BAB 9 RASA YANG TAK BIASA
Setelah pertemuanku dengan Kak Arthur suasana hati ini jadi tak menentu, ditambah dengan Kak Cindy yang tiba-tiba mara-marah, semuanya jadi makin rumit, sepertinya Kak Cindy menyukai Kak Arthur, sekarang aku jadi lupa tujuanku, dan setelahnya aku tersadar teringat dengan seseorang di halte saat melihat gumpalan awan hitam serta gemuruh kecil.
“Kak Vano!” Aku menepuk dahiku dan berlari sekuat tenaga menuju halte bus berharap dia masih ada di sana, kemungkinannya memang kecil tapi aku hanya ingin sekedar mengucapkan terimakasih.
“Yah gak ada.” Aku terduduk lemas saat sudah sampai di halte, pandanganku menyusuri sekeliling halte berharap menemukan seseorang yang ingin ku temui tapi sepertinya tidak mungkin, karena untuk apa dia masih ada di sini sedangkan hujan sudah reda. Aku pun mencoba memejamkan mata dan menikmati hembusan angin sebelum hujan hal aneh yang baru aku lakukan sejak pertama kali bertemu dengan dia disini.
“Jangan mengulangi kebodohan yang sama.” Suara bariton yang aku sangat hafal mulai menggema di telingaku, aku masih tidak ingin membuka mata dan berharap suara itu bukan hanya sebuah ilusi suara yang aku timbulkan karena harapan lebih.
“Saya lagi ngomong.” Ternyata ini bukan ilusi jadi aku memutuskan untuk membuka mata dan menemukan sesosok laki-laki dengan baju jersey (baju pemain sepak bola) berwarna biru dengan rambut yang sedikit basah juga dengan tas yang menggantung di punggung.
“Kakak?” ucapku setelah memandanginya cukup lama.
“Iya saya nyata, coba aja pegang. Saya ini bukan hantu” ucapnya seperti sudah lelah karena setiap aku bertemu dengannya aku seperti orang yang kaget melihat hantu.
“Loh kok ada di sini?” Aku masih tak menghiraukannya seakan tak percaya seperti mujizat, harapanku nyata dia ada disini.
“Ini kan tempat umum.” Ucapnya santai lalu duduk disampingku, sekarang aku menyesali keputusanku untuk kembali ke sini, debaran jantung ini tidak dapat dikondisikan.
“Ngapain? Mau kayak tadi pagi lagi?” tanyanya yang memiliki dua arti yang sulit ku tafsirkan, aku tak tahu menjawab apa? Tadi pagi seperti saat kita berbincang atau saat aku menyadari kebodohanku yang berdiam diri sehingga hujan turun dan telat sampai di sekolah, dua kemungkinan itu berputar-putar di kepalaku.
“Saya ini nanya jangan dianggap angin lalu.” Ia masih memandang lurus kedepan melihat setiap tetesan hujan yang kembali jatuh menyentuh permukaan aspal.
“Gini kak, maksud…saya itu mau…” Ucapku mencari kata-kata yang tepat agar aku terlihat tak begitu mengharapkannya, dia seakan menunggu jawabanku walaupun masih dengan mata terpejam dan menatap lurus.
“Cari kakak.” Ucapku singkat cepat tapi tak merubah sikapnya.
“Ngapain cari saya?” tanyanya.
“Mau bilang maaf dan makasih untuk pagi tadi.” Aku yang sedari tadi memandangi sepatuku yang sebenarnya tak sebanding dengan karya Tuhan yang ada di hadapanku, akhirnya aku mulai mengumpulkan keberanian yang entah dari mana datangnya untuk kembali menikmati wajahnya. Kami sama-sama terdiam, dia yang masih menikmati hujan dan aku yang masih terus menikmati keindahan saat ini.
“Saya senang bisa bantu, kasihan murid baru kalau bolos gak ada alasan jelas.”
“Maaf buat kakak bolos.” Ucapku tertunduk dia mendengus mendengar kata maaf yang tak tahu sudah berapa kali aku sebutkan, hati ini terdorong untuk membuat percakapan ini terus berlanjut jujur ternyata lebih mudah memulai daripada mempertahankan “percakapan”.
“Kok pake baju ini?” tanyaku menunjuk bajunya.
“Abis main bola.”
“Bukannya kakak ini ketua tim basket? Kok main futsal?” Pertanyaan itu terlontar tanpa aku pikirkan.
“Memang gak boleh?” ia mulai membuka kedua matanya dan menatapku.
“Bo…bo leh aja sih kak.” Aku terbata-bata melihatnya membuka kedua matanya.
“Kamu kenapa cerewet banget?” tanya Kak Vano.
“Kan punya mulut?” tanyaku kembali, aku betul-betul sudah berubah kembali menjadi diriku, mendapatkan kembali apa yang selama ini tersembunyi.
“Kemarin-kemarin kok pendiem?” tanyanya menggoda dengan menaikan satu sudut bibirnya, kemudian dia mendekat, karena tidak mendapat jawaban dariku, dan kalian bisa tebak saat ini aku hanya terdiam tak bisa berbuat apa-apa selain menutup wajahku.
“Jadi inget kejadian di ruang basket…” Ketika dia berbicara seperti itu, aku langsung membuat kedua telapak tanganku yang tadi aku gunakan untuk menutup wajahku.
“Kenapa? Mau lagi?”
“Modus!”
“Idih, terlalu percaya diri!” balasnya terkekeh, setelahnya aku melipat kedua tangan ku didepan dada.
“Pulang, sebentar lagi hujan.”
“Kakak?”
“Ini saya juga sudah mau pulang.”
“Oh… kakak berarti bisa main futsal juga ya?” lalu dia mengangguk, astaga Sunny kenapa kamu terus mencari bahan obrolan, apakah ini awal dari sebuah kenyamanan.
“Terus kakak bisa semua jenis olahraga?”
“Nggak juga.”
“Tapi kan kakak atletis?” aku keceplosan lalu segera menutup mulutku, apa barusan aku memuji bentuk tubuhnya? Sunny kenapa jadi begini sih?
“Banyak yang kamu gak tahu tentang saya.” Ia terkekeh, ucapnya lagi kini menatapku dalam, aku ingin tahu semua tentangnya, disebut apa ini? Aku tak mengerti intinya aku ingin tahu segalanya yang berhubungan dengan Devano Christian si cowok dingin ini.
*******
Hujan yang tadi begitu deras sekarang sudah berganti dengan langit yang sedikit lebih cerah. Aku melihat jam tangan dan menunjukkan Pk 17.00.
‘Halo’
‘Halo juga Sun, lagi apa?’ Tanya seseorang dengan suara yang sulit ku kenali tapi aku mulai mencoba mengingat.
‘Lupa ya?’ tanyanya setelah suara itu kembali terdengar aku tahu.
‘Hai kak, saya gak lupa kok.’ Jawabku yang kikuk.
‘Bagus kalau gitu gue seneng deh dengernya, lo gak akan lupain gue.’
Sejak itu pembicaraan kami berlanjut sampai Pk 21.00 aku memutuskan untuk menyudahinya karena sudah larut malam atau mungkin faktor utamanya adalah debaran jantungku yang sulit untuk dikendalikan. Perbincangan kami mengenai sekolah dan hal menarik lainnya yang bisa diperbincangkan, anehnya jika nama Kak Vano yang disebutkan aku langsung tersenyum sendiri membayangkan wajahnya yang selalu saja datar dan masam.
*******
“Pagi Sun, nanti kita gak pulang bareng ya. Aku ada pertemuan basket sama pangeranku.” Della yang baru datang langsung membuyarkan lamunanku. Tepat saat aku menyadari kata pangeran yang diucapkan Della hati ini tiba-tiba terasa tawar tak semanis tadi sesaat sebelum Della datang.
“Pertemuan basket?” tanyaku.
“Iya, masa pertemuan keluarga?” dia terlihat senang sekali, kebalikan dari yang aku rasakan.
“Amin.” Balasku, langsung di hadiahi pelukan hangat, tapi tidak dengan hatiku yang tiba-tiba menjadi dingin.
Mungkin aku harus menjauhi Kak Vano sehingga rasa ini berhenti, tak meluas dan tak semakin dalam, sehingga berpeluang untuk menghancurkan hubungan pertemanan yang sudah 3 tahun aku miliki.
********
“Hai Sunny, udah tahu sesuatu?” tanya Kak Arthur yang membuatku terperanjat kaget karena sekarang aku sedang makan di kantin.
“Eh… sorry, lo gapapa?” dia terlihat khawatir, aku membalasnya dengan senyum.
“Lucu banget sih.” Ia langsung mengacak rambutku dan aku merasa perasaan aneh itu datang lagi, Kak Arthur masih asik mengacak rambutku tapi mataku seperti menangkap sesosok bayangan yang aku hafal.
“Kak Vano” ucapku saat mataku mengikuti ke arah yang ia tuju dan mata kami bertemu, tepat pada manik matanya dan kembali dia lebih cepat memutuskan kotak mata kami.
“Kenapa Sun?” tanya kak Arthur yang menyadari aku terdiam.
“Emm… engga kok kak. Tadi mau ngomong apa?” tanyaku mencoba kembali pada benang merah.
“Ada acara penerimaan murid baru diadain tiap tahun di villa punya sekolah di Puncak, untuk anak kelas 10 sama OSIS.” Katanya cepat dengan tersenyum.
“Wah asik dong kak.” Aku tersenyum karena mungkin yang ada saat ini dihadapanku adalah Kak Arthur namun dipikiranku ada laki-laki yang aku yakin akan ikut bersama ke acara itu.
“Lo harus ikut ya, gue kan ketua panitianya loh.” Dia tersenyum bangga.
“Kak Vano ikut?” Sunny bodoh lagi-lagi melontarkan pertanyaan tanpa dipikirkan, pertanyaan itu muncul dari dalam hatiku, seseorang yang aku harapkan akan ikut.
“Pasti, dia kan OSIS lagian dia wakil gue kok. Ada apa nanyain dia?” Lihatlah kebodohan ini dan Kak Arthur mulai curiga.
“Oh engga kak, temenku kan suka dia jadi kalau Kak Vano ikut temenku ikut dan aku pasti tambah pengen ikut.” Jelasku entah mendapat pencerahan dari mana menjawab sebaik tadi, bersyukurlah otakku masih bisa diajak berdamai.
“Oh temen lo, kirain lo yang naksir.” Dia tersenyum lega, sementara aku terpaku mendengar kalimat terakhirnya.
*******
“Jadi di sini kita bakal bahas sedikit tentang rencana cup dengan SMA Budi Utama, saya mau lihat kemampuan kalian dalam pertandingan. Berhitung 1&2 mulai.” Ucapnya memerintah sambil dia menuju ke lapangan bola dan membawa bola basketnya, kenapa aku bisa mengetahui semua ini karena aku memperhatikannya dari pinggir lapangan dia sungguh mengagumkan dengan suaranya lantang.
“Sekarang tentukan kapten dan kita mulai bermain.” Ia melempar bola ke atas setelah memberikan 15 detik waktu untuk masing-masing tim berpikir siapa yang layak menjadi kapten. Cuaca hari ini sangat bersahabat untuk mereka yang sedang di lapangan tapi tidak denganku, aku di pinggir lapangan menunggu seseorang.
Seseorang itu Della, tadi dia bilang tidak ingin pulang bersama tapi kenyataanya sebelum bel pulang berbunyi.
‘Sun bareng ya, aku gak bawa payung.’ Dia menunjuk ke arah awan mendung bergemuruh.
‘Tapi kamu bakalan lama gak Del, ada tugas Biologi nih.’ Ucapku memandangnya memelas.
‘Engga cuman 30 menit, janji permainan pemanasan doang kok.’ Ucapnya merajut, aku tak tega. Dan sekarang disinilah aku masih menunggunya yang tak kunjung selesai, aku mulai memutar otak agar tidak bosan sebaiknya aku mengerjakan tugas biologi yang 50 soal pilihan ganda saja. Aku mengeluarkan kertas yang sudah berisi tulisan dengan ketikan rapi.
“Belum pulang?” tanya seseorang yang berdiri di sampingku, tak asing lagi dan malah hafal, aku ragu menatapnya jadi aku terdiam melihat kertas seakan tadi hanya hembusan angin kencang, rambutku yang terurai membuatku hanya bisa melihat tubuhnya, kalau aku melihat wajahnya saat ini pasti rasa gugup ku semakin bertambah.
“Saya ini lagi ngomong.” Kini ia duduk di sampingku, sekarang yang dia lakukan membuat darahku berdesir, tanganku dingin menggenggam lembar jawaban.
“Eh iya kak, belum.” Akhirnya bisa mengeluarkan kata-kata dan dibalasnya anggukan saat melihat ke arah kertas dan pen yang ku genggam.
“Yang nomor 9 jawabannya E.” Ucapnya saat ternyata dia memperhatikanku yang bingung menjawab soal.
“Kok tahu?” tanyaku bingung tapi setelah itu merutuki kebodohanku dengan menepuk jidat.
“Kebodohan lainnya.” Ucapnya sarkas, segera aku menepuk jidat.
“Saya balik ke lapangan.” Ia melangkah dengan pasti tanpa menengok ke belakang sementara aku mematung diam, mengapa akhir-akhir ini ia sering sekali menghampiriku, punggung tegapnya membuatku terpaku, siluet itu kembali muncul, dan aku sangat suka melihatnya.
“Saya sudah melihat kemampuan kalian, saya umumkan siapa saja yang masuk ke tim inti minggu depan sekarang kita berdoa sebelum pulang dipimpin Rama.”
“Tadi ngapain pangeranku ke sini?” tanya Della yang mengagetkanku yang sedang mengerjakan soal biologi, ia terlihat penuh keringat, kemudian ia meneguk air minumnya sampai habis.
“Nanya kenapa belum pulang.” Ucapku singkat memasukan kertas dan mulai menggendongnya.
“Itu doang? Gak nanyain tentang aku, nyari tahu kesukaanku, ulang tahunku?” Astaga sahabatku ini cerewetnya bukan main.
“Ngarep kamu, udah yuk pulang keburu hujan nih.” Aku segera menarik tangannya dan menuju gerbang saat kami berjalan suara sepeda yang sedang dikayuh seseorang terdengar dan aku sudah tebak pemiliknya dan dia lewat begitu saja, sulit di tebak. Walau langit kelihatan cukup cerah tapi beberapa hari ini memang Jakarta selalu diguyur hujan saat siang menjelang sore.
“Yah kok gak nyapa sih?” tanya Della saat melihat Kak Vano begitu saja berlalu.
“Gak ngeliat kali.” Hiburku.
“Mungkin. Eh iya Sun, acara yang di Puncak kamu ikut?” tanya Della.
“Ikut, wajib kata Kak Arthur. Kamu?” tanyaku.
“Ikut dong, panitianya pangeranku loh.” Ucapnya bangga sambil tersenyum lebar sedangkan aku menatap lurus kedepan seperti ada yang tidak senang ketika Della mengucapkan pangeran, tentu saja hati ini.
“Kayaknya Kak Vano sering banget samperin kamu? Ada bisnis apa sih kalian?” tanya Della curiga.
“Bisnis? Bisnis apa?” tanyaku bingung.
“Ya gak tau, makanya aku tanya.”
“Engga kok, gak sengaja kali, ya mungkin aja dia memang suka ngobrol.” Padahal aku tahu itu tidak mungkin, Kak Vano bukanlah tipe seseorang yang banyak bicara, buktinya setahuku dia hanya punya satu teman laki-laki, namanya kalau tidak salah Kak Jordy, aku tahu itu ketika pengurus OSIS berkenalan, dan mereka sering terlihat bersama.
“Awas ya Sun! Jangan sampe kamu yang suka loh! Kan aku duluan yang suka…” Kalimat itu seperti sebuah ancaman yang bergaung di pikiranku, dan aku anggap benar-benar serius dan harus aku akui, sekarang aku mulai ragu dengan apa yang ada dihatiku, semoga dugaanku salah.
