BAB 8 SENIOR GESREK
“Kenapa kamu bisa telat, kamu kan murid baru?” ucap Bu Susi petugas piket hari ini. Aku berharap akan ada keringanan untukku.
“Maaf bu soalnya hujan, saya gak bawa payung. Semua yang saya pakai saat ini diberikan oleh orang lain, mohon keringanannya ya bu.” Ucapku menunjuk ke arah kantong plastik sampah yang sudah basah kuyup serta jaket biru dongker yang sebagian basah.
“Saya kasih keringanan, mungkin karena kamu murid baru tapi tetap tulis namamu dan pelanggaran yang kamu buat di buku merah itu kalau sudah kamu boleh langsung ke kelas.” Bu Susi menyerahkan buku folio merahnya.
“Makasih bu.” Aku tersenyum sedikit terpaksa.
Saat dikelas pikiranku tak dapat fokus mendengar setiap penjelasan dari masing-masing guru, aku terlalu sibuk memikirkan seseorang yang bahkan rela mengorbankan dirinya demi aku.
“Kamu kenapa telat? Belajar juga gak fokus?” tanya Della menyenggol bahuku.
“Engga cuman lagi halangan aja terus tadi pagi sakit perut sampe sekarang.” Dan di balas ‘oh’ oleh Della.
Bel waktu istirahat pun berbunyi menyadarkanku dari lamunanku tentang dia. Pikiranku terus berputar, mempertanyakan bagaimana keadaannya sekarang? Apakah dia sudah ada di sekolah? Bagaimana jika dia menerobos hujan kemudian sakit? Astaga kenapa aku tidak ikut bolos saja sih bersama dia, walaupun aku yakin setelahnya aku akan cemas dengan absen tapi setidaknya aku tidak membuatnya kembali ada diposisi yang sulit.
“Kantin yuk, laper.” Ajak Della menarik lenganku dan sontak aku kaget.
“Duluan deh Dell, aku sakit perut banget.” Aku memegang perutku, hanya alasan ini yang dapat aku berikan.
“Dasar cewek ya.” Ia langsung tersenyum paham aku pun membalasnya dengan cengiran sambil dalam hati meminta maaf karena berbohong pada sahabatku yang satu itu.
“Mau nitip makanan apa?”
“Gak nafsu makan, nanti aja deh istirahat kedua.” Della mengangguk kemudian segera berjalan keluar kelas.
“Dia gimana ya? Hujan kan udah berhenti, kalau dia gak sekolah hari ini, itu salah aku.” Aku melirik ke arah jendela, setelah bergumul cukup lama dengan hati kecilku aku memutuskan melangkah keluar kelas dan menuju lantai 3.
Aku sudah sampai di kelas 12 IPA 1 setelah beberapa kali mencuri pandang sepertinya logika menang kali ini, aku harus kembali ke kelas jangan melakukan hal bodoh Sunny, sambil mengingat siapa pemilik kata-kata itu. Sedikit melirik kelas itu ternyata orang yang aku cari tidak ada, tasnya pun tidak ada, ya aku memang sudah hafal bentuk tas miliknya dengan warna hijau tua.
“Hei kamu, cewek kuncir kuda.” Teriak suara bariton yang tak ku kenali tapi saat aku tersadar rambutku yang memang dikuncir kuda aku langsung membalikan badan.
“Pagi.” Sapanya.
“Saya?” ucapku menunjuk diriku sendiri ragu.
“Iya, siapa lagi? Yang mau ikut jurnalis kan?” Dia tersenyum terlewat ramah.
“I... iya kak.” Ucapku ragu terbata-bata.
“Wajah gue di sini, kok liatnya kebawah?” ucapnya menaikan daguku, aku tak bisa menjawabnya sampai dia tersenyum, kenapa Kak Arthur jadi ramah seperti ini?
“Nanti pulang sekolah ada pertemuan di ruang perpustakaan, bisa ikut?” tanya kak Arthur, aku tak langsung menjawab tak tenang rasanya meninggalkan seseorang yang sangat baik di bawah halte, ayolah Sunny dia sudah berkorban untukmu.
“Hello? Bisa? Kok diam aja?” tanya sambil melambaikan kedua tangan di hadapanku.
“Saya gak bisa lama-lama kak,” kegugupan menyelimutiku, tak enak masa iya anak baru tapi sudah minta pulang duluan.
“Kenapa? Rumah lo jauh?” tanyanya.
“Bukan kak, tapi saya ada sedikit urusan.” Masih dengan mencoba menatap wajahnya.
“Yauda nanti lo pulang duluan aja, mau gue anterin gak? Gue bawa motor.” Tawarnya tersenyum manis, hati perempuan mana yang tidak luluh melihat senyuman itu, termasuk aku.
“Terimakasih banyak.” Aku menggeleng yang dibalas anggukan.
“Saya duluan kak.” Aku pamit sambil membalikan badan.
“See you Sunny...!!” untuk saat ini tak ada yang lain di pikiranku selain Kak Vano.
*******
“Sore semua, selamat datang di jurnalis SMA Cendrawasih. Saya sebagai ketua di sini pertama ingin menjelaskan karya apa saja yang akan dibuat. Pertama membuat materi untuk mading (majalah dinding) 1 minggu 2 kali, kedua mendokumentasi segala bentuk kegiatan di sekolah, melakukan publikasi tentang sekolah, juga yang paling penting mengikuti pertemuan jurnalis, itu untuk gambaran singkatnya. Sekarang saya ingin setiap anak kelas 10 yang baru masuk boleh memperkenalkan diri, dengan menyebutkan nama, kelas, hobi, dan alasan mengikuti ekskul jurnalis dimulai dari kamu.” Kak Arthur langsung menunjuk seseorang yang duduk di paling kiri.
“Saya Dinda, 10 IPS 2, hobi saya mengedit video, dan alasan saya adalah karena saya ingin menghasilkan sesuatu lewat hobi saya melalui ekskul ini terimakasih.” Ucapnya langsung duduk dan dilanjut oleh orang disebelahnya dengan gusar dan gelisah aku terus memperhatikan mereka. Jelas aku gugup menyampaikan ini, aku bukanlah orang yang cukup percaya diri untuk berbicara di depan lebih dari sepuluh orang seperti ini dan kedua aku gelisah karena aku belum bisa kembali dan berterimakasih atau mungkin meminta maaf untuk kesekian kali padanya.
“Sun, giliran kamu.” Senggol teman sekelasku yang juga ikut ekskul ini aku yang kaget langsung berdiri dan menatap sekeliling mencoba menenangkan diri.
“Nama saya Sunny, 10 IPA 1, hobi saya membaca buku atau blog juga menulis artikel, alasan saya mengikuti ekskul ini adalah untuk mengembangkan bakat saya dan agar karya saya boleh dinikmati oleh banyak orang. Terimakasih.” Aku duduk dan tersenyum kikuk.
“Baik kita sudah mengenal anak kelas 10 dan mengingat waktu yang sudah menjelang sore hari kita tutup pertemuan hari ini, karena mungkin ada yang memiliki keperluan lain.” Kak Arthur melirik ku sambil tersenyum miring mengejek, aku paham dia menyindir, namun disisi lain, aku juga berterimakasih karena aku bisa dengan segera kembali ke halte.
“Kita tutup dengan doa, doa menurut agama masing-masing mulai.”
“Selesai.”
Aku dengan cepat menggendong tasku dan menuju keluar kelas dan sampai digerbang sekolah mulai berjalan seperti arah biasa yang selalu aku lalui dengan langkah tergesa-gesa, berharap dia masih ada disana.
“Sunny, mau gue antar?” Tawar Kak Arthur menghentikan motornya disampingku.
“Makasih kak, tapi rumah saya deket kok, saya bisa pulang sendiri.” Aku menolak dengan senyum paling baik yang kupunya walaupun tak sejalan dengan hati yang gusar.
“Next time harus mau.” Aku mengangguk.
“Kak makasih karena pertemuannya tadi gak lama.” Aku menunduk tak pernah kuasa menatap lawan jenis apalagi yang saat ini ada didepanku adalah senior dan Ketua OSIS.
“Iya gue tahu lo gelisah, oh iya Sun nanti malam kalau lo gak sibuk kita teleponan ya.” Ku lirik ia tersenyum penuh harap.
“Ngapain kak?” Aku yang kaget dan takut salah mendengar langsung bertanya.
“Ya ngobrol aja, boleh kan?” Dia menatapku yang masih menunduk.
“Hmm boleh aja, jangan malam-malam ya.” Aku mengingatkan karena takut mama marah. Entah mengapa sikap Kak Arthur jadi aneh begini, dia jadi baik bahkan terlampau baik.
“Oke, jangan nunduk dong Sun. Gue ganteng gini, lebih menarik dari aspal dibawah kaki lo.” Dia tersenyum dan mengacak rambutku, spontan aku langsung menatap lurus kedepan dan bertemu wajah berkharismanya saat ini mungkin wajahku terlihat aneh.
“Iya kak.” Aku kikuk.
“Yauda gue duluan, lo hati-hati dijalan.”
“Iya kak, hati-hati juga.”
“Bye!” aku melambaikan tangan ketika dia mengucapkan itu dan menancapkan gas, motornya segera melaju dengan kencang.
Tak lama ketika aku berjalan, ada sebuah mobil yang berhenti disampingku. Kemudian Kak Cindy keluar dengan wajah sinis dan mata tajam. “Udah berapa kali gue peringatkan, jangan pernah caper ke senior! Sekarang lo malah deketin Arthur! Denger ya, Arthur baik ke lo cuman karena kasihan, bukan suka!” Kak Cindy mendekat ke arahku dan memegang kedua lenganku.
“Kakak tuh kayaknya salah ngerti deh, emang Kak Arthur sama saya ngobrol tadi juga cuman urusan ekskul, kalo kakak mau diajak ngobrol juga ikutan jurnalis aja.” Ketusku.
“Heh lo tuh kenapa berani ngelawan gue ya.”
“Kalo saya gak salah ya kenapa saya harus takut dan diam aja, kakak jadi makin semena-mena.” Aku segera melepaskan cengkramannya pada lenganku, dan memilih kembali berjalan.
“Belagu!” teriaknya, aku betul-betul tidak peduli, dia jadi kurang ajar kalau aku gak ambil sikap melawan. Tiba-tiba ia menjalankan mobilnya dengan cepat, sehingga air genangan hujan memercik ke arahku. “Rasain!”
“SENIOR GESREK!” teriakku mengumpat karena sudah tak tahan.
