Chapter 4: Phillip's Wedding
Elena
Aku sama sekali tak tertarik dengan pembicaraan yang arahnya hanya pada bisnis gelap keluarga. Jujur saja, aku tidak menyukai pembunuhan, seringkali mereka membunuh orang hanya demi menghalalkan usaha mereka untuk mendapatkan uang. Aku hanya tak bisa berkata banyak karena ibuku akan mengoceh bahwa bukan ranahku untuk bicara. Memilih untuk bungkam atas hal ini membuatku sedikit sakit hati hanya saja itu adalah satu-satunya yang bisa ku lakukan.
Selama perbuatan mereka tidak merugikan aku dan orang yang ku cintai maupun orang yang ku kenal, aku tidak akan memiliki masalah dengan itu. Aku tetap akan melanjutkan hidupku sebagai anak perempuan satu-satunya di keluargaku dimana nenek dan kakekku begitu overprotective kepadaku. Mereka begitu takut akan kehilangan diriku.
Aku tak bisa beralih, pikiranku masih terbayang tentang Phillip, pria yang selalu ada ketika aku sedang berusaha mati-matian untuk lulus dari fakultas kedokteran. Dia mendukungku sepenuhnya, memberikan aku semangat yang sangat aku butuhkan. Dia selalu ada untukku, kita selalu saling menyempatkan waktu untuk bertemu dan berbincang tentang sempitnya dunia ini.
Banyak hal sederhana yang membuatku semakin jatuh cinta yang menyakitiku. Entah mengapa sekarang dia berubah tanpa sebuah alasan yang jelas. Dia menjauh dariku, tak mau bertemu keluargaku, dia tetiba lupa dengan janjinya bahwa suatu hari nanti kita akan hidup bersama. Namun, ku rasa dia sudah lupa akan semua itu dan mengabaikan aku yang baru saja akan memasuki dunia kerja. Rasanya tak bergairah pergi bekerja tanpa ucapan semangat darinya.
Dering telpon dari Marina menyadarkan lamunanku. Aku tak mendengarkan rapatnya jadi, aku tak tau betul-betul tentang apa yang mereka bicarakan. Aku izin pamit terlebih dulu untuk mengangkat telpon dari Marina. Dia adalah salah satu sahabatku yang ku kenal sejak awal masuk ke fakultas kedokteran. Kami saling bercerita, ketika dia menelpon itu ada suatu hal yang penting yang ingin dia bicarakan. Aku tak ingin melewatkan setiap saat bersama dengan Marina karena dia selalu ada saat aku merasa terpuruk, aku selalu ingin menjadi sebaliknya.
"Ada apa, Marina? Kau menelpon di tengah-tengah rapat. Kau tau keluargaku suka membicarakan hal tidak penting." Protesku lirih, aku sedikit merasa terganggu karena jujur saja aku ingin sendirian sementara waktu ini.
"Heyyy, kau terlalu kelelahan, Elena. Tidurlah dengan nyaman di kasur dan ruangan mewahmu, Tuan Putri." Dia tertawa kecil untuk menghiburku.
"Aku tidak tertarik untuk tidur sekarang, aku masih belum mengantuk," kataku.
"Menjadi putri satu-satunya terdengar melelahkan bagimu." Katanya lagi, "Aku tak ingin menganggu waktumu, Elena. Jika kau punya waktu besok, ada hal yang ingin aku bicarakan. Tapi, hal ini tidak terlalu penting bagiku jadi, jika kau tidak bersedia..."
Aku memotong ucapannya, "Mar, kita sudah bersahabat sejak lama, kau tau persis apa yang baru saja terjadi. Aku harap kau tidak membuatku penasaran, apa yang ingin kau katakan kepadaku?" Tanyaku dengan nada lebih santai untuk menggugah gairahnya untuk bercerita.
"Apa kau yakin siap mendengar semua ini?" Langkahku tetiba berhenti ketika dia menanyakan mengenai kesiapanku mendengar berita yang sudah dia ketahui.
Aku mengerutkan dahiku heran, "Aku siap untuk berita apapun itu, Marina. Jangan membuatku penasaran," protesku sembari berjalan menuju ruanganku. Aku agak bingung karena sudah lama sekali tak menginjakkan kakiku di rumah ini.
"Phillipus Brown, dia akan menikah besok pagi..." Aku melotot terkejut sembari berpegangan pada gagang pintu yang baru saja ku dorong.
"Apa katamu? Phillip? Dia akan menikah?" Tanyaku memastikan, aku tidak percaya Phillip menikah.
"Iya, Phillipus Brown akan menikah dengan Chyntia Cornwell besok pagi. Kau pasti sudah mendapatkan undangan keluarga karena Brown merupakan partner perusahaan keluargamu." Aku tersungkur meneteskan air mataku.
"Mengapa dia melakukan itu kepadaku?!!!! " Teriakku di telpon karena emosiku tercampuk aduk dengan kesedihan, amarah dan kekecewaan.
"Aku tidak bisa menerima ini, Mar! Dia sudah berjanji akan menikahiku, lalu sekarang, mengapa dia akan menikah dengan gadis lain?" Aku menangis tersedu-sedu sembari berteriak di ponsel.
Aku terus menangis tanpa henti sembari berteriak tanpa memperdulikan seorang pria yang masuk tanpa izin lalu, mengunci pintu kamarku tanpa izinku. Dia memelukku, ya dia, Carl Foster, sepupuku yang baru saja ku tiduri semalam. Kini dia menyusup ke dalam ruanganku dan memelukku tanpa izin. Aku tak bisa menolak pelukannya yang hangat, aku merasa nyaman berada di sekitarnya daripada ketika aku bersama dengan Phillip.
Aku mematikan ponselku karena tak ingin Marina tau bahwa yang ku tiduri semalam adalah sepupuku sendiri. Aku melepaskan pelukannya dan memintanya untuk bertemu dengan istrinya daripada dia di sini tidak berguna untukku. Carl menyatakan rasa cintanya di tengah-tengah perasaanku yang sedang campur aduk. Aku tak mengerti harus menjawab apa sebab selain dia punya istri, aku tak begitu tertarik dengan Carl yang selalu tebar pesona kepada para gadis cantik.
Dia keluar mengatakan bahwa dia memberikan aku waktu yang tak ku butuhkan. Satu-satunya hal yang bisa membuatku merasa lebih baik sekarang adalah pergi menjauh dari semua ini. Aku rasanya tak ingin melanjutkan kehidupan ini. Aku tak percaya Phillip bisa mengkhianati aku semudah itu. Dulu dia selalu berjanji untuk menikahiku, membahagiakan aku dan menyempatkan waktu bersama. Kini semua sirna hanya dalam sekejap, dia memutuskan untuk menikah tanpa memberitau aku. Sekarang, aku mengerti alasan mengapa dia tak mau melamar dan bertemu dengan keluargaku.
Aku masih terus menangis sebab rasa sakit di dalam hati ini melebihi segalanya. Aku tak bisa menerima pengkhianatan ini. Aku tak akan bisa, semua kenangan manis yang telah kita lalui bersama terlukis indah di dalam pikiranku. Kami sering berbincang untuk mengelilingi dunia sebelum memutuskan untuk memiliki anak. Dia memberikan bunga mawar setiap hari dengan ucapan cintanya yang kian hari kian bertambah. Lalu, bagaimana sekarang dia bisa melupakan semua ucapannya, mengapa dengan mudahnya dia menikah dengan gadis lain dan meninggalkan aku.
Aku sudah tertipu oleh semua ucapannya, dadaku semakin sesak mengingat semua kenangan tentang dirinya. Aku terus berteriak menangis dalam kesendirian di ruangan ini. Aku rasanya hampir tak bisa bernapas karena ini terlalu menyakitkan. Aku mencoba menelponnya akan tetapi, dia tidak mengangkatnya. Dia tidak mengirim satu pesan sekalipun untuk menjelaskan alasan mengapa dia memilih untuk menikah dengan gadis lain dan meninggalkan aku. Aku membuang ponselku jauh, rasanya hatiku tercampur aduk oleh amarah, sakit hati dan kebencian kepadanya.
"Elena!" Terdengar suara Mama berteriak memanggil namaku sembari mengetuk pintunya keras. Aku masih sesenggukan mencoba untuk menenangkan diri, tak boleh ada yang tau aku sampai menangis atau hal ini akan jadi masalah besar.
"Elena, buka pintunya. Apa yang terjadi? Kau terdengar berteriak menangis!"
Aku berjalan mendekat sembari mengusap air mataku. Aku memutar kunci pintunya perlahan, aku menarik napas dalam-dalam lalu, membuka pintunya. Mama bersama dengan Sam. Sekilas dia meminta Sam pergi dengan membawa kunci pintu karena aku sudah membuka pintu kamarnya.
"Elena, apa kau baik-baik saja?"
"Kau terlihat tidak baik, apa kau baru saja menangis?" Aku benar-benar terpaku, aku tak tau harus menjawab apa dan darimana aku harus mulai menjelaskan apa yang baru saja terjadi.
"Elena, mengapa tidak menjawab pertanyaan Mama?" Dia masuk dan menutup dan mengunci pintunya memastikan agar tak ada yang lain mendengar percakapan kami.
"Aku baik-baik saja, Ma." Jawabku lirih, aku mencoba sekuat tenaga untuk membendung air mata yang hampir tumpah ini. Astaga! Aku rasanya tidak sanggup bila harus menahan tangis, aku rasanya ingin menangis lagi.
"Kau tidak cukup pandai untuk berbohong, Elena. Sekarang, duduk dan ceritakan apa yang terjadi? Siapa yang sudah menyakitimu?"
Kami duduk di sofa, menatap satu sama lain, aku masih mencoba membendung air mataku namun, Mama benar, aku tidak pandai berbohong. Pada akhirnya, aku menangis tersedu-sedu lagi sebelum bisa bercerita apa yang baru saja terjadi. Dia memelukku erat, menepuk pundakku, aku yakin dia bisa merasakan apa yang aku rasakan. Aku terus meneteskan air mataku di atas dressnya. Teriakan tangisanku memenuhi telinganya, aku tak bisa berhenti. Ini terlalu menyakitkan, sudah 2 tahun lebih aku dan Phillip bersama namun, dengan mudah dia meninggalkan aku dan menikah begitu saja.
"Menangislah sepuasmu, kau tidak perlu bercerita hari ini. Sekarang, istirahat. Kau tidak boleh sakit. Jika mau, Mama bisa menemanimu malam ini." Aku menggelengkan kepalaku menolak tawarannya.
"Aku ingin sendiri lebih dulu, Ma." Aku mengusap air mataku, dia mengambil tisu dan mengusap air mata yang tersisa di bawah pelupuk mataku.
"Baiklah, Elena. Mama tidak ingin melihat kamu bersedih. Jika besok bisa bercerita, kita bisa pergi ke Treef berdua." Dia tersenyum tipis menawarkan sebuah waktu hanya untuk mendengarkan curahan hatiku.
"Sleep well, my love." Dia mengecup keningku, lalu, keluar.
Mama tak akan membiarkan anak-anaknya bersedih terutama aku karena aku adalah kesayangannya. Dia bahkan meluangkan waktunya hanya untuk berbicara di cafe Treef, salah satu Cafe milik Foster Group. Tapi, aku tak ingin bercerita kepadanya, itu hal yang tidak perlu. Aku ingin menyembunyikan kisah ini rapat-rapat dan membakarnya agar menjadi abu yang berterbangan bersama angin malam.
Aku hanya tidur sesaat sebelum akhirnya terbangun untuk bekerja. Hari ini kami kembali ke rumah masing-masing karena acaranya sudah selesai. Keluarga paman Carlos dan Bibi Stella sudah pulang semalam. Mama Papa dan Franklin menyempatan waktunya untuk sarapan bersama nenek dan kakek sebelum pergi bekerja. Sementara, Maxime sudah pergi sejak pagi buta untuk bekerja, dia adalah pria yang rajin.
Aku melewatkan sarapan karena aku tak ingin memakan apapun. Aku tak bergairah ketika melihat makanan yang tersaji di atas meja. Aku melewatinya akan tetapi, ada saja yang menghentikan perjalananku.
"Elena, duduk dan sarapan bersama kami. Apa kau ingin bekerja di pagi buta sama seperti Maxime?" Kakek menghentikan langkahku, jujur aku tak suka diganggu. Tapi, aku tak ingin membantah perintanya jadi, aku berbalik untuk duduk dan menikmati sesuap sarapan yang pelayan hidangkan di piringku.
"Aku hanya buru-buru saja. Jadi, aku harus pergi sekarang." Kataku, aku tak ingin berlama-lama jadi, setelah menghabiskan setengah makanan yang ada di piringku, aku hendak pamit.
"Kau terlihat sedikit pucat hari ini, apa yang terjadi, Elena? Ibumu mengatakan semalam kau sedang menangis, dia sempat ke kamarmu." Aku menelan ludahku, tak siap menjawab seluruh kekhawatiran mereka tentang hidupku.
"Calvin, aku pikir dia hanya sedikit lelah makanya, dia sedikit pucat."
"Tidak, ini make-up saja. Lipstiknya memang begitu." Kataku menambahkan agar mereka percaya bahwa aku sedang tak bersedih.
"Ibumu mengatakan kau menangis semalam, berteriak. Kau kenapa?"
"Calvin, kau harus banyak istirahat, kau ini sedang mengigau atau bagaimana, aku tidak mengatakan itu semalam." Ucap Mama mencoba mengalihkan topik pembicaraan, aku rasa dia paham bahwa aku tak ingin membicarakan tentang apa yang terjadi.
"Aku memang sedang mengigau, Rhea. Kau ini yang benar saja!" Ucap Papa kesal.
"Malam ini, kita akan menghadiri acara resepsi pernikahan Phillipus Brown, mereka mengundang kita secara pribadi. Aku ingin kau datang bersama Gavin." Ucap Papa, hatiku seolah tertusuk mendengar nama Phillip lagi.
"Malam ini, aku akan pergi ke acara ulang tahun Marina jadi, aku tak bisa datang. Kalian saja." Kataku sembari beranjak dari kursi.
"Elena, kau bisa bercerita kepada kami jika ada yang menyakitimu, tidak boleh ada yang menyakitimu." Kakek berdiri, dia mendekat ke arahku dan memelukku.
"Aku baik-baik saja, kakek. Aku hanya sedikit kelelahan."
"Baiklah, jika kau ingin pergi bekerja, hati-hati di jalan. Nikmati pestamu malam ini, jangan lupa untuk selalu bersama dengan Sam setiap saat." Aku mengangguk paham, dia mengecup keningku dan akhirnya aku bisa pergi meninggalkan mereka, astaga rasanya lega sekali setelah keluar dari perkumpulan para tetua keluarga ini.
Setelah bekerja seharian, aku sejenak melupakan tentang Phillip. Aku sudah memberitau Marina untuk mengadakan sebuah pesta di lobi hotel hanya karena aku ingin menghindari resepsi pernikahan Phillip.
"Aku tidak percaya kau memiliki ide segila ini, Elena."
"Sudahlah, aku akan membayar semuanya, kau tidak perlu khawatir."
"Baiklah, mari kita bersenang-senang." Marina menarikku ke arah kerumunan dimana beberapa orang sedang berjoget sembari menikmati musik.
"Marina, kau saja. Aku tidak bergairah untuk pergi, aku akan duduk untuk minum." Kataku menolak ajakannya.
"Baiklah, sayangku. Aku akan menemanimu untuk mabuk."
Aku dan Marina duduk untuk menikmati minuman yang telah ku pesan, "Elena, mengapa banyak sekali, aku tidak ingin kau terlalu mabuk." Aku tak menghiraukan ucapan Marina dan tetap minum sampai aku puas.
"Elena, jangan minum terlalu banyak!" Marina mulai berteriak khawatir, "Aku sudah muak dengan semua ini, Mar. Aku rasanya tak ingin hidup lagi!" Kataku, di setengah kesadaranku yang mulai hilang.
Aku keluar ketika Marina mulai menyambut tamu yang mulai berdatangan. Aku mengambil kunci mobil dan meninggalkan Sam yang sedang mengobrol. Aku menyetir dengan laju yang cukup cepat, aku berteriak menangis. Tak sadar, terdapat mobil yang bersimpangan dan akhirnya aku menghindar menabrak pembatas jalan, aku terpental karena tak mengenakan sabuk pengaman. Aku tak tau, aku sepenuhnya kehilangan kesadaranku.
To be continued...
