Chapter 6: A Coincidence
Elena
Ketika aku tersadar, aku sudah berada di ranjang rumah sakit. Kepalaku diperban, rasanya sakit sekali astaga! Selain sakit, rasanya akupun malu karena aku adalah dokter yang harus dirawat sekarang. Tugasku adalah merawat bukan dirawat. Astaga! Rasanya aku tak ingin memikirkan hal itu sekarang. Aku membuka mataku sepenuhnya, terlihat infus yang terpasang, aku melihat lengan kiriku pun terlihat diperban, rasanya seluruh tubuhku begitu nyeri.
Terlebih lagi terdengar orang yang bertengkar sangat berisik sekali. Aku rasa itu yang membangunkan aku, lagipula mengapa mereka bertengkar di rumah sakit. Apa tidak ada tempat lain untuk dijadikan pelampiasan emosi mereka? Teriakan mereka membuat kepalaku semakin berputar-putar. Aku hampir lupa apa yang baru saja terjadi semalam karena jujur saja aku mabuk saat mengendara mobil, ku rasa aku menabrakkan mobilku semalam. Aku memang bodoh, mengapa aku melakukan hal itu.
Aku memencet tombol agar dokter datang karena jujur saja rasanya kepalaku hampir pecah. Aku tak tau akibatnya akan segila ini, aku tak pernah kesakitan sampai hari ini. Meskipun kuliah di fakultas kedokteran sangat melelahkan akan tetapi, aku begitu menyukainya sehingga, aku jarang sekali sakit. Jika aku sakit itupun hanya berupa flu yang terjadi ketika cuaca sedang tidak baik.
"Selamat pagi, sayang. Kau sudah membuka matamu." Aku mengalihkan pandanganku karena dokter Anastasia yang sangat baik hati ini adalah adik ibuku. Aku agak bosan karena dia adalah tipe dokter yang suka emosi meledak-ledak.
"Detak jantungmu normal, tekanan darahmu tidak cukup baik jadi, kau perlu makan dan istirahat setelahnya." Aku mengabaikannya sementara, dia masih sibuk memeriksa keseluruhan tubuhku untuk memastikan aku baik-baik saja.
"Siapa yang bertengkar di depan kamar?" Dia berhenti memeriksaku sejenak dan menatap mataku serius, "Keluargamu, sayang. Pekerjaan mereka adalah bertengkar dan khawatir jika putri satu-satunya mereka sampai terluka seperti ini." Dia tersenyum sinis, aku yakin dia sudah muak memeriksaku.
"Aku baik-baik saja, tante. Aku ingin pulang sekarang."
"Huh?" Dia menatapku sinis, "Kau cukup berani sekali mengeluarkan kalimat itu. Sekarang, minum obatmu atau aku akan menyuntikmu."
Aku memijat pelipis kepalaku yang terasa menyakitkan, "Tante, aku ini dokter. Mana mungkin aku takut dengan suntikan. Itu hal yang biasa. Sudahlah, lepaskan aku." Pintaku memelas, jujur saja aku agak muak jika harus dirawat begitu lama di rumah sakit.
"Elena, sayang bagaimana keadaanmu, kau baik-baik saja, kan?" Mama datang dengan mata yang berkaca-kaca, dia terlihat begitu khawatir, "Aku baik-baik saja, Ma. Aku cuma mau pulang."
Dia memijat pelipis kepalanya, "Elena, kau baru saja dibawa kemari semalam. Sekarang, kau sudah minta pulang. Kau harus mematuhi perkataan dokter Anastasia, jangan merepotkan dia."
"Dia dibayar untuk direpotkan, Ma."
"Ya, tentu saja, Tuan Putri. Rhea, jika sudah selesai menasehati putri kesayanganmu itu, aku menunggumu di ruanganku ada beberapa hal yang perlu aku bicarakan." Mama mengangguk paham, aku jadi penasaran apa mereka akan membicarakan tentang aku?
"Mama sudah bilang kan sama kamu, kalau ada apa-apa kamu bisa cerita ke Mama. Jangan kamu mabuk sampai kehilangan kendali dan ini terjadi lagi. Mama gak mau melihat kamu menderita seperti ini." Ucapnya terdengar serius.
"Aku baik-baik aja, Ma. Semalam aku cuma kebanyakan mabuk, kok." Ucapku, dia menyipitkan kedua matanya terlihat tak yakin dengan pernyataanku, "Kamu yakin? Kamu gak pernah seperti ini sebelumnya. Jelas ada yang menyakiti kamu, Elena." Aku terpaku, jujur saja aku tak ingin bercerita meskipun dia ibuku.
"Mengapa kau hanya diam saja, Elena? Diam bisa berarti dua hal, iya dan tidak. Jika kau bersikap demikian maka, jawaban pastinya adalah iya, ada yang menyakiti hatimu. Kau tidak perlu khawatir, ayahmu atau yang lain tak akan tau kisah ini." Dia masih berusaha menyakinkan aku untuk bercerita.
Aku menatap kedua matanya dalam, aku tak bisa bercerita, aku tak tau harus mulai darimana. Satu-satunya hal yang bisa ku lakukan sekarang adalah meneteskan air mata lagi. Mama mendekat memelukku erat, dia menepuk pundakku mencoba menenangkan aku. Aku rasa dia cukup mengerti bagaimana rasanya sakit hati. Aku bisa merasakan dia juga sedang merasakan kesedihan hatiku. Menangis tersedu-sedu sampai hampir tak bisa bernapas setidaknya membuatku sedikit lega meskipun hal itu tidak sepenuhnya menyembuhkan lukaku.
"Menangislah sepuasmu, itu pasti menyakitkan sekali." Ucap Mama
"Elena kau tau, dulu aku pernah jatuh cinta sampai pria yang ku cintai menikah dengan wanita lain. Aku sempat tak membuka hatiku sebab tak ada pria lain seperti dia namun, ayahmu berusaha menjadi lelaki yang Mama inginkan. Sampai akhirnya, Mama membuka hati lagi dan menikah dengannya. Hanya saja, prosesnya cukup panjang."
Aku mengusap air mataku, "Aku tidak pernah tau kalau Mama mencintai pria lain selain Papa."
"Tentu saja, Mama mencintai Maxime dan Franklin." Aku sedikit tertawa karena hal itu cukup menghiburku.
"Jangan menangis lagi, Elena. Bukan hanya Mama yang akan marah jika kau terluka. Ayahmu, kakek dan nenekmu. Mama yakin kamu tak ingin berurusan dengan mereka." Aku mengangguk paham,
"Jika kamu tidak mau bercerita, Mama tidak akan memaksa. Itu adalah hak mu, kamu berhak menyimpannya sebagai rahasia. Apabila rahasia itu menjadi beban dan beban itu terlalu berat di pundakmu, jangan lupa ada Mama, kamu bisa membagi beban itu. Jangan lupa bahwa kamu tidak hidup sendirian di dunia ini, selalu ada tempat untuk bersandar." Dia mengecup keningku lalu, pamit karena harus bertemu dengan adik kesayangannya.
Aku tidak pernah percaya kepada Mama atau Papa. Jika ada masalah, aku akan berusaha menyelesaikannya sendiri daripada melibatkan mereka. Mereka punya banyak koneksi yang membuat masalahku selesai dengan cepat hanya saja caranya yang salah. Aku tau keluargaku, aku mengenal mereka sebab aku melihat sendiri bagaimana mereka berbisnis, bagaimana mereka menghalalkan segala cara untuk membuat usaha mereka menjadi besar seperti sekarang.
Sejarah keluargaku, aku paham dengan benar. Aku menghargai hidup seseorang, melihat kematian adalah hal yang tidak ku suka. Seringkali aku melihat keluarga dengan penuh tangisan ketika salah satu dari anggota mereka sedang memperjuangkan hidup. Kami para dokter tak bisa membantu banyak, semua itu adalah ketentuan Tuhan. Kami hanya perantara saja.
Meskipun apa yang dilakukan Phillip begitu menyakitkan namun, aku tak bisa melakukan sesuatu. Aku akan belajar menerima semua itu dengan lapang dada meskipun, nyatanya itu adalah hal yang sulit diterima. Dia menikah dengan gadis lain setelah memberikanku harapan indahnya. Dia tak memberikan alasan mengapa dia memilih menikah dengan gadis lain daripada aku?
Mungkin aku bukan tipenya? Alasan mengapa dia menikah masih begitu misterius. Dia meninggalkanku spontan tanpa pemberitahuan. Terakhir kali, kami berjumpa di bandara sebelum aku meninggalkan Melbourne menuju Perth. Aku sempat menawarinya agar pergi bersamaku untuk bertemu orangtuaku karena aku ingin hubungan ini lebih dari sekedar pacaran. Aku ingin menikah dengannya sama seperti dia sebelumnya namun, seperti malam sebelumnya, dia bersikap begitu dingin dan menolak untuk bertemu dengan kedua orangtuaku.
Phillip sudah cukup, dia berusia sekitar 27 tahun, 3 tahun lebih tua dariku. Dia mengatakan setelah aku menyelesaikan studi kedokteranku, dia akan melamarku. Hubungan kami sudah berjalan 2 tahun lebih dan sejujurnya mengingat semua kenangan bersama adalah hal yang paling menyakitkan. Aku tak ingin kehilangan akan tetapi, dia memilih untuk menikah.
Aku masih terus menangis sendirian di kamar ini, sesekali perawat datang untuk memeriksaku. Dia bertanya apakah aku baik-baik saja atau tidak sebab dia melihat mataku yang sudah bengkak karena menangis. Aku tak bisa berhenti menangis, pernikahan Phillip adalah hal yang begitu mengejutkan untukku. Dia adalah pria baik yang ku kenal selama ini. Di antara beberapa pria yang tak siap dengan aku yang begitu sibuk menyelesaikan kuliah kedokteranku, Phillip adalah orang yang begitu sabar sebab dia mau menunggu dan mengerti kesibukanku.
"Yang benar saja, Tuan Putri. Kau masih menangis, masih banyak pria di luar sana. Apa kakakku tidak menasehatimu dengan baik?" Dokter ini mengoceh sembari menekan stetoskop di dadaku.
Aku mengusap air mataku, "Aku hanya ingin pulang dan istirahat di rumah." Pintaku memelas, "Bahkan jika kau tertidur dan bangun, itu tidak akan membuatmu lebih baik sebab ingatan akan terus bekerja memutar waktu, mengembalikanmu kepada waktu dimana kalian masih bersama."
"Sekarang, minum obatnya dan kau bisa cepat sembuh. Kau ini harusnya lebih betah berada di sini sebab aku yakin ini bukan pertama kalinya kau berada di rumah sakit." Aku menelan obat yang dia berikan.
"Memang bukan, hanya saja ini pertama kaliny aku dirawat serius. Jika aku sakit, aku akan menyembunyikannya dan tidur di rumah."
"Kau sepertinya hobi sekali menyembunyikan sesutu, Elena. Tapi, kau tak cukup baik dalam berbohong, tatapan matamu menceritakan bagaimana rasa sakit itu." Dia melambaikan tangannya, meminta kedua asistennya keluar dan duduk di sampingku.
"Tante tau kan, aku tak pernah suka apabila mereka terlalu khawatir kepadaku."
"Charles dan Linda tak memiliki anak perempuan, Linda keguguran ketika dia akan memiliki anak lagi. Carl, Evans dan Maxime lahir terlebih dulu sampai akhirnya kau anak perempuan pertama di dalam keluarga dan satu-satunya. Mana mungkin mereka tidak khawatir jika terjadi sesuatu denganmu."
"Aku tak suka hal yang berlebihan, sikap mereka membuatku tak bisa hidup bebas." Kataku,
"Termasuk memilih lelaki idamanmu,hmmm?" Dia tersenyum tipis, "Ku rasa, mereka bahkan selalu menyebut nama Gavin Carson sampai telingaku rasanya mau meledak mendengar nama pria itu."
"Oh ya, siapa yang membawaku kemari semalam?" Tanyaku penasaran sebab ketika aku melewati jalan semalam, jalanannya begitu sepi karena kebanyakan orang sudah beristirahat, "Carl Foster, kau hampir menabrak mobilnya semalam."
"Apa!" Aku melotot terkejut tak percaya bahwa yang hampir ku tabrak semalam adalah Carl. Mengapa kebetulan ini bisa terjadi lagi ya Tuhan. Aku tak ingin dia ada di hidupku.
"Apa ada yang salah dengan Carl? Dia bahkan membuat komplen dengan ambulance rumah sakit karena tidak fast response sehingga, kau harus diangkat oleh dia dan pengawalnya. Kau jangan khawatir, dia tidak menyakitimu." Sekarang, ingatanku kembali di malam aku dan dia tidur di ranjang, astaga! Mengapa ingatan itu tidak hilang dari kepalaku.
"Elena!" Lamunanku tergugah mendengar panggilan dari tante Anastasia, "Jangan melamun, kau sebaiknya istirahat sekarang. Jangan memikirkan hal lain termasuk pekerjaan, kau harus sembuh dulu untuk menjadi dokter yang baik. Tante akan kembali ke kantor, jika ada apa-apa kau bisa memanggil perawat." Aku mengangguk paham.
Perawat menyuntikkan obat tidur ke dam tubuhku yang membuat aku tertidur nyenyak. Pagi ini nenek berkunjung sendirian tanpa kakek karena kakek sedang bekerja. Seperti biasa, dia mengoceh agar aku bisa sehat kembali, aku hanya mengiyakan semua kalimanya sebab jika aku membantah, itu akan jadi masalah besar. Mama dan Papa akan datang nanti malam karena mereka sibuk bekerja pagi ini.
Ketika aku bosan sendirian, aku memanggil Marina untuk datang di sela-sela istirahatnya. Dia bekerja di sini, kemaren dia sudah menyempatkan datang ketika jam istirahat. Sekarang, aku ingin dia datang berpura-pura menjadi dokterku agar dia tak dimarahi oleh atasannya karena tak bekerja. Aku rasa para pekerja di rumah sakit ini tidak tau siapa aku jadi, itu hal yang aman karena jujur saja aku tak suka jika banyak yang tau tentang diriku.
"Rasanya tidak menyenangkan sekali, Marina." Keluhku karena dokter Anastasia tak kunjung mengizinkanku pulang.
"Apakah Tuan Putri merasa tidak nyaman berada di kamarnya yang hampir tak tercium bau obat-obatan?" Dia tersenyum menggodaku,
"Ayolah, kau tau aku benci panggilan itu, cukup keluargaku yang memperlakukan aku ini seolah belum dewasa. Astaga! Aku merasa agak bosan." Protesku.
"Aku serius sekarang, dia benar-benar meninggalkanmu tanpa memberikan penjelasan?" Dia menatap kedua mataku serius.
"Iya, aku menelponnya sesaat sebelum menabrakkan mobilku ke pembatas jalan, aku sempat berpikir untuk mati waktu itu. Dia sudah mengkhianati semuanya, Marina." Aku berhenti sejenk dan menarik napas dalam,
"Kepercayaan, harapan, dia telah menghacurkan separuh hidupku." Tambahku
"Aku tak menyangka dia akan berbuat seperti itu, dia adalah pria yang baik." Aku menatapnya sinis, "Entahlah, dia pasti punya alasan hanya saja aku berharap tak bertemu dengannya lagi. Aku perlu ruang dan waktu untuk berpikir dan bernapas bagaimana melanjutkan hidup tanpanya."
"Kau bisa berlibur sejenak setelah keluar dari rumah sakit ini. Aku bisa menggantikan beberapa pekerjaanmu." Katanya memberi ide.
"Aku rasa itu ide yang bagus, aku akan nekat pergi jika tak segera dikeluarkan di rumah sakit ini." Kami berdua tertawa sebab aku percaya Dokter Anastasia akan memperpanjang jadwal rawat inapku dengan dalih bahwa keadaanku masih belum stabil padahal aku merasa begitu fit sekarang.
"Cepat sembuh, Elena. Aku minta maaf jika aku tidak memperhatikanmu ketika berada di pesta."
"Sudahlah, Marina. Kau tidak bersalah, aku yang harus berterima kasih karena kau sudah mau membuat acaranya hanya demi aku." Kataku, Marina mengangguk pamit lalu, keluar dari ruanganku.
Ketika aku mencoba untuk istirahat setelah kepergian Marina. Paman dan Bibi serta keluarganya datang membawa beberapa hadiah buket yang hampir membuat ruangan ini penuh.
Dan ada Carl di dekat pintu, entah mengapa dia tak masuk ke dalam?
To be continued ...
