jarang bercanda, bawaannya serius dalam segala hal. Kabarnya sekarang dia bekerja di salah satu mini market di kampungku...
mengikuti saran dari Bagus, akupun meluncur untuk menjemput Jeffry, tetapi sampai dirumahnya aku dibuat kecewa karena dia menolak ajakanku dengan alasan ingin beristirahat.
Karena tidak ada yang mau menemaniku ke pantai, aku membatalkan niatku. Kembali kerumah Bagus lalu ikut dengannya men-suportnya dan menyaksikan perlombaan.
Aku yang tidak hobi burung, satu jam saja di tempat perlombaan itu membuatku segera bosan, memutuskan pulang dan tidur saja dirumah.
Ditengah perjalanan pulang aku melihat seseorang sedang mengendarai motor papa. Mengenakan jaket kulit, celana jeans dan sarung tangan layaknya seorang anak motor. Karena memakai helm, aku tidak melihat wajahnya. Jaketnya pun belum pernah kulihat dipakai oleh papaku, dan helm yang ia pakai terlihat asing bagiku. Hal itu mengganggu pikiranku, kucari tukang ojek sekitar dan menitipkan sepeda, lalu memintanya membawaku membuntuti sosok misterius itu.
Terlihat pengendara motor tersebut memarkirkan motornya di depan sebuah rumah. Tak lama penghuni rumah itupun keluar, seorang perempuan berparas cantik jelita, mengenakan kaos oblong warna hitam dengan bawahan hotpants rumbay, hampir seperti tidak memakai celana.
Rasanya aku mengenal wajahnya, benar saja dia adalah wanita yang kulihat sedang makan bersama papaku tempo hari. Tanpa membuka helmnya, pria berjaket kulit tersebut menarik gasnya dan meluncur membonceng wanita itu.
"Bang.. Tolong ikuti pasangan itu ya, nanti ongkosnya dihitung aja," pintaku kepada abang ojek sembari menunjuk ke arah motor papa.
Kurang lebih perjalanan 2 jam, akhirnya pengendara motor yang kubuntuti itu berhenti di halaman sebuah hotel.
Aku turun dari motor, mengendap-endap ingin lebih dekat melihat dua sejoli tersebut. Menyipitkan mataku berfokus ke arah mereka, seperti lensa kamera yang sedang berfokus terhadap satu objek.
"Mas.! Mas..! Ongkosnya mana mas.. ?" suara abang ojek dari belakangku.
Kutolehkan wajahku dan memberikan uang 100ribuan.
"Nih bang.. makasih ya, ambil aja kembaliannya," kataku.
Aaarghh!! Sial!! saat ku lihat kembali pasangan itu sudah tidak ada disana. Mungkin mereka sudah masuk ke hotel tersebut.
Saking penasarannya, aku sampai nekat menunggu keduanya keluar, mencari warung kopi dekat hotel tersebut dengan harapan bisa segera melihat mereka berdua keluar.
Tiga gelas kopi susu telah kuhabiskan.
Banyak cemilan sudah mengisi perutku, 4 jam duduk di warung bikin punggung dan pantatku terasa pegal. Aku menyerah, mencari ojek untuk kembali ke penitipan sepeda dan mengayuhnya, aku pulang dengan rasa ingin tahu yang sangat tinggi.
Siapa orang itu? Mungkinkah papa? Nggak mungkin! Papa yang kukenal adalah sesosok pria yang tidak akan menghamburkan uangnya untuk hal-hal seperti itu. Tapi aku yakin sekali dari seri angka plat motor itu milik papa.
Sesampainya dirumah, kulihat jam menunjukkan pukul 17.30, seharusnya papa sudah pulang. Kucarinya papa didalam dan sekitar rumah, tidak ada tanda-tanda kehadirannya.
"Tadi papa telfon mama, katanya malam ini papa di ajak teman kantornya menginap dirumahnya dik.." ungkap mama yang mengerti bahwa aku sedang mencarinya.
"Papamu harus bekerja lembur karena projectnya tanggung, dan harus diselesaikan segera.." lanjutnya sambil melipat baju-baju yang baru saja diangkatnya dari jemuran.
Dan lagi-lagi mama mengenakan baju super sexy dihadapanku.
Mendengar kata-kata mama aku hanya menjawab. "Ohh."
Tubuhku lemas, hampir kecewa tetapi hatiku menyangkal kalau apa yang aku lihat tadi tidak seperti apa yang kufikirkan.
Aku masuk kedalam kamarku men-carger handphoneku.
"Daripada salah faham, mending kupastikan sendiri," gumamku dalam hati.
Di dalam hp-ku yang sudah termasuk ponsel pintar saat itu terdapat sebuah aplikasi yang sudah ku hubungkan dengan hp papa.
"Kamu kenapa nak..? Cerita sama mama, ada masalah apa?" tanpa kusadari mama sudah berdiri disampingku.
Buyar sudah pikiranku melihat mama, daster yang dipakainya terterawang karena cahaya lampu kamarku.
Payudara mama samar-samar terlihat dan ada benjolan kecil di ujungnya. Aku yang sedang kacau malah memandangi mama dari atas sampai bawah, dia memakai celana dalam.
"Heii..!! Mama nanya kok nggak dijawab," ucap mama lagi, memegang kedua telangku dan mendekatkan wajahnya ke mukaku.
Bibirnya terlihat mengkilap agak basah.
Buru-buru kutepis perlahan kedua tangan mama, mengalihkan pandanganku ke handphone. "Nggak kok mah, dika nggak apa-apa," jawabku kaku.
Kuhidupkan hp-ku yang baru terisi baterai sebanyak 2%.
Dan aku langsung syok ketika membuka aplikasi tersebut dan mengetahui lokasi handphone papa sekarang. Ya.. Posisinya persis di lokasi hotel yang tadi.
"Yasudah.. mama tinggal masak dulu ya, kamu pasti lapar," ujar mama meninggalkanku.
Aku bingung, harus berbuat apa sekarang, tidak mungkin hp papa dibawa juga oleh pria berjaket itu.
Tidak lain orang itu adalah papa. Tapi kenapa?
Mama kurang cantik dan kurang sexy apa sampai papa tega menduakannya.
Haruskah kuberi tahu kejadian ini pada mama? Atau diam saja lalu menanyakan maksud dari semua ini ke papa? Siapa saja tolong aku..
Tak terasa air mataku keluar begitu saja..
