BAB. 3 Bertemu Orang Baik
Setelah selesai makan, Dahlia mencoba untuk membayar makanan mereka.
Namun, Si ibu berkata,
“Kalian tidak perlu membayarnya. Anggap saja hadiah kecil dari saya. Apalagi kan, kalian baru saja kena copet,” tutur si ibu lagi.
“Terima kasih, Bu. Ibu sangat baik kepada kami,” ucap Lilian dengan tersenyum. Namun berbeda dengan Dahlia yang seketika tidak senang dengan kebaikan perempuan itu.
Ngomong-ngomong, kalau ibu boleh tahu, Mbak berdua ini tujuannya, ke mana?" tanya, sang ibu.
“Tujuan kami belum pasti, Bu. Kami sedang mencari pekerjaan di sini,” tukas Dahlia.
"Wah … kebetulan sekali, Mbak, ada satu pabrik yang berada dekat di tempat tinggal lbu. Jika kalian mau, kalian bisa menginap malam ini di rumah Ibu," tawarnya kepada mereka.
Namun Dahlia semakin curiga dengan sikap Si ibu yang begitu baik kepada mereka. Apalagi mereka baru saja kecopetan. Tentu saja tidak mudah untuk mempercayai orang baru.
Seakan tahu kecurigaan dari Dahlia. Sang ibu itu pun berkata,
“Kalian tidak usah takut, Ibu bukanlah orang jahat. Perkenalkan nama Ibu, Bu Jayanti. Ibu seorang janda dan tinggal sendiri di rumah,” ucapnya memperkenalkan dirinya.
“Oh ya, Bu. Perkenalkan … aku, Lilian dan ini, Dahlia. Kami bersaudara kandung. Selama ini kami diasuh oleh Nenek Rukmini,” tutur Lilian.
“Lho, memangnya orang tua kalian ke mana?” tanya Bu Jayanti penasaran.
“Kami anak korban perceraian, Bu. Kedua orang tua kami telah menikah lagi dan mempunyai pasangan masing-masing. Sejak kecil kami ditinggalkan begitu saja di rumah nenek!” Kali ini Dahlia yang menjelaskan semuanya dengan penuh emosi.
Lilian juga tak kuasa menahan air matanya saat mendengar semua perkataan Dahlia.
“Maaf, Ibu tak bermaksud untuk membuka ingatan kalian tentang luka lama yang pernah kalian alami,” seru Bu Jayanti turut prihatin kepada kedua gadis cantik itu.
“Tidak apa-apa, Bu. Kami hanya sekedar bercerita saja, tutur Lilian sambil mengusap air matanya.
“Oh ya, ngomong-ngomong bagaimana dengan tawaran Ibu tadi?” tanya Bu Jayanti kepada keduanya.
"Maaf sebelumnya, Bu. Apakah kami tidak merepotkan Ibu?" seru Lilian.
"Tidak kok mbak, malah Ibu senang, jadi Ibu tidak kesepian lagi di rumah, suami Ibu sudah lama meninggal, Ibu tidak memiliki anak, dan Ibu tinggal sendirian selama ini," tuturnya menjelaskan.
Dahlia menyenggol siku Lilian dan segera menggeleng-gelengkan kepalanya pertanda dia tidak suka. Namun Lilian malah beranggapan lain, sepertinya gadis itu menilai jika Bu Jayanti adalah orang baik.
Lalu keduanya pun sepakat menginap di rumah Bu Jayanti.
“Baiklah, Bu. Kami setuju,” ucap Lilian. Sementara Dahlia tidak dapat berkata apa-apa karena hari memang sudah malam.
“Baiklah kalau begitu, Ibu tutup warung dulu ya, sebentar.” seru Bu Jayanti kepada keduanya.
Setelah warung tutup, ketiganya pun naik angkot menuju rumah ibu yang baik hati itu. Sesampai di rumah Ibu Jayanti keduanya di suruh masuk olehnya.
“Inilah rumah Ibu. Ayo kalian berdua, silakan masuk,” ucap Bu Jayanti.
“Iya, Bu.” sahut keduanya serentak.
Rumah Bu Jayanti terlihat sangat sederhana namun bersih. Lilian seketika merasa nyaman di rumah itu, namun berbeda dengan Dahlia.
Dia berpikir apa bedanya jika dirinya tinggal di desa sama-sama tinggal di rumah sederhana.
“Rumah apaan ini? Sama saja dengan di kampung! Kumuh!” serunya dalam hati.
Dalam pikirannya jika orang yang tinggal di kota itu rata-rata hidupnya makmur. Dahlia tidak tahu saja, jika sebagian besar orang yang hidup di kota itu, terus berjuang untuk kehidupan sehari-hari karena tingginya biaya hidup dan himpitan ekonomi yang semakin sulit.
Ibu Jayanti lalu menyuruh mereka untuk bergantian mandi. Setelah mandi ketiganya berbincang-bincang di ruang tamu.
"Jadi, kalian berdua besok rencananya langsung melamar pekerjaan di pabrik tersebut?" tanya Bu Jayanti.
"Lebih cepat lebih bagus, Bu." sahut Dahlia.
"Tapi Bu, apakah kami tidak merepotkan Ibu?" seru Lilian tak enak hati.
"Tidak, kok. Ibu dengan senang hati akan membantu kalian," ujarnya.
"Tapi bagaimana dengan dagangan Ibu besok?" tanya Lilian lagi.
"Ibu bisa libur besok. Ya sudah kita tidur, sekarang sudah malam," ujarnya lagi.
Lalu ketiganya pun tidur dengan nyenyak malam itu.
Keesokan harinya ditemani oleh Bu Jayanti, Dahlia dan Lilian pun berangkat dengan naik angkot menuju pabrik tersebut.
Sesampainya di sana, mereka sangat terkejut ternyata pabrik itu sudah lama gulung tikar sehingga tidak menerima karyawan baru.
Agar lebih jelas, Ibu Jayanti lalu bertanya kepada sekuriti yang berjaga disitu.
“Iya, Bu. Pabrik ini sudah bangkrut. Sudah lama tidak membuka lowongan pekerjaan lagi.” Sang sekuriti membenarkan jika pabrik itu tutup karena pengelolanya telah bangkrut dan memiliki utang yang banyak di bank dan karena tidak sanggup membayar semua utang-utangnya, akhirnya pihak bank menyita pabrik itu.
Mendengar penjelasan dari sekuriti tersebut, membuat Dahlia dan Lilian sangat kecewa saat ini.
Mereka pun kembali ke rumah Bu Jayanti dengan tidak bersemangat.
Sesampai Di rumah,
Dahlia memilih untuk tidur, karena kepalanya tiba-tiba pusing.
“Bu, Maaf. Kepalaku agak berat. Aku mau tidur, saja!” ujar Dahlia malas.
“Iya, Dahlia. Tidurlah,” ucap Bu Jayanti.
Sedangkan Lilian lebih memilih untuk membantu Ibu Jayanti di dapur untuk persiapan berjualannya nanti sore.
Sore pun tiba, Lilian pun ingin membantu Ibu Jayanti mendorong gerobak menuju ujung jalan tempat dia berjualan. Setiap sore sang ibu berjualan gado-gado dan ketoprak andalannya.
Bu, saya ikut membantu Ibu berjualan, ya?” seru Lilian.
“Apakah tidak merepotkanmu, Lilian?”
“Nggak kok, Bu. Aku malahan senang bisa membantu ibu,” sahut Lilian.
sedangkan Dahlia memilih tinggal di rumah saja, dia masih kecewa dengan pabrik tersebut.
“Bu, aku jaga rumah, ya! Kepalaku masih pusing!” alasannya.
“Iya, Dahlia. Kamu kalau lapar makanan ada di atas meja, di dalam tudung saji,” ucap Bu Jayanti.
“Beres, Bu!”
Tenda lesehan Bu Jayanti berlokasi di sudut pusat jajanan malam di salah satu jalanan di Kota Jakarta, dengan pohon beringin besar menaungi area makan tersebut. Tempat ini selalu ramai dikunjungi pelanggan setia yang menyukai gado-gado dan ketoprak racikan Bu Jayanti. Meja-meja bambu dan tikar pandan berjejer rapi di bawah tenda, memberikan suasana nyaman dan akrab bagi para pengunjung.
Lilian dan Bu Jayanti terlihat sedang memasang tenda untuk dagangannya di area jajanan malam di sepanjang jalan itu.
Hari itu, Junot, seorang pemuda tampan dengan penampilan rapi dan berkharisma, datang ke tenda lesehan Bu Jayanti,
dari arah samping, dengan mengendarai sebuah mobil mewah.
Pintu mobil terbuka, terlihat seorang pemuda berkulit putih bertubuh tinggi dan berbadan atletis keluar dari mobil tersebut dan menyapa Bu Jayanti.
"Selamat sore, Bu," ujarnya.
Junot, nama pemuda tersebut, dia adalah pelanggan setia Bu Jayanti.
Junot sangat menyukai gado-gado dan ketoprak buatan Bu Jayanti. Yang memiliki cita rasa yang sangat enak untuk di santap.
“Sore, Nak Junot.” balas Bu Jayanti.
"Ibu kok telat hari ini?" ujarnya sambil mendekati tenda tempat jualan itu.
"Ibu ada sedikit kesibukan hari ini.”
Junot adalah pelanggan setia yang sering mampir ke warung lesehan itu, di sela-sela kesibukannya. Setiap kali datang, Junot selalu memesan gado-gado kesukaannya sambil duduk di salah satu tikar pandan, menikmati suasana tenda lesehan yang sederhana namun hangat.
Saat itu, Junot sedang asyik menunggu pesanannya sambil mengamati sekitar. Pandangannya tiba-tiba tertuju pada seorang gadis yang baru pertama kali dilihatnya di tenda Bu Jayanti. Gadis itu, dengan wajah lembut dan senyum manis, sedang membantu Bu Jayanti melayani para pembeli. Mata Junot seolah terpaku pada gadis tersebut, yang tampak begitu anggun dan alami di tengah kesibukannya.
Lalu Junot pun mulai menyadari jika, hari ini adalah pertama kali dia melihat sang gadis sedang membantu Ibu Jayanti, di tenda lesehannya itu. Karena rasa penasaran yang begitu besar, sang pria pun bertanya kepada Bu Jayanti.
"Bu, dia siapa?" serunya, penasaran.
Lalu seketika Lilian membalikkan badannya dan melirik ke arah Junot. Senyum merekah di sudut bibirnya bagaikan bunga-bunga indah yang sedang bermekaran di taman, yang tiba-tiba memukau hati Junot.
Jantungnya berdebar-debar tak karuan. Junot sungguh terpesona dengan kecantikan Lilian. Sampai-sampai Bu Jayanti yang dari tadi memanggilnya, tidak didengar olehnya sama sekali.
"Nak, Junot. Halo, Nak Junot!" Bu Jayanti terpaksa setengah berteriak memanggil nama sang anak muda.
