BAB. 2 Ada Copet
Dahlia dan Lilian berdiri di beranda rumah Nenek Rukmini, menatap halaman yang dipenuhi tanaman hias dan bunga-bunga. Matahari sore menyinari wajah mereka, memberikan cahaya hangat terakhir sebelum tenggelam di ufuk barat. Nenek Rukmini berdiri di pintu, tersenyum hangat namun matanya menunjukkan kesedihan yang mendalam.
"Jaga diri kalian baik-baik di Jakarta," tutur Nenek Rukmini sambil memeluk Dahlia dan Lilian secara bergantian dengan erat.
"Kalian jangan lupa makan tepat waktu dan selalu saling menjaga."
"Kami akan ingat, Nek," jawab Lilian dengan suara pelan, mencoba menahan air mata.
"Terima kasih untuk semuanya,” ucap Dahlia.
Lilian mengusap punggung Nenek Rukmini dengan lembut. "Doakan kami berhasil, Nenek."
Nenek Rukmini mengangguk. "Nenek akan selalu mendoakan kalian. Kalian berdua, hati-hati di sana. Dunia luar tidak selalu seaman di sini."
“Iya, Nek.” sahut keduanya serentak.
Setelah berpamitan, Dahlia dan Lilian berdua berjalan perlahan menuju stasiun kereta api. Jalan setapak yang mereka lalui masih dipenuhi aroma bunga melati dan kenangan masa kecil yang manis di desa ini. Keduanya tiba di stasiun dengan langkah berat, namun penuh harapan akan masa depan yang lebih baik di Jakarta.
Di stasiun, kereta api yang akan menuju ke Jakarta sudah bersiap. Mereka pun membeli tiket dan segera naik ke gerbong yang hampir penuh. Dahlia dan Lilian segera mencari tempat duduk di sudut yang tenang, berusaha menghindari keramaian. Kereta pun mulai bergerak perlahan, meninggalkan Bogor dan membawa mereka menuju kehidupan baru.
Di dalam kereta, Dahlia memandang keluar jendela, mengamati pepohonan dan bangunan yang beranjak menjauh. Lilian, di sisi lain, mencoba untuk tidur namun pikirannya terlalu gelisah.
"Menurutmu, kita akan menemukan pekerjaan dengan cepat?" tanya Lilian tiba-tiba, memecah keheningan.
Dahlia menoleh dan tersenyum tipis.
"Aku harap begitu, Lil. Kita sudah mempersiapkan segalanya. Aku yakin kita akan berhasil."
"Aku juga berharap begitu. Tapi kadang aku merasa takut. Jakarta begitu besar dan kita tidak mengenal siapa pun di sana," tutur Dahlia.
"Aku mengerti perasaanmu. Tapi kita punya semangat dan kemauan. Itu sudah cukup untuk memulai," seru Dahlia dengan tegas.
Ternyata bekerja di pabrik garmen yang dikatakan oleh Dahlia. Masih wacana semata.
Kereta terus melaju, meninggalkan sore yang semakin meredup di belakang mereka. Perjalanan berlangsung sekitar tiga jam, dan ketika akhirnya kereta tiba di Stasiun Gambir, langit sudah berubah warna menjadi oranye keunguan. Mereka pun turun dari kereta bersama penumpang lain yang berdesakan. Stasiun Gambir penuh dengan hiruk pikuk orang-orang yang baru tiba dan yang hendak berangkat.
"Lilian, pegang tangan aku. Jangan sampai terpisah," seru Dahlia dengan suara lantang di tengah keramaian.
Lilian mengangguk dan menggenggam tangan Dahlia erat-erat. Mereka berjalan keluar dari stasiun, melewati gerbang besar dan keluar ke jalan raya. Jakarta sore itu penuh dengan kendaraan yang lalu-lalang, suara klakson, dan aroma asap kendaraan.
"Selamat datang di Jakarta," tutur Dahlia dengan nada setengah bercanda, mencoba meredakan ketegangan hatinya.
"Jakarta lebih ramai dari yang kubayangkan," jawab Lilian sambil mengamati sekeliling.
"Ke mana kita sekarang?" tanya Lilian.
Keduanya pun bingung hendak ke mana. Nyali Dahlia yang tadi menggebu-gebu menjadi menciut seketika.
"Dahlia, kita mau ke mana nih? Kok aku jadi takut?" Ujar Lilian bingung.
"Aku juga bingung Lilian. Kamu jangan bikin panik, deh!
Santai …!” ujarnya menutupi kebingungannya.
“Ayo, kita keluar dari area stasiun ini dulu,” seru Dahlia.
Sambil berjalan menuju pintu keluar stasiun, mereka harus melewati kerumunan orang yang padat. Orang-orang berdesakan, mendorong, dan menarik koper serta tas mereka. Suasana yang kacau membuat keduanya merasa waspada.
"Aku tidak suka keramaian seperti ini," bisik Lilian dengan cemas.
"Kita harus tetap waspada," jawab Dahlia.
"Ini Jakarta, Lil. Kita harus berhati-hati."
Mereka terus berjalan, berusaha menghindari senggolan dari orang-orang yang terburu-buru. Tiba-tiba, Dahlia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia merasakan tarikan di tas selempangnya. Refleks, gadis itu pun merapatkan tasnya ke tubuh dan menoleh ke belakang, akan tetapi tidak melihat siapa pun yang mencurigakan.
"Lilian, buruan! Kita harus keluar dari sini secepatnya," seru Dahlia, mulai merasa panik.
Mereka mempercepat langkah, akan tetapi kerumunan itu malah semakin padat. Tiba-tiba, Lilian merasa ada yang menarik dompetnya dari dalam tas. Dia menoleh dengan cepat dan melihat seorang pria berjaket hitam berusaha melarikan diri.
"Dahlia! Dompetku!" teriak Lilian sambil mencoba mengejar pria itu, akan tetapi kerumunan terlalu padat untuk bisa bergerak cepat.
Dahlia berbalik dan mencoba membantu, akan tetapi dalam kekacauan itu, dompetnya sendiri juga hilang. Mereka berdua terhenti di tengah kerumunan, terengah-engah dan panik.
"Orang itu berhasil melarikan diri," ucap Lilian dengan suara bergetar, mencoba menahan air mata.
"Uang kita ... semua uang kita hilang."
Dahlia memeluk Lilian untuk menenangkannya.
"Yang penting kita masih aman, Lil. Buku tabungan dari Nenek Rukmini masih ada, kan?" tanya Dahlia sambil merogoh tasnya untuk memeriksa. Dia merasa lega ketika menemukan buku tabungan itu masih utuh.
"Masih ada, Dahlia. Syukurlah," jawab Lilian, memeluk tasnya erat-erat.
"Tapi uang tunai kita ... bagaimana kita bisa bertahan sekarang?"
Dahlia menghela napas panjang, mencoba berpikir jernih di tengah situasi yang kacau.
"Kita harus melapor ke pos keamanan stasiun. Mungkin mereka bisa membantu."
Mereka berdua lalu bergegas berjalan menuju pos keamanan, berusaha mengabaikan kerumunan yang masih padat. Setibanya di sana, mereka menjelaskan apa yang terjadi kepada petugas itu.
"Maaf, kami sering mendapat laporan tentang pencopetan di sini, terutama saat ramai seperti sekarang," seru petugas itu dengan nada prihatin.
"Kami akan mencatat laporan kalian, tapi biasanya sulit untuk menemukan pelakunya."
Lilian menggigit bibirnya, menahan kekecewaan.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang? Uang kami hilang semua."
Petugas itu mengangguk dengan simpatik.
"Saya mengerti kesulitan Anda berdua. Mungkin kalian bisa menghubungi seseorang yang kalian kenal di Jakarta untuk membantu sementara waktu."
Dahlia jadi kewalahan, dia semakin kebingungan, bagaimana nasib mereka saat ini.
Hari semakin malam. Keduanya pun memutuskan berjalan kaki menyusuri jalanan ibu kota.
Terlihat kendaraan yang lalu lalang silih berganti.
Apalagi saat ini adalah jam pulang kantor di mana orang-orang akan pulang setelah lelah seharian bekerja.
Terdengar perut Lilian mulai keroncongan.
"Dahlia, aku lapar, nih," serunya.
Dahlia pun mengedarkan pandangannya,
"Tuh di sana ada orang yang jualan, yuk kita mampir ke sana," ujarnya.
Mereka kembali melangkah menuju Warung Tegal yang ada di pinggir jalan.
"Mau pesan apa, Mbak?" tanya seorang perempuan yang menjual makanan itu.
"Kita pesan nasi putih dan dua potong ayam goreng, Buk ditambah, teh manis juga dua," ujarnya kepada Si ibu tersebut.
Sambil menggoreng ayam pesanan mereka. Si ibu pun bertanya,
"Mau ke mana, Mbak? Sudah malam begini? Hati-hati banyak copet di daerah, sini." seru sang ibu, menasihati mereka agar berhati-hati. Mendengar perkataan si ibu, Lilian segera mengeratkan tangannya menggenggam tas yang dia bawa. Berbeda jauh dengan Dahlia yang terlihat santai.
"Kami dari Bogor, Bu. baru sampai sore ini, dan ini juga kali pertama kami menginjakkan kaki di Kota Jakarta. Dan sialnya kami juga baru kecopetan," ujar Dahlia menjelaskan kepada Si ibu.
Si ibu segera menyediakan pesanan mereka di atas meja sambil berkata, dan kembali menasihati keduanya,
"Ya ampun, Mbak. Saya turut prihatin dengan nasib yang menimpa kalian. Lain kali kalian berhati-hatilah di kota besar ini. Banyak tindakan kejahatan yang terjadi di sini bahkan juga banyak penipuan. Ya sudah, Mbak. Kalian makan dulu," ujar Si ibu lagi.
“Terima kasih, Bu.” sahut mereka serentak.
Lalu keduanya pun makan dalam diam,
Si ibu tadi merasa kasihan dengan keadaan Lilian dan Dahlia karena keduanya, terlihat sangatlah kelaparan.
